Sentimen
Positif (99%)
26 Des 2022 : 18.27
Informasi Tambahan

Agama: Islam

Event: Rezim Orde Baru, Rezim Orde Lama

Grup Musik: APRIL

Hewan: Sapi

Institusi: Universitas Indonesia, UNPAD, UII

Kab/Kota: Kebagusan, Yogyakarta

Kasus: covid-19, Tragedi Kudatuli

Partai Terkait

Mengapa Hanya Membicarakan Privilese Puan?

Detik.com Detik.com Jenis Media: News

26 Des 2022 : 18.27
Mengapa Hanya Membicarakan Privilese Puan?
Jakarta -

Setiap cerita sukses seseorang hari ini seakan selalu dibayangi oleh pertanyaan 'apakah itu hasil usahanya, atau hanya karena privilese yang dimilikinya?'. Apakah usaha dan privilese merupakan dua hal yang harus saling meniadakan untuk menilai - kalau bukan menghakimi - kesuksesan hidup seseorang?

Perbincangan tentang privilese (privilege) yang jamak diartikan sebagai 'hak istimewa' atau 'keistimewaan' kian mengemuka seiring maraknya konten media sosial yang mempertontonkan kemudahan hidup seseorang belakangan ini. Kebanyakan kemudahan tersebut soal kekayaan, jabatan atau kekuasaan.

Oleh mereka yang menonton, kemudahan hidup itu kemudian dilabeli sebagai 'privilese' kalau ditemukan fakta - atau mungkin juga prasangka - bahwa segala kemudahan yang dipertontonkan tersebut merupakan kemudahan yang diwariskan (inherited) dari orang tua/kerabat. Sebaliknya, kemudahan itu akan dicap sebagai 'hasil kerja', setelah terlihat kemudahan itu hasil usahanya sendiri.

-

-

Dalam politik, privilese memang sering dikaitkan dengan keistimewaan/kemudahan yang didapat seseorang karena memiliki kekerabatan dari tokoh politik tertentu, seperti label yang belakangan sering disematkan kepada Puan Maharani sebagai putri Megawati Soekarnoputri.

Tapi yang menjadi pertanyaan kemudian adalah 'apakah privilese itu selalu diwariskan?'. Kalau privilese itu selalu diwariskan, lalu bagaimana privilese pertama kali tercipta? Untuk menjawabnya, mari kita melihat dulu jauh ke belakang bagaimana pertama kali privilese tercipta dalam kehidupan manusia.

Dalam Sapiens (2011), Yuval Noah Harari menguraikan sejarah munculnya privilese sebagai konsekuensi tatanan khayal (imagined orders) yang dibuat manusia untuk mengorganisasi diri ke dalam jejaring kerja massal (mass cooperation networks), misalnya untuk membentuk tatanan masyarakat dalam sebuah kerajaan. Tatanan khayal ini kemudian mengelompokkan manusia menjadi kelompok-kelompok khayal (make-believe groups) yang tersusun dalam hierarki.

Sejarah awal terbentuknya hierarki ini, bisa terlihat dalam Undang-undang Hammurabi (The Code of Hammurabi), prasasti hukum tertua dunia, yang membedakan masyarakat Babilonia menjadi kelas atas, rakyat jelata dan budak. Tentu pembedaan kelas ini tidak netral karena ditentukan oleh Raja Hammurabi sendiri, dengan pembenaran sebagai 'perintah dewa'. Dari pembedaan yang tidak netral itulah muncul privilese bagi manusia kelas atas, dan diskriminasi buat rakyat jelata, serta diskriminasi plus penindasan/opresi terhadap budak.

Melihat dari sejarahnya, privilese seperti konsekuensi yang tidak terelakkan bagi peradaban yang membutuhkan tatanan khayal untuk mengorganisir banyak Sapiens demi memajukan kehidupan. Pengorganisiran ini terbukti berhasil dengan terciptanya Mesopotamia, peradaban pertama manusia, meski pada saat yang sama sejarah privilese, diskriminasi dan opresi terhadap manusia juga dimulai.

Privilese yang terbentuk pada awal peradaban manusia adalah sesuatu yang diwariskan. Bayi dari kelas atas Babilon akan mewarisi privilese karena terlahir dari kalangan keluarga kelas atas. Sebaliknya, bayi dari rakyat jelata dan budak akan mewarisi diskriminasi, atau juga opersi. Lalu, apakah privilese yang banyak dipertontonkan hari ini di media sosial juga hanya tentang keistimewaan (kekayaan dan kekuasaan) yang diwariskan sehingga membuat seseorang memiliki kemudahan hidup lebih dari yang lain?

