Sentimen
Informasi Tambahan
Agama: Islam, Budha, Hindu
Kab/Kota: Jati, Demak, Ambon, Yogyakarta, Mataram, Solo
Kesehatan Tradisional dalam Perspektif Sejarah dan Potensi Ekonominya
Krjogja.com Jenis Media: News
Krjogja.com - BICARA tentang jamu, tak bisa dilepaskan dari sejarah panjang yang mengiringi perjalanan bangsa Indonesia itu sendiri. Kata jamu pertama kali ditemukan dalam naskah kuno Gathotkaca Sraya karya Mpu Panuluh, dimana jamu disebut sebagai Jampi. Berbagai penyebutan terhadap obat tradisional ini akhirnya berkembang sesuai dengan zamannya, ada istilah jamu empirik, jamu saintifik, obat herbal terstandar (OHT), fitofarmaka dan obat modern asli Indonesia. Jauh sebelum Pemerintah Indonesia membagi obat tradisional menjadi klaster jamu, OHT dan Fitofarmaka, Jamu sebetulnya sudah dikenal oleh masyarakat khususnya etnis Jawa selama berabad-abad lamanya berdasarkan bukti-bukti arkeologi dan filologi (naskah kuno).
Bukti arkeologi tentang jamu misalnya seperti terdapat pada Relief Karmawibhangga di candi Borobudur tahun 772 M. Pada relief ini menunjukkan adanya kegiatan masyarakat kala itu yang sedang minum jamu. Ada juga relief di candi Sukuh yang menggambarkan orang sedang menumbuk jamu, dan berbagai relief lain yang serupa terdapat di candi Prambanan, Penataran, dan Tegalwangi. Relief ini menunjukkan bahwa tanah Jawa pada masa itu masih bercorak mataram kuno yang didominasi keyakinan masyarakatnya pada agama Hindu dan Budha. Ada 3 wangsa atau dinasti yang pernah berkuasa di era mataram kuno, yaitu Wangsa Sailendra, Wangsa Sanjaya dan Wangsa Isyana. Hal ini tergambar jelas dalam buku ensiklopedi Raja-raja dan Istri-istri Raja di Tanah Jawa: Dari Wangsa Sanjaya hingga Hamengkubuwono IX.
Dalam relief Lalitavistara di Candi Borobudur terdapat ilustrasi pahatan morfologi tumbuhan pada dinding candi yang berhasil diidentifikasi oleh Pusat Penelitian Botani dan Konservasi Tumbuhan, LIPI. Terdapat 34 jenis famili tumbuhan yang dikenal masyarakat pada masa Mataram Budha dengan 3 famili terbanyak dari kelompok Fabaceae, Moraceae dan Myrtaceae. Sebagai contoh kelompok Fabaceae adalah dari jenis kacang-kacangan, kelompok Moraceae termasuk di dalamnya jenis sukun-sukunan, dan kelompok Myrtaceae adalah jenis jambu-jambuan.
Relief Lalitavistara ini mempunyai kemiripan dengan Sutra Lalitavistara yang terdapat dalam sistem pengobatan tradisional India. Memasuki era Mataram Hindu, terdapat sebutan bagi para praktisi pengobatan tradisional pada abad 14 M berdasarkan temuan dari berbagai prasasti. Prasasti Balawi berangka tahun 1305 M menyebutkan adanya Tuha Nambi (tukang obat), Kdi (dukun wanita) dan Walyan (tabib). Prasasti Sidoteka disebut juga prasasti Jayanegara II tahun 1323 M, menyebutkan adanya istilah Tuha Nambi dan Wli Tamba (orang yang mengobati penyakit). Prasasti Bendosari disebut juga prasasti Manahi Manuk dan prasasti Jayasong tahun 1360 M menyebutkan adanya Janggan (tabib desa). Prasasti Biluluk berasal dari masa pemerintahan raja Hayam Wuruk (1350 M - 1389 M) dan Wikramawardhana (1389 M — 1429 M) menyebutkan Padadah (tukang pijat). Prasasti Madhawapura tidak berangka tahun, akan tetapi dari gaya bahasanya dapat diketahui dari masa kerajaan Majapahit, juga menyebutkan istilah Acaraki.
Selain bukti arkeologi berupa prasasti, bukti lainnya dapat diketahui dari antropologi medis tradisional masyarakat waktu itu, dimana jamu menjadi minuman kebesaran raja di upacara-upacara kerajaan. Delapan jenis jamu tersebut adalah kunir-asam, beras-kencur, cabe-puyang, paitan, kunci-suruh, kudu-laos, uyup-uyup (gepyokan) dan tawar-sinom. Jamu yang diminum raja itu melambangkan delapan arah mata angin sekaligus lambang surya Majapahit. Urutan meminum jamu yang ideal dimulai dari manis-asam, sedikit pedas-hangat, pedas, pahit, tawar, hingga manis kembali, sesuai dengan siklus kehidupan manusia.
Masuk era Mataram Islam ditandai dengan berakhirnya masa Kerajaan Majapahit dan tumbuhnya Kerajaan Islam pertama di Jawa yaitu Demak Bintoro dengan Raden Patah sebagai raja pertama. Dinamika kerajaan Demak hingga berakhir di Kasunanan Solo dan di kemudian hari pecah menjadi Kasunana Surakarta dan Kesultanan Jogjakarta. Pada masa mataram islam ini banyak karya naskah kuno yang tersimpan baik di Kasunanan Surakarta maupun di Kesultanan Jogjakarta, termasuk di Pakualaman Jogjakarta. Diantara nama-nama naskah kuno yang ada di Perpustakaan Museum Sonobudaya; Primbon , Serat Primbon Sarat Warna-warni, Serat Primbon Jampi Jawi. Perpustakaan Pura Pakualaman terdapat naskah kuno Punika Kagungan nDalem Jampi. Perpustakaan Widya Budaya Kraton terdapat naskah kuno Buku Kitab Betaljemur Adammakna. Perpustakaan Widya Budaya Kraton Surakarta terdapat kitab Kawruh Bab Jampi-jampi Jawi, dan lain-lain.
