Sentimen
Informasi Tambahan
Kab/Kota: bandung
Kasus: covid-19
Tokoh Terkait
Gugurkan Putusan MK, Jokowi Terbitkan Perppu Cipta Kerja karena Alasan Mendesak
Pikiran-Rakyat.com Jenis Media: Nasional
PIKIRAN RAKYAT - Presiden Jokowi menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja.
Perppu itu dibuat untuk menjawab putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan Undang-Undang Cipta Kerja atau Omnibus Law inkonstitusional bersyarat.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD mengatakan Perppu ini sekaligus menggugurkan status inkonstitusional bersyarat UU Cipta Kerja.
Jokowi menetapkan dan menerbitkan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja, atas kebutuhan mendesak guna mengantisipasi kondisi global.
"Hari ini telah diterbitkan Perppu Nomor 2 Tahun 2022, tertanggal 30 Desember 2022," ujar Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dalam keterangan pers di Kantor Presiden, Jakarta, Jumat, 30 Desember 2022.
Dia mengatakan pertimbangan penetapan dan penerbitan Perppu adalah kebutuhan mendesak, di mana pemerintah perlu mempercepat antisipasi terhadap kondisi global baik yang terkait ekonomi maupun geopolitik.
Baca Juga: Prakiraan Cuaca 31 Desember 2022: Kota Bandung Diguyur Hujan Ringan hingga Sedang Sampai Malam
Airlangga Hartarto mengatakan terkait ekonomi, Indonesia menghadapi resesi global, peningkatan inflasi, dan ancaman stagflasi.
Selain itu, lebih dari 30 negara sedang berkembang juga sudah masuk dalam daftar IMF, dan 30 negara lainnya mengantre masuk dalam daftar penerima bantuan IMF.
"Jadi kondisi krisis ini untuk emerging developing country menjadi sangat real, dan juga terkait geopolitik tentang Ukraina-Rusia dan konflik lain juga belum selesai dan pemerintah juga menghadapi, tentu semua negara menghadapi krisis pangan, energi, keuangan dan perubahan iklim," tutur Airlangga Hartarto.
Menurutnya, Jokowi juga sudah berbicara dengan Ketua DPR terkait penerbitan Perppu Cipta Kerja sehingga Ketua DPR sudah terinformasi.
"Prinsipnya Ketua DPR sudah terinformasi mengenai Perppu tentang Cipta Kerja dan ini berpedoman pada peraturan perundangan dan Putusan MK," ujar Airlangga Hartarto.
Sementara itu, Mahfud MD menyatakan aspek hukum dan peraturan perundang-undangan terkait keluarnya Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tertanggal 30 Desember 2022 adalah karena alasan mendesak atau kebutuhan mendesak sesuai dengan putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009.
Dia yang pada saat itu merupakan Ketua MK menjadi sosok yang menandatangani putusan tersebut.
"Jadi ada kebutuhan yang mendesak, atau kegentingan memaksa untuk bisa menyelesaikan masalah hukum secara cepat dengan undang-undang, namun undang-undang yang dibutuhkan untuk itu belum ada atau sehingga terjadi kekosongan hukum atau tidak memberi kepastian," kata Mahfud MD.
"Oleh sebab itu pemerintah memandang ada cukup alasan untuk menyatakan bahwa diundangkan nya Perppu Nomor 2 Tahun 2022 ini didasarkan pada alasan mendesak seperti tadi disampaikan oleh Bapak Menko Perekonomian," ujarnya menambahkan, dikutip Pikiran-Rakyat.com dari Antara, Sabtu, 31 Desember 2022.
Baca Juga: Warga Positif Covid-19 Kini Boleh Bepergian, Menkes Ungkap Aturan Rapid Test Usai PPKM Dicabut
UU Cipta Kerja Inkonstitusional
Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja Bertentangan dengan UUD 1945.
Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 tersebut merupakan hasil dari perkara "Pengujian Formil Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945".
Pengujian formil adalah pengujian UU yang berkenaan dengan proses pembentukan UU dan hal-hal lain yang tidak termasuk pengujian materiil.
Dikutip Pikiran-Rakyat.com dari situs resmi MK, permohonan uji formil UU Cipta Kerja ini diajukan oleh 6 pemohon.
Lalu, apa sebenarnya alasan di balik pengajuan pengujian formil UU Cipta Kerja yang kini diputuskan bertentangan dengan UUD 1945?
Para pemohon tersebut mengajukan pengujian formil, karena pembuatan UU Cipta Kerja dinilai tidak sesuai dengan ketentuan UU Pembentukan Perundang-undangan.
Berikut sejumlah alasan diajukannya pengujian formil terhadap UU Cipta Kerja:
Para Pemohon menguji secara formil terhadap pembentukan UU Cipta Kerja yang tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang berdasarkan UUD 1945 yakni melanggar Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan:
“Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan Bersama”.
Kemudian asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik sebagaimana diatur dalam Pasal 5 huruf c, huruf f dan huruf g UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan peraturan Perundang-Undangan (UU 12/2011), yang menyatakan:
Dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik, yang meliputi:
c. kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan;
f. kejelasan rumusan; dan
g. keterbukaan.