Dalam perkembangan dunia yang semakin maju dan terbuka, di mana tidak ada lagi perbudakan yang dibenarkan oleh hukum, makna privilese juga berkembang tidak hanya menjadi keistimewaan yang diwariskan. David Gaider, penulis asal Kanada, membuat definisi singkat namun komprehensif tentang privilese yang relevan bagi tatanan masyarakat yang lebih kompleks hari ini. Menurut Gaider, 'privilege is when you think something is not a problem, because it's not a problem to you personally', (Privilese adalah ketika Anda pikir sesuatu bukan sebuah masalah, karena sesuatu itu bukan sebuah masalah buat Anda secara personal).

Misalnya, ketika jutaan orang mengalami kesulitan ekonomi akibat pandemi COVID-19, dan Anda tidak merasakan dampak pandemi COVID-19 terhadap ekonomi Anda secara pribadi, berarti Anda mempunyai privilese. Entah Anda tidak merasakan dampak itu karena baru saja mendapat harta warisan orang tua, atau karena Anda pintar mengelola aset yang diperoleh dari hasil kerja Anda, itu tetaplah privilese.

Privilese adalah tentang perbandingan. Jika pada zaman Hammurabi privilese muncul dari perbandingan kemudahan hidup manusia kelas atas dibandingkan rakyat jelata dan budak, begitu juga privilese hari ini yang muncul dari perbandingan kondisi hidup banyak orang. Tidak ada privilese tanpa membandingkan kondisi seseorang dengan yang lain. Privilese ada justru karena ada banyak manusia dengan banyak kondisi, yang kemudian di era media sosial hari ini, kondisi-kondisi yang kebanyakan tentang harta dan tahta itu, diperbandingkan untuk menjawab pertanyaan 'mengapa hidup seseorang lebih mudah dari yang lain?'.

Sebagaimana Gaider, privilese hari ini tampaknya juga harus dilihat secara lebih luas. Tidak hanya sebagai kekayaan dan kekuasaan, tetapi sebagai sebuah kondisi - entah itu diwariskan atau tidak - yang faktanya telah memberi kemudahan bagi hidup seseorang. Atau jika menggunakan parameter 'kemudahan' - bukan parameter 'masalah' seperti Gaider - privilese adalah ketika Anda pikir sesuatu itu mudah buat Anda secara personal, sementara buat orang lain belum tentu mudah. Dengan kata lain, jika dampak pandemi COVID-19 lebih mudah Anda atasi ketimbang orang lain mengatasinya, Anda berarti memiliki privilese.

Soal kemudahan ini, Bill Gates mengakui mendapat privilese dari sekolahnya Lakeside School di Seattle sehingga dia akhirnya menemukan Microsoft dan karenanya (pernah) menjadi orang terkaya di dunia. Lakeside merupakan privilese buat Gates bukan hanya karena SMA itu sekolah elite dan orang tuanya yang kaya mampu menyekolahkannya di sana, tetapi karena sekolah itu pada 1968, sudah memiliki model komputer terbaru yang belum lama ditemukan di dunia. Kehadiran komputer itu membuat Gates, yang ketika itu baru berusia 13 tahun, bisa secara leluasa mengakses dan mempelajarinya terus menerus, sampai akhirnya dia memiliki keahlian komputer dan sukses membangun Microsoft.

"Jika tidak ada Lakeside, tidak bakal ada Microsoft," kata Bill Gates berterima kasih atas privilese yang diberikan Lakeside kepadanya dulu. Disebut privilese karena Gates kala itu adalah seorang siswa yang memiliki kemudahan bisa mengakses dan mempelajari komputer canggih yang disediakan Lakeside, ketika ratusan juta siswa SMA lain di dunia pada 1968 tidak dapat mengakses alat yang sama.

Privilese Politik

Meski privilese telah didefinisikan sebagai sebuah kondisi secara luas, namun dalam politik, privilese sering dikaitkan dengan keistimewaan karena keturunan atau punya hubungan kekerabatan dari tokoh politik tertentu. Dalam konteks kontestasi Pemilu Presiden (Pilpres) 2024 misalnya, privilese sering dikaitkan dengan bakal calon presiden (capres) yang merupakan keturunan atau anak dari tokoh politik yang sebelumnya pernah menjadi presiden.

