Sentimen
Negatif (99%)
28 Des 2022 : 20.38
Informasi Tambahan

Institusi: Universitas Indonesia, Universitas Trisakti

Kasus: Tipikor, korupsi

Tokoh Terkait
Chairul Huda

Chairul Huda

Indra Sari Wisnu Wardhana

Indra Sari Wisnu Wardhana

Pierre Togar Sitanggang

Pierre Togar Sitanggang

Weibinanto Halimdjati

Weibinanto Halimdjati

Tuntutan JPU Dalam Kasus Migor Dinilai tak Berdasar Hukum

Mediaindonesia.com Mediaindonesia.com Jenis Media: Nasional

28 Des 2022 : 20.38
Tuntutan JPU Dalam Kasus Migor Dinilai tak Berdasar Hukum

TUNTUTAN Jaksa Penuntut Umum (JPU) terkait kasus dugaan korupsi izin persetujuan ekspor (PE) minyak sawit atau CPO kepada para terdakwa dinilai tidak berdasar, terutama penghitungan yang merugikan negara. Para terdakwa tersebut dituntut penjara beragam dari 7 hingga 12 tahun dengan uang pengganti sampai puluhan triliun rupiah. 

Pakar hukum pidana Chairul Huda menyebut tuntutan tersebut hal yang aneh. Menurutnya, uang pengganti itu hanya diterapkan bagi orang yang memperoleh pertambahan kekayaan dari tindak pidana korupsi. 

“Jadi bagaimana mungkin mereka dituntut Rp10 triliun sementara tidak ada pertambahan kekayaan mereka sebesar itu," ujarnya, Selasa (27/12).

Tuntutan tenyebut, lanjut Chairul tidak berlandaskan hukum hakim selayaknya menolak tuntutan dengan mempertimbangkan semua fakta di persidangan. 

Dalam kasus ini, di persidangan lalu, terdakwa Stanley MA dituntut membayar uang pengganti Rp868.720.484.367,26 yang jika tidak dibayar maka diganti dengan hukuman penjara selama 5 tahun. Kemudian, Pierre Togar Sitanggang dituntut membayar uang pengganti Rp4.554.711.650.438 jika tidak dibayar maka diganti dengan hukuman penjara selama 5 tahun dan 6 bulan. 

SedangkanMaster Parulian dituntut membayar uang pengganti Rp10.980.601.063.037 (triliun) jika tidak dibayar maka diganti dengan hukuman penjara selama 6 tahun.
 
Selain itu, JPU meminta hakim menyita harta para terdakwa jika uang pengganti tersebut tidak dibayarkan. 

Adapun pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar mengatakan, tuntutan uang pengganti  itu berbeda dengan ganti rugi.  

“Uang pengganti itu didasarkan pada pethitungan fakta yang riil, pemunculan sebuah jumlah harus didukung dengan bukti dan perhitungan yang riil. Jadi tidak asal memunculkan nominal saja tanpa rasionalisasi yang jelas,” tandasnya.

Sedangkan ganti rugi itu, jelas Abdul, bisa bersifat subjektif. Artinya selain kerugian riil juga bisa ditambah dengan potensi, atau "keuntungan yang diharapkan" atau bunga atau kelebihan jumlah jika uang itu dikelola.

“Sehingga jumlahnya bisa sangat subjektif, yakni pokok kerugian plus bunga. Jika jumlah tuntutan Rp10 triliun itu ada perhitungannya, maka itu cukup beralasan, tetapi jika asal sebut jumlah saja tanpa rasionalisasinya, itu bisa dikatakan ngawur,” kata Fickar 

Guru Besar Ilmu Kebijakan Pajak Universitas Indonesia (UI), Prof. Haula Rosdiana juga mempertanyakan dasar tuntutan dan mengkritisi lebih jauh.  

Haula menyebut, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XIV/2016 disebutkan, kerugian yang terjadi dalam tindak pidana korupsi sulit untuk dibuktikan secara akurat.
 
Di sisi lain, hingga saat ini belum ada aturan yang mengatur metode penghitungan kerugian perekonomian negara.

"Ini bertentangan dengan prinsip perumusan tindak pidana yang seharusnya memenuhi prinsip hukum harus tertulis, harus ditafsirkan seperti yang dibaca, tidak multitafsir. Kalau ini belum diatur bahaya, setiap orang nanti pakai metode berbeda sesuai dengan seleranya, tidak ada kepastian dan standarisasi," ungkapnya.

Seperti diketahui, ada lima terdakwa dalam kasus ini. Di antaranya mantan Dirjen Daglu Kementerian Perdagangan Indra Sari Wisnu Wardhana dan tim asistensi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Weibinanto Halimdjati alias Lin Che Wei.

Lalu, Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia Master Parulian Tumanggor, Senior Manager Corporate Affairs Permata Hijau Group Stanley MA dan General Manager bagian General Affairs PT Musim Mas Pierre Togar Sitanggang. (OL-8)

Sentimen: negatif (99.9%)