Sentimen
Informasi Tambahan
Hewan: buaya
Kab/Kota: Cimahi, Tanah Abang, Brebes, Cengkareng, Jati, Rawa Buaya
Tokoh Terkait
Khairul
Siasat menekan sampah sisa makanan
Alinea.id Jenis Media: News
“Kalau sudah melewati Sabtu-Minggu, tempat sampah ini numpuk parah. Malam baru diangkut,” ucap pria berusia 40 tahun itu, Senin (19/12).
Petugas kebersihan di Bojong, Rawa Buaya, Cengkareng, Jakarta Barat, Herlandi pun mengakui, sampah sisa makanan dari warteg dan permukiman warga di daerah itu kerap menggunung.
“Sampah dari warteg banyak banget. Bisa tiga sampai lima kilogram (beratnya),” ujar pria 32 tahun itu, Senin (19/12).
Herlandi mengatakan, tak mampu menarik gerobak sampah dengan tenaganya sendiri saat sedang mengangkut banyak sampah sisa makanan. Ia lebih baik menarik gerobaknya dengan sepeda motor.
“Selain itu TPS (tempat pembuangan sementara) juga jauh,” kata dia.
Tumpukan sampah sisa makanan juga menjadi pemandangan lumrah di kawasan Tanah Abang, tak jauh dari Jalan Jati Bunder, Jakarta Pusat. Kawasan yang dipenuhi toko tekstil dan rumah makan itu menyisakan sampah makanan yang tak bisa dianggap remeh.
Seorang pedagang warteg di Tanah Abang, Darli, menuturkan sampah makanan sudah pasti ada di setiap usaha rumah makan karena belum tentu semua hidangan yang dijual bisa habis. “Kayak sayur bersantan yang gampang basi,” ucap Darli, Senin (19/12).
Warga asal Brebes, Jawa Tengah itu mengatakan, menyiasati makanan yang tak habis terjual dengan diberikan ke orang lain yang bekerja di sekitar Tanah Abang. “Misal (dikasih) sopir bajaj atau tukang panggul,” ujarnya.
Menurutnya, yang menjadi kesulitan meminimalisir sampah sisa makanan adalah menyesuaikan dengan kebutuhan konsumen. Ia sering kali salah prediksi, makanan yang ia sangka cepat terjual malah tak banyak yang membeli.
"Akhirnya sisa banyak," ujar Darli.
Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tahun 2021, jenis sampah sisa makanan mendominasi komposisi sampah secara nasional, yakni 30,82%. Diikuti sampah kayu atau ranting 12,84%, kertas atau karton 12,05%, dan plastik 17,9%.
Tak hanya usaha kuliner kecil dan menengah seperti warteg, upaya mengurangi sampah sisa makanan juga dilakukan manajemen pusat perbelanjaan Sarinah di Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat. Mal pertama di Indonesia yang menaungi banyak usaha kuliner ini bekerja sama dengan Badan Pangan Nasional (Bapanas) dan Surplus Indonesia—platform digital yang menyerap makanan kelebihan produksi untuk dijual kembali—demi menekan makanan yang terbuang sia-sia.
Menurut Direktur Utama PT Sarinah, Fetty Kwartati, program bebas sampah makanan yang diterapkan pihaknya sudah mulai terasa bisa menekan jumlah sampah sisa makanan. Dampak positif program ini, kata Fetty, berhasil menyalurkan makanan murah ke masyarakat yang membutuhkan.
“Program food waste ini sudah berjalan di mitra f and b (food and beverage atau bisnis makanan dan minuman siap saji) Sarinah bekerja sama dengan PT Ekonomi Sirkulasi Indonesia, dengan mengurangi pembuangan (sampah) makanan tenant lewat program aplikasi Surplus,” kata Fetty, Senin (19/12).
Fetty menerangkan, jumlah makanan dan minuman layak konsumsi yang berlebih dari ritel dan restoran di Sarinah, berhasil dikelola dengan baik lewat sistem penjualan kembali setengah harga di Surplus.
CEO & Founder Surplus Indonesia, Muhammad Agung Saputra mengatakan, pihaknya ingin makanan yang kelebihan produksi tak menjadi sampah. “Caranya dengan menjual makanan yang tidak laku terjual atau reject dengan harga murah, diskon 50%,” ujar Agung di Mal Sarinah, Jakarta, Selasa (20/12).
Olahan makanan dari berbagai restoran di Mal Sarinah yang sering tidak habis, kata Agung, berupa roti dan nasi. Sebisa mungkin, makanan-makanan itu dijual lewat aplikasi Surplus, sebelum masa kedaluwarsa.
Program mengurangi sampah sisa makanan di Mal Sarinah, ujar Agung, sudah diterapkan sejak Agustus 2022. “Dari Agustus sampai Desember (2022) ada sedikitnya empat ton makanan tidak habis terjual, yang bisa kami jual kembali dengan harga murah,” tuturnya.
Adapun Fetty menjelaskan, skema transaksi yang diterapkan untuk membeli makanan murah dilakukan bertumpu pada aplikasi Surplus di jam tertentu, sebelum toko tutup. Penjual yang sudah menjadi partner, kata dia, mengaktifkan menu berlebih di Surplus.
Lalu, pembeli melakukan transaksi dan membayar menggunakan dompet digital atau Surplus Pay. Kemudian, pembeli mengambil pesanan dengan metode ambil sendiri atau lewat layanan pengiriman yang sudah terintegrasi di aplikasi Surplus.