Selain Puan Maharani, ada juga Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), yang masing-masing merupakan putri dari Presiden ke-5 RI, Megawati Soekarnoputri, dan putra dari Presiden ke-6 RI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Puan bahkan juga adalah cucu dari Presiden Pertama/Proklamator RI Soekarno.

Baik Puan maupun AHY banyak dianggap memiliki privilese sebagai bakal capres karena keduanya adalah anak dari mantan orang nomor satu di republik ini. Bahkan, sorotan belakangan ini seakan lebih besar kepada Puan ketimbang AHY. Barangkali karena PDIP, partai yang menaungi Puan, kini sedang memerintah sehingga lebih mendapat sorotan publik, ketimbang Partai Demokrat yang diketuai AHY dan sekarang berperan sebagai oposisi.

Kalau Puan dan AHY mendapat sorotan karena dianggap punya privilese kekerabatan, bagaimana dengan bakal capres yang lain? Apakah tokoh-tokoh politik lain yang masuk bursa capres tidak layak disorot privilesenya hanya karena orang tua atau kerabatnya tidak pernah jadi presiden?

Dalam melihat privilese para bakal capres, kita sebaiknya menggunakan 'penggaris' yang sama untuk mengukur variabel tersebut supaya adil melihat fakta yang mungkin memudahkan mereka dalam mengikuti kontestasi politik. Katakanlah jika parameter yang sering dipakai masyarakat untuk menilai privilese politik adalah kekerabatan, maka semua nama bakal capres harus diukur dengan 'penggaris' kekerabatan tersebut.

Selain Puan dan AHY, penulis akan mengukur privilese kekerabatan 8 bakal capres lain yang masuk 10 besar elektabilitas, seperti yang dirilis Charta Politika pada 25 April 2022. Dimulai dari para bakal capres yang merupakan keturunan/kerabat dari mantan pejabat negara, yakni Prabowo Subianto, putra dari Sumitro Djojohadikusumo, sang begawan ekonomi yang pernah menduduki dua jabatan menteri di era orde lama dan dua jabatan menteri di orde baru. Sementara adik Prabowo, Hashim Djojohadikusumo adalah pengusaha yang masuk daftar orang terkaya Indonesia (Forbes, 2020). Prabowo juga bekas menantu dari Presiden ke-2 RI Soeharto yang pernah berkuasa selama 32 tahun.

Kemudian, Anies Baswedan yang merupakan cucu dari Abdurrahman Baswedan, Wakil Menteri Penerangan ke-2 RI. Rasyid Baswedan, ayah Anies, adalah dosen yang pernah menjabat Wakil Rektor Universitas Islam Indonesia, dan ibunya, Aliyah Rasyid Baswedan, merupakan Guru Besar Universitas Negeri Yogyakarta.

Di luar bakal capres kerabat pejabat negara tersebut, ada nama Ganjar Pranowo, putra S Pamudji, pensiunan polisi yang semasa aktifnya pernah menjabat Kapolsek; yang juga adik dari Hakim Agung Pri Pambudi. Kemudian Ridwan Kamil, putra dari Atje Misbach Muhjidin, yang merupakan mantan dosen bergelar doktor di Universitas Padjadjaran. Selanjutnya Khofifah Indar Parawansa, putri dari Achmad Ra'i, seorang petani dan peternak sapi.

Dari keluarga pengusaha ada Sandiaga Uno, putra dari Mien R Uno, pengusaha sekaligus pakar di bidang pendidikan. Lalu Erick Thohir, putra dari pengusaha Teddy Thohir sekaligus adik dari Boy Thohir, yang masuk dalam daftar orang terkaya di Indonesia (Forbes, 2020). Terakhir ada Basuki Tjahaja Purnama, putra dari Indra Tjahaja Purnama (Tjoeng Kiem Nam), yang merupakan pengusaha tambang timah yang cukup ternama di Belitung.