Di Dinas Perpustakaan dan Arsip DIY, ada terjemahan dari Serat Centhini dan Tamba Jawa yang merupakan terjemahan dari Serat Primbon Jampi Jawi. Dalam Serat Primbon Jampi Jawi berisi resep pengobatan tradisional jawa untuk mengobati 291 penyakit dengan resep sebanyak 398 ramuan yang sudah diklasifikasi berdasarkan jenis penyakit serta manfaat dari beberapa bahan jamu. Jenis tumbuhan yang sering dipakai adalah adas, arang, bawang putih, bengle, bawang merah, cabe, cengkeh, dringo, jeruk pecel, jinten, jungrahap, kayu angin, kayu legi, kedawung, kemukus, kencur, ketumbar, kunyit, lempuyang, manis jangan, masoyi, mungsi, pala, pulosari, dan garam.
Sedangkan dalam Serat Centhini merupakan dokumentasi pengetahuan jamu tradisional yang pernah lestari di Jawa pada masa silam.
Dicermati ada 80-an ramuan dan jenis penyakit yang tersurat dalam Serat Centhini. Contohnya berak lendir diatasi dengan lempuyang, kencur, kelapa, podhisari, dan sidawayah. Penyakit mejen atau impoten diobati dengan arang pohon jati, asam kawak, garam, jinten hitam, kencur, kunir, dan pondhisari. Menjaga kebugaran tubuh bisa ditempuh dengan mengonsumsi adas, cabe, manis jangan, kadhawung, kencur, ketumbar, merica, mungsi, pala, dan pulasari. Orang Jawa mengobati penyakit batuk dengan bahan asem kawak, kelapa, kunir, dan terasi merah. Sakit berak darah, diobati dengan asam merah, bawang merah, garam, dan minyak kelapa.
Pada masa kolonial Belanda, ada seorang serdadu Belanda berkebangsaan Jerman yaitu Gregorius Rumphius yang mengumpulkan tanaman-tanaman obat di Ambon dan terdokumentasi dalam Herbarium amboinense. Selain itu, ada Historia Naturalist et Medica Indiae oleh Jacobus Bontius tahun 1627 dan buku lawas lainnya di era kolonial hingga masa kemerdekaan Indonesia. Pada masa ini, Jamu dikembangkan ke dalam sektor industri dan pelayanan dengan munculnya berbagai produk baik jamu, OHT ataupun fitofarmaka. Selain itu, upaya mendorong jamu dalam pelayanan kesehatan tradisional sesuai dengan PP 103/2014. Berdasarkan PP ini, pelayanan kesehatan tradisional terbagi menjadi 3, yaitu empiris, komplementer dan integrasi.
Dalam upaya mendorong jamu sebagai tuan rumah di negeri sendiri dan tamu terhormat di luar negeri, pemerintah mengembangkan berbagai program unggulan seperti Asuhan Mandiri TOGA, Saintifikasi Jamu, Sentra Pengembangan dan Penerapan Pengobatan Tradisional, dll. Dinkes DIY sendiri menginisasi adanya konsep pengembangan jamu dengan tagline JAMPI ATI, akronim dari Jamu lan Pijet Agawe Awet Urip, Tinebih Ing Rubedo. JAMPI ATI merupakan bangunan sistem yang terdiri dari Gallery Djamoe, Pelayanan Kesehatan Tradisional oleh Masyarakat dan Pelayanan Kesehatan Tradisional Integratif. Akhirnya, jamu masuk ke era milenial dimana jamu tidak lagi selalu dianggap pahit. Selain itu, jamu disajikan dalam berbagai macam minuman berkelas seperti jamu cafe, jamu milenial, dll. JAMPI ATI adalah wujud nyata komitme Dinkes DIY dalam mendorong pengobatan tradisional dan atau obat tradisional masuk ke sektor ekonomi kreatif berbasis budaya asli Bangsa Indonesia, khususnya masyarakat Yogyakarta.
PMK 381 tahun 2007 tentang Kebijakan Obat Tradisional Nasional menyebutkan adanya 3 pilar utama yaitu jamu sebagai upaya pelestarian budaya, jamu sebagai upaya peningkatakan derajat kesehatan masyarakat dan jamu sebagai upaya peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat. Berdasarkan data dari Kemenperin RI tahun 2008, omset Jamu mengalami peningkatan yang signifikan berdasarkan estimasi menggunakan Least Square Method. Diperkirakan omset jamu nasional tahun 2025 mencapai 23 trilyun rupiah. Data lainnya dari Kementrian Perdagangan RI menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi jamu sebesar 5% per tahun. Atas dasar inilah, Bedah Naskah Kuno Dinas Perpustakaan dan Arsip DIY merupakan upaya untuk mendorong kemajuan industri jamu Indonesia yang berbasis ramuan-ramuan jamu yang terdapat dalam naskah-naskah kuno dan masih tersimpan baik di perpustakaan.(Kintoko, Dosen Farmasi Universitas Ahmad Dahlan, Ketua SP3T Dinkes DIY Ketua Umum Apoteker Praktek Herbal Indonesia)
Sentimen: positif (100%)