“Melalui gerakan ini, terbangun komunitas. Membantu mendistribusikan kembali barang yang berguna kepada mereka yang membutuhkan,” kata Fetty.
“Bisa dimulai dari sisa makanan layak konsumsi yang disumbangkan ke tempat penampungan atau yayasan yang bekerja sama.”
Strategi mengurangi sampah makanan
Asisten manajer ritel makanan khas Padang, Sari Ratu yang ada di Sarinah, Khairul mengatakan, sejak dijalankan program bebas sampah sisa makanan, pihaknya menghitung dengan cermat bahan makanan yang bakal diolah, dengan menaksir pengunjung yang datang.
“Supaya kami bisa estimasi bahan yang dibutuhkan untuk diolah buat menu. Enggak mubazir,” ucapnya, Selasa (20/12).
Kini, Khairul mengaku, tak ada lagi makanan yang menjadi sampah. "Kalau dulu pasti ada sisa makanan yang enggak bisa diapa-apain, akhirnya kebuang. Sekarang kalau ada berlebih, bisa langsung dijual di Surplus," kata Khairul.
Sementara itu, Deputi Bidang Kerawanan Pangan dan Gizi Bapanas Nyoto Suwignyo mengatakan, selain bekerja sama dengan PT Sarinah, pihaknya juga sedang mencoba program bebas sampah sisa makanan dengan Lippo Mall dan Foodbank of Indonesia (FoI).
“Untuk pertama program bakal dicoba di Lippo Mall Kemang,” katanya saat dihubungi, Senin (19/12).
Ia menjelaskan, program yang akan dilakukan dengan FoI dan Lippo Mall berbeda dari Sarinah. “Kerja sama dilakukan dengan memberikan edukasi kepada tenant agar menyalurkan pangan berlebih untuk (kegiatan) sosial,” kata Nyoto.
“(Nantinya) terdapat titik lokasi boks donasi pangan kepada konsumen mal, yang berkeinginan membantu.”
Di samping menjalin kerja sama dengan pusat perbelanjaan modern, Bapanas juga bekerja sama dengan pihak lain, seperti pengusaha hotel, ritel, dinas pangan provinsi dan kabupaten/kota, serta Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI).
“(Caranya) membuat platform pemantauan data pangan yang terselamatkan, serta edukasi dan promosi penguarangan pemborosan pangan,” ujarnya.
Sayangnya, Nyoto mengaku belum bisa menangani pemborosan pangan dan sampah sisa makanan di permukiman, yang jumlahnya lebih besar. Sejauh ini, Bapanas baru berusaha menjalin kerja sama dengan Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) dan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN).
Dihubungi terpisah, peneliti Indonesian Center for Environmental Law (ICEL)—sebuah lembaga riset dan advokasi bidang hukum dan kebijakan lingkungan hidup—Bella Nathania mengatakan, sampah sisa makanan memang masih menjadi permasalahan pelik, yang belum berhasil diatasi secara masif. Padahal, dampaknya lebih besar ketimbang sampah plastik dan kertas karena berisiko mengeluarkan emisi gas metana.
“Kalau sampah makanan dibiarkan gitu aja, ya bisa meledak kayak di (tempat pemprosesan akhir atau TPA) Leuwigajah (Kota Cimahi) itu. Makanya, sisa sampah makanan itu penting diminimalisir dan dikelola,” ucap Bella, Senin (19/12).
Tragedi ledakan sampah di TPA Leuwigajah terjadi pada 21 Februari 2005 dini hari. Saat itu, sebanyak 157 orang tewas karena tertimbun longsoran sampah.
Kondisi yang menyebabkan bertambahkan sampah sisa makanan, menurut Bella, lantaran belum masifnya konsep “bank makanan”, yang bisa menampung pangan berlebih layak konsumsi agar tak terbuang jadi sampah.
“Kalau di negara lain, sebagai contoh di (Kota) Milan, Italia, mereka bisa dengan mudah mendistribusikan makanan berlebih ke bank-bank makanan,” tuturnya.
Bank makanan adalah tempat di mana makanan ditawarkan kepada badan-badan nirlaba untuk dibagikan kepada orang tak mampu dengan cuma-cuma. Biasanya, bank makanan mendapat pangan dari toko serba ada dan sumbangan warga.
Belum adanya regulasi yang mewajibkan setiap pemerintah daerah untuk membentuk bank makanan, kata Bella, mengakibatkan masyarakat terutama di permukiman padat, tak punya kesadaran mengurangi pemborosan pangan.
“Kalau memang enggak mau dikelola lagi supaya bisa dikonsumsi, setidaknya harus dijadikan kompos,” ujar dia.
“Karena kalau dijadikan kompos kan lebih mudah, sebenarnya regulasinya di undang-undang sampah sudah ada.”
Beleid yang dimaksud Bella adalah Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Jika bisa diolah menjadi kompos di tingkat RT/RW yang difasilitasi pemerintah daerah, menurut Bella, sampah sisa makanan tak terbuang sia-sia.
“Permasalahannya, bicara daerah urban, kadang kesulitan lahan untuk mengompos,” ujarnya.
Lebih lanjut, Bella memandang, untuk mendukung program mengolah sampah makanan menjadi kompos, perlu iktikad pemerintah daerah dalam menyerap hasil kompos dari warga dengan cara membelinya.
"Bisa jadi intensif juga buat masyarakat yang sudah mau membuat kompos," ucap Bella.
Sentimen: positif (100%)