Dari data tentang latar belakang keluarga yang bisa diakses dari berbagai sumber tersebut, kita bisa membeberkan fakta-fakta kekerabatan para bakal capres, berikut dengan kemudahan-kemudahan yang mungkin mereka dapatkan untuk menaiki tangga pencapresan. Penulis menggarisbawahi kata 'mungkin' karena memang kemudahan yang dirasakan para bakal capres hanya bisa dipersepsikan di pikiran masing-masing orang yang telah mengetahui beberan fakta kekerabatan tersebut secara menyeluruh.

Dengan kata lain, tidak ada yang bisa memastikan apakah anak (mantan) presiden bisa lebih mudah menaiki tangga pencapresan ketimbang keluarga orang terkaya di Indonesia; atau anak seorang dosen lebih mudah menjadi presiden ketimbang anak seorang adik Hakim Agung. Sebab, di luar privilese kekerabatan, mungkin saja ada momen kehidupan para bakal capres yang tidak banyak diketahui publik, namun memunculkan privilese-privilese lain - seperti privilese komputer Lakeside untuk Gates - yang justru menjadi katalisator utama buat kesuksesan karier (politik) mereka hari ini.

Lagi pula, kekerabatan hanyalah salah satu unsur pembentuk identitas. Unsur pembentuk lainnya antara lain gender, agama dan etnis. Harus diakui, identitas dengan unsur-unsurnya itu merupakan variabel penting dari politik elektoral Indonesia hari ini. Sejumlah hasil riset terhadap Pilpres 2019 membuktikan bahwa faktor identitas agama dan etnis telah membelah preferensi pemilih dalam memilih kandidat. Meski para capres di 2019 sama-sama menganut agama mayoritas dan berasal dari etnis mayoritas, tapi citra mereka di mata publik tentang dua faktor tersebut tetap menciptakan keterbelahan preferensi publik dalam memilih.

Diskriminasi dan Opresi

Selain kekerabatan, unsur lain identitas seperti gender, agama dan etnisitas juga bisa menjadi privilese dalam kontestasi politik, sebagaimana fenomena white privilege dalam politik Amerika. Fenomena white privilege di Amerika menjadi bukti paling sahih bagaimana orang kulit putih di negara demokrasi terbesar dunia itu lebih memiliki kemudahan ketimbang orang kulit berwarna di sejumlah bidang termasuk politik, sampai Barack Obama yang seorang kulit hitam, membuktikan sebaliknya setelah 233 tahun negara adidaya itu merdeka.

Agama, etnistas dan warga kulit merupakan variable-variabel yang menggambarkan karakteristik sosiologis seorang kandidat, sehingga para pemilih dengan karakteristik sosiologis yang sama akan cenderung memilih kandidat tersebut. (Lazarsfeld, 1944) Kecenderungan pemilih untuk memilih kandidat yang seagama, satu etnis dan sewarna inilah yang menciptakan privilese bagi kandidat dengan identitas mayoritas dalam menghadapi kontestasi politik elektoral secara langsung.

Sebaliknya, seseorang yang memiliki identitas minoritas berpotensi mendapat diskriminasi dalam kontestasi tersebut. Terlebih jika kampanye politik dalam kontestasi tersebut menggunakan sentimen politik identitas, sebagaimana terjadi di Pilgub DKI 2017 yang mengandaskan Ahok, yang berasal dari agama dan etnis minoritas.

Saat itu, sebagai penganut minoritas, Ahok bukan hanya tidak punya privilese identitas, tetapi mendapat diskriminasi, bahkan opresi, lewat demo berjilid-jilid yang memanfaatkan salah ucapnya menjadi sebuah kampanye hitam yang efektif untuk mengandaskan si minoritas. Jika privilese memberikan kemudahan, maka diskriminasi dan opresi menimbulkan kesulitan. Diskriminasi dan opresi bukanlah kondisi tengah-tengah atau netral, tetapi berpotensi merugikan bagi orang yang mendapatkannya.

Jika agama dan etnisitas bisa mendatangkan privilese, atau sebaliknya menimbulkan diskriminasi dan opresi bagi kandidat, lalu bagaimana dengan gender? Kalau melihat proporsi laki-laki dan perempuan yang relatif selalu seimbang - tidak seperti agama dan etnisitas - bagaimana gender bisa menjadi privilese, diskriminasi atau opresi?

Kesetaraan gender masih menjadi problem hingga hari ini, meski proporsi gender Indonesia relatif selalu seimbang. Demikian juga kesetaraan gender dalam politik. Dalam masyarakat dengan budaya patriarki atau matriarki yang sangat kental, gender bukanlah tentang jumlah yang seimbang. Gender bukan hal yang netral, bahkan bisa menjadi pedang bermata dua seperti agama dan etnis.

