Langkah Pemerintah Terbitkan Perppu Cipta Kerja Lahirkan Risiko
Mediaindonesia.com Jenis Media: Nasional
MANTAN Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan menyatakan respons pemerintah yang menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja berisiko. Adapun Perppu dibuat untuk menjawab putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat.
"Tetapi harus diakui respon implementasi dengan Perppu agak riskan, karena menimbulkan side effect yang harus diperhitungkan," papar Maruarar ketika dihubungi mediaindonesia.com, Senin (2/1/2023).
"Titik berat kepatuhan terhadap konstitusi sebagai suatu negara hukum, seyogyanya jadi pedoman dalam impleentasi putusan MK sebagai suatu mekanisme checks and balances," tambahnya.
Menurut Maruara, sikap tersebut harus menjadi salah satu pedoman bertindak secara konsisten dari para penyelenggara negara yang mengangkat sumpah untuk memegang teguh UUD 1945, menjalankan menjalankan UUD 1945, dan undang-undang (UU).
Namun, diakui Maruarar, pemerintahan Jokowi hanya punya waktu hingga tahun 2024. Padahal, kata Maruarar, implementasi putusan MK soal uji formal sebagai jawaban atas perbaikan tatacara dan prosedur pembentukan UU Ciptaker membutuhkan waktu yang cukup panjang.
"Mulai dari kegiatan menampung aspirasi, menyusun Naskah akademik dan draft RUU perubahan, hingga pembahasan di DPR, pasti membutuhkan waktu yang tidak singkat," tegasnya.
Baca juga: DPR Masih Reses, Perppu Ciptaker Dibahas Masa Sidang Mendatang
Apalagi, kata Maruarar, pemerintah dan anggota DPR kini terlibat dalam proses pemilu dengan persiapan yang panjang yang membuat fokus mereka terbagi. Sehingga tidak dapat diharapkan akan fokus pada persoalan perbaikan UU Ciptaker lagi dari segi perbaikan prosedur dan tata cara pembentukan UU.
Maruarar berpendapat putusan MK berkenaan dengan prosedur dan tata cara pembentukan UU, kurang memberi kesempatan menampung aspirasi masyarakat. "Jadi jawaban pembuat undang-undang sesungguhnya adalah memperbaiki undang-undang tersebut dengan menampung aspirasi masyarakat tersebut untuk diadopsi dalam UU Ciptaker," tuturnya.
Perppu, kata Maruarar, boleh jadi dapat dianggap memenuhi syarat kegentingan memaksa yang disebut pada Pasal 22 UUD 1945.
Terpisah, mantan Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Harjono, mengemukakan DPR dapat menyetujui atau menolak penerbitan perppu ciptaker. "Dalam menolak atau menerima itu DPR bisa mendengarkan suara publik," ungkap eks Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) selama dua periode itu.
Intinya, kata Harjono, fungsi perwakilan ada di DPR. Sehingga DPR punya kendali untuk bisa menyetujui atau menolak perppu ciptaker tersebut. (P-5)
Sentimen: positif (97%)