Sentimen
Informasi Tambahan
BUMN: Garuda Indonesia
Hewan: Gajah
Ditolak Masuk AAU karena Amandel, Jenderal Kopassus Ini Nekat Masuk Markas AURI Temui KSAL
Sindonews.com Jenis Media: Nasional
loading...
Sebelum dikenal sebagai salah satu pentolan Kopassus, Letjen TNI (Purn) Sintong Panjaitan ternyata lebih dulu menjatuhkan pilihan menjadi prajurit TNI AU ketika menjalani karier militernya. Foto/Istimewa
JAKARTA - Sebelum dikenal sebagai salah satu pentolan Kopassus , Letjen TNI (Purn) Sintong Panjaitan ternyata lebih dulu menjatuhkan pilihan menjadi prajurit TNI AU ketika menjalani karier militernya. Sintong saat itu tak memilih Akademi Militer Nasional (AMN), melainkan Akademi Angkatan Udara (AAU).Ketertarikan Sintong terhadap dunia militer sudah terlihat sejak kecil. Minat besar itu muncul saat ia berumur tujuh tahun ketika rumahnya hancur terkena bom yang dijatuhkan oleh pesawat P-51 Mustang milik Angkatan Udara Kerajaan Belanda. Rumahnya memang berdekatan dengan sebuah tangsi tentara RI. Sejak peristiwa itu, Sintong pun bercita-cita menjadi penerbang pesawat tempur. Baca juga: Ngebet Masuk Akmil, Jenderal Kopassus Ini Nekat Jual Sepeda dan Palsukan Tanda Tangan Orang Tua
Dikutip dari buku "Sang Prajurit Pemberani (Biografi Lengkap Sintong Panjaitan)", Kamis (29/12/2022), Sintong Panjaitan mulai memanggul senjata ketika masih duduk di bangku SMA dan bergabung dengan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera Utara. Pemberontakan PRRI ini disebabkan oleh ketidakharmonisan hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, terutama di wilayah, terkait masalah otonomi daerah dan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah. Sikap tidak puas tersebut mendapat dukungan dari sejumlah perwira militer.
Ketidakpuasan tersebut memicu terbentuknya dewan militer daerah, seperti Dewan Banteng di Sumatera Barat pada tanggal 20 Desember 1956 oleh Letnan Kolonel Ahmad Husein, Dewan Garuda di Sumatera Selatan pada pertengahan Januari 1957 oleh Letnan Kolonel Barlian, dan Dewan Gajah di Sumatera Utara pada 22 Desember 1956 oleh Kolonel Maludin Simbolon, seorang Panglima Tentara dan Teritorium I.
Saat itu, melalui RRI Medan, Kolonel Simbolon mengumumkan pemutusan hubungan wilayah bukit barisan dengan pemerintah pusat. Ia mengubah nama Kodam TT I menjadi Kodam TT I Bukit Barisan. Karena keterbatasan dana, Kolonel Simbolon mencari jalan sendiri untuk membangun asrama dan perumahan prajurit.
Dia mencari dana sendiri, sayangnya cara yang digunakan ilegal. Ia menjual secara ilegal hasil perkebunan di wilayah Sumatera Utara. Ekspor hasil perkebunan dijual melalui Teluk Nibungh di Muara Sungai Asahan, Tanjung Balai.
Saat terjadi pemberontakan PRRI inilah, Sintong Panjaitan dilatih kemiliteran selama tiga bulan oleh anak buah Kolonel Maludin Simbolon. Kendati pernah bergabung dengan PRRI, Sintong tidak pernah ikut bertempur di pihak pemberontak. Sebab, ketika pasukan pemerintah pusat melancarkan operasi militer di Sumatera, ia harus menunggui ayahnya yang sedang sakit keras dankemudian meninggal dunia.
Dalam operasi militer tersebut, pemerintah pusat mengirim peleton RPKAD yang dipimpin oleh Letnan LB Moerdani. Sedangkan pihak PRRI dikomandani oleh Kapten Fritz Hutabarat. Dalam pertempuran sengit yang terjadi di Pematang Siantar itu, PRRI menderita banyak korban jiwa.
Enam orang teman sekelas Sintong di SMA, termasuk teman karibnya, Pintoa Panjaitan juga tewas dalam pertempuran. Di kemudian hari, diketahui bahwa seorang anggota RPKAD yang ikut serta dalam pertempuran tersebut, menjadi anggota Peleton 1 Kompi Tandjung/Yon 3 RPKAD di bawah pimpinan Sintong Panjaitan dalam penumpasan G30S pada tahun 1965.
Sebagai remaja yang memiliki ketertarikan tinggi terhadap dunia militer, Sintong Panjaitan pun mendaftar untuk menjadi prajurit Akademi Angkatan Udara (AAU) setelah lulus SMA pada tahun 1959.
Sentimen: negatif (99.8%)