Hasil studi World Value Survey (WVS) Indonesia 2018 menunjukkan masyarakat Indonesia secara umum memiliki kecenderungan patriarki, meski tidak sepenuhnya menganggap laki-laki selalu 'lebih berkuasa' daripada perempuan dalam segala aspek. Dalam riset tersebut, juga tampak mayoritas responden cenderung setuju bahwa laki-laki lebih baik dari perempuan dalam hal memimpin politik dan urusan bisnis. Dengan kecenderungan tersebut maka tidaklah berlebihan jika menilai gender perempuan berpotensi menciptakan diskriminasi dalam kontestasi politik di Indonesia hari ini.

Meski Indonesia sudah pernah memiliki presiden perempuan, yakni Megawati Soekarnoputri, bukan berarti potensi diskriminasi perempuan dalam kontestasi politik hilang begitu saja. Perlu diingat Megawati naik ke kursi kepresidenan bukan lewat kontestasi Pemilu langsung, tetapi lewat musyawarah mufakat dalam Sidang Istimewa MPR. Proses yang dilalui Megawati kala itu juga bukan tanpa penolakan dari sebagian kelompok berbasis agama yang menentang kepemimpinan perempuan.

Hasil survei nasional lembaga KedaiKOPI yang dilakukan pada 16-24 November 2021 bahkan menemukan 65,8 persen dari 1.200 responden tidak ingin memilih perempuan sebagai presiden. Alasan terbesar penolakan perempuan jadi presiden, menurut survei, adalah kodrat laki-laki yang memimpin (34,2 persen), perempuan kurang tegas dan berani (20,4 persen), kurang berwibawa (7,2 persen) dan masih banyak pria yang lebih kredibel (6,2 persen).

Diskriminasi perempuan dalam politik Indonesia pascapresidensi Megawati sebenarnya sudah bisa terbaca jika melihat proporsi keterwakilan perempuan dalam politik hari ini yang berjalan cenderung lambat, meski aksi afirmasi ini sudah dilembagakan lewat sejumlah aturan yang memaksa. Misalnya saja, 30 persen keterwakilan perempuan di DPR tidak kunjung tercapai meski sudah ada aturan yang mensyaratkan minimal 30 persen keterwakilan perempuan di daftar calon anggota legislatif sejak Pemilu 2009. Bahkan keterwakilan perempuan di DPR sejak 2009 bergerak fluktuatif, yakni 18,04 persen (2009-2014), turun 17,32 persen (2014-2019) dan naik lagi 21,39 persen (2019-2024).

Fluktuasi yang sama juga terjadi terhadap proporsi menteri perempuan dalam kabinet, dengan persentase tertinggi 21,05 persen (8 orang) di Kabinet Jokowi Jilid I. Sementara pada Kabinet Jokowi Jilid II, proporsi menteri perempuan justru turun menjadi 13,15 persen (5 orang).

Dari data yang menggambarkan lanskap politik Indonesia yang belum ramah terhadap kehadiran perempuan di atas, kemunculan tokoh-tokoh perempuan dalam bursa bakal capres 2024, seperti Puan dan Khofifah, bisa menjadi sebuah tantangan sendiri bagi dua srikandi tersebut. Puan yang mungkin selama ini banyak dipersepsikan mendapat privilese sebagai anak Megawati dan cucu Bung Karno, justru berpotensi menghadapi diskriminasi dalam kandidasi Pilpres 2024 hanya karena dia bergender perem-Puan, sesuai namanya.

Potensi diskriminasi terhadap gender terhadap Puan ini barangkali tidak banyak dilihat publik hanya karena Ketua DPR tersebut dianggap memiliki privilese kekerabatan. Padahal, kalau ibunya Megawati yang ditetapkan menjadi Presiden oleh MPR saja masih mendapat tentangan karena gender, diskriminasi yang sama mungkin akan diterima Puan menghadapi pemilu langsung, di mana lawan bisa saja menggunakan kampanye negatif berbasis gender untuk mempengaruhi persepsi pemilih terhadap Puan. Hal yang sama juga mungkin dihadapi oleh Khofifah, tergantung seberapa besar pematangan demokrasi Indonesia hingga hari pemilu tiba dalam merespons isu gender dalam politik.