Sebagai Undang-Undang yang dibentuk atas amanat Pasal 22A UUD 1945, dengan alasan-alasan sebagai berikut:
1. UU Cipta Kerja melanggar asas kejelasan tujuan, asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan, asas kejelasan rumusan, dan asas keterbukaan.
2. UU Cipta Kerja melanggar prosedur persetujuan dan pengesahan rancangan undang undang sebagaimana diatur pada Pasal 20 ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan:
“Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi undang-undang”
Kemudian Pasal 72 ayat (2) UU 12/2011 berserta penjelasannya, yang menyatakan:
“Penyampaian Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama.
Para Pemohon mendalilkan pembentukan UU Cipta Kerja dengan metode omnibus law telah menimbulkan ketidakjelasan apakah UU tersebut merupakan UU baru, UU perubahan ataukah UU pencabutan, sehingga bertentangan dengan ketentuan teknik pembentukan peraturan perundang-undangan yang telah ditentukan dalam UU Nomor 12 Tahun 2011.
Setelah menimbang berdasarkan seluruh pertimbangan hukum karena terhadap tata cara pembentukan UU Cipta Kerja tidak didasarkan pada cara dan metode yang pasti, baku, dan standar, serta sistematika pembentukan undang-undang; terjadinya perubahan penulisan beberapa substansi pasca persetujuan bersama DPR dan Presiden; dan bertentangan dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan, maka Mahkamah berpendapat proses pembentukan UU 11/2020 adalah tidak memenuhi ketentuan berdasarkan UUD 1945, sehingga harus dinyatakan cacat formil.
Baca Juga: Respons Kylian Mbappe saat Dengar Emiliano Martinez Mengejeknya: Bukan Masalah Saya
MK pun menegaskan hal-hal sebagai berikut:
1. Mahkamah dapat memahami persoalan “obesitas regulasi” dan tumpang tindih antar UU yang menjadi alasan pemerintah menggunakan metode omnibus law yang bertujuan untuk mengakselerasi investasi dan memperluas lapangan kerja di Indonesia.
Akan tetapi, bukan berarti demi mencapai tujuan tersebut kemudian dapat mengesampingkan tata cara atau pedoman baku yang berlaku karena antara tujuan dan cara pada prinsipnya tidak dapat dipisahkan dalam meneguhkan prinsip negara hukum demokratis yang konstitusional.
Oleh karena telah ternyata terbukti secara hukum adanya ketidakterpenuhannya syarat syarat tentang tata cara dalam pembentukan UU 11/2020, sementara terdapat pula tujuan besar yang ingin dicapai dengan berlakunya UU 11/2020 serta telah banyak dikeluarkan peraturan-peraturan pelaksana dan bahkan telah banyak diimplementasikan di tataran praktik.
Dengan demikian, untuk menghindari ketidakpastian hukum dan dampak lebih besar yang ditimbulkan, maka berkenaan dengan hal ini, menurut Mahkamah terhadap UU 11/2020 harus dinyatakan inkonstitusional secara bersyarat.
2. Mahkamah memberikan kesempatan kepada pembentuk Undang-Undang untuk memperbaiki UU Cipta Kerja berdasarkan tata cara pembentukan UU yang memenuhi cara dan metode yang pasti, baku dan standar di dalam membentuk undang-undang omnibus law yang juga harus tunduk dengan keterpenuhan syarat asas-asas pembentukan undang undang yang telah ditentukan.
3. Dengan pertimbangan hukum tersebut, dengan ini Mahkamah memerintahkan agar segera dibentuk landasan hukum yang baku untuk dapat menjadi pedoman di dalam pembentukan undang-undang dengan menggunakan metode omnibus law yang mempunyai sifat kekhususan tersebut.
Dengan begitu, MK menyatakan bahwa UU Cipta Kerja bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia tahun 1945 atau inkonstitusional.
"Bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945," ucap Ketua MK Anwar Usman.
Oleh karena itu, UU Cipta Kerja ini dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat secara bersyarat.
"Dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat, sepanjang tidak dimaknai, tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 tahun sejak putusan ini diucapkan," kata Anwar Usman.
Dalam putusannya, dia menuturkan bahwa UU Cipta Kerja masih tetap berlaku sampai dilakukan perbaikan sesuai dengan tenggang waktu yang ditentukan.
"Menyatakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573), masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukan sesuai dengan dilakukan perbaikan pembentukan sesuai dengan tenggang waktu sebagaimana yang telah ditentukan dalam putusan ini," tutur Anwar Usman.
Dia pun memerintahkan kepada para pembentuk UU Cipta Kerja ini, untuk melakukan perbaikan sesuai dengan tenggang waktu yang telah ditentukan MK.
"Memerintahkan kepada pembentuk UU untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama dua tahun sejak putusan ini diucapkan," ujar Anwar Usman.
Jika dalam waktu 2 tahun UU Cipta Kerja ini tidak diperbaiki, statusnya pun akan bersifat inkonstitusional (melanggar UU) secara permanen.
"Apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan, maka UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) menjadi inkonstitusional secara permanen," ucap Anwar Usman.***
Sentimen: negatif (99.6%)