Konteks Rezim

Berbicara privilese, diskriminasi dan opresi dalam politik, tentu tidak lengkap jika hanya melihat identitas bawaan tokoh, tanpa menyertakan konteks proses politik yang pernah dialami tokoh bersangkutan beserta elemen politik yang melekat padanya, seperti partai, atau organisasi politik lain yang menaungi. Konteks politik dalam bentuk periodisasi rezim pemerintahan menjadi hal yang relevan untuk mengukur privilese, diskriminasi atau mungkin opresi yang pernah didapat tokoh tersebut.

Misalnya, privilese Puan hari ini sebagai anak Megawati (ketum partai berkuasa) mungkin tidak lebih dari privilese AHY ketika di era pemerintahan SBY (2004-2014). Atau seandainya rezim yang 'existing' berkuasa hari ini adalah rezim SBY, mungkin bukan Puan yang lebih mendapat sorotan soal privilese menghadapi Pilpres 2024, tetapi AHY.

Jika konteks periodisasi rezim ini diperluas sejak era pasca-Indonesia merdeka, dan diukur dari kacamata privilese, diskriminasi dan opresi maka akan memunculkan lagi fakta-fakta yang mungkin sudah terlupakan untuk dijadikan perbincangan publik hari ini. Sebut saja Orde Baru (Orba), sebagai periode rezim pemerintahan terlama dalam sejarah Indonesia yang menciptakan puncak privilese bagi keluarga Soeharto. Sebaliknya, Orba memunculkan diskriminasi dan opresi kepada lawan-lawan politiknya, seperti aktivis prodemokrasi dan keluarga Bung Karno selama 32 tahun.

Tulisan ini bisa menjadi buku tersendiri jika harus menguraikan privilese keluarga Soeharto selama tiga dekade lebih. Istilah 'kroni Soeharto' mungkin sudah cukup menjelaskan bagaimana privilese Keluarga Cendana kala itu meluas sampai di luar batas wilayah kekerabatan. Sebaliknya, tulisan ini bisa catatan yang memilukan jika harus mengurai diskriminasi dan opresi Soeharto terhadap aktivis demokrasi dan keluarga Bung Karno.

Sebagai cucu Bung Karno (baca: musuh politik Soeharto), Puan barangkali tokoh dari daftar capres yang paling mendapat represi rezim Soeharto. Dalam momen Kerusuhan 27 Juli 1996 (Kudatuli) misalnya, Puan merasakan kesulitan hanya untuk keluar rumahnya di Kebagusan, sehingga kuliahnya di Universitas Indonesia (UI) terganggu akibat represi politik rezim Soeharto terhadap PDI dan keturunan Bung Karno kala itu. Sejarah mencatat, penyerangan aparat negara terhadap kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro 58 pada Sabtu Kelabu itu memakan 5 orang korban jiwa, dan ratusan lain luka-luka. Puan yang tidak bisa berangkat kuliah saat itu memilih membantu para korban luka-luka akibat Kudatuli yang berdatangan ke rumahnya, dan memasak untuk dapur umum bagi para pengungsi (Antara, 27 Juli 2022).

Represi rezim Soeharto terhadap keluarga Bung Karno, baik langsung maupun tidak langsung, ikut diterima Puan sebagai bagian keluarga oposisi kala itu. Sesuatu yang mungkin tidak pernah diterima AHY, sebagai anak SBY dan cucu Sarwo Edhie Wibowo, yang keduanya menjadi pejabat militer di era Orba. Atau mungkin juga Prabowo yang merupakan menantu Soeharto kala itu.

Tapi memang sekarang zaman sudah berubah. Demokrasi yang tercipta 24 tahun lalu telah memberi banyak kebebasan terhadap publik, termasuk dalam melihat kemudahan-kemudahan hidup lewat kacamata privilese (semata). Sementara sebagian publik lain, seperti Generasi Z (lahir 1997-2012) - yang justru paling dominan dalam populasi (pemilih) Indonesia - tidak pernah ikut merasakan masa perjuangan demokrasi. Masa di mana privilese dari kacamata oposisi dan rakyat jelata kala itu hanya akan melahirkan pilu.


Laurencius Simanjuntak, Dosen/Jurnalis Lepas

(akd/ega)

Sentimen: positif (99.9%)