Sentimen
Informasi Tambahan
Hewan: Gajah
Kab/Kota: Kamal, Roa Malaka, Amsterdam
Tokoh Terkait
Maaf dari Belanda dan Brutalnya Perbudakan di Nusantara
Republika.co.id Jenis Media: Nasional
Pada 1673 hampir setengah penduduk Batavia berstatus budak
Oleh Mabruroh, Fergi Nadira B
REPUBLIKA.CO.ID, DEN HAAG — Perdana Menteri Belanda Mark Rutte pada Senin (19/12) meminta maaf atas nama pemerintah atas keterlibatan Belanda di masa lalu dalam perbudakan. Permintaan maaf secara resmi ini mengingatkan kembali brutalnya perbudakan pada masa kolonial di Nusantara.
"Kita dapat mengakui perbudakan dalam istilah yang paling jelas sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan," kata Rutte selama konferensi pers di Den Haag, dilansir dari Anadolu Agency, Selasa (20/12).
Dia menyatakan penyesalannya bahwa selama berabad-abad negara Belanda mengaktifkan, mendorong, dan mengambil untung dari perbudakan. “Orang-orang telah dimodifikasi, dieksploitasi, dan diperdagangkan atas nama negara Belanda," tambah Rutte.
Dia mengakui bahwa perbudakan sebagai penderitaan besar yang masih berdampak pada kehidupan masyarakat.
"Kita di Belanda harus menghadapi bagian dari masa lalu itu," kata Rutte. Namun, ia menambahkan bahwa "tidak ada yang hidup sekarang secara pribadi yang harus disalahkan atas perbudakan."
Dia juga mengakui bahwa negara Belanda memikul tanggung jawab atas penderitaan besar yang ditimbulkan pada orang-orang dan keturunan yang diperbudak.
Perdana Menteri kemudian menyerukan untuk bergerak maju dan melakukan percakapan yang sulit tentang masa lalu perbudakan.
Rutte menyatakan keinginannya untuk pengakuan dan pemahaman yang lebih baik menjelang tanggal simbolis, 1 Juli 2023, hari peringatan penghapusan perbudakan di Belanda.
Ia mengulangi permintaan maaf dalam bahasa Inggris, Papiamento dan Sranan Tongo, bahasa yang digunakan di kepulauan Karibia dan di Suriname. "Negara Belanda di Belanda memikul tanggung jawab atas penderitaan besar yang menimpa orang-orang yang diperbudak dan keturunan mereka," kata Rutte kepada audiensi di Arsip Nasional Den Haag. Sayangnya, Perdana Menteri tak menggunakan bahasa Indonesia.
"Kami, yang hidup di sini dan sekarang, hanya bisa mengakui dan mengutuk perbudakan dalam istilah yang paling jelas sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan," ujarnya menambahkan.
Menteri Belanda telah melakukan perjalanan ke tujuh bekas koloni di Amerika Selatan dan Karibia untuk acara tersebut. Pekan lalu, Wakil Perdana Menteri Belanda Sigrid Kaag juga mengatakan pada kunjungan resmi ke Suriname bahwa proses permohonan maaf akan dimulai menuju momen lain yang sangat penting pada 1 Juli tahun depan.
Para keturunan korban perbudakan Belanda akan merayakan 150 tahun pembebasan dari perbudakan dalam perayaan tahunan yang disebut "Keti Koti" (Memutus Rantai) di Suriname. Namun rencana tersebut telah menimbulkan kontroversi. Kelompok-kelompok dan beberapa negara yang terkena dampak mengkritik tindakan tersebut sebagai langkah terburu-buru, dan mengatakan kurangnya konsultasi oleh Belanda merupakan sikap kolonial.
Ada juga yang menuntut ganti rugi. Rutte dalam pidatonya Senin mengatakan bahwa memilih momen yang tepat adalah "masalah yang rumit".
"Tidak ada satu waktu yang tepat untuk semua orang, tidak satu kata yang tepat untuk semua orang, tidak satu tempat yang tepat untuk semua orang," katanya.
Belanda mendanai "Zaman Keemasan" kekaisaran dan budaya mereka pada abad ke-16 dan ke-17 dengan mengirimkan sekitar 600 ribu orang Afrika sebagai bagian dari perdagangan budak. Sebagian besar ke Amerika Selatan dan Karibia.
Pada puncak kerajaan kolonialnya, Provinsi Bersatu yang sekarang dikenal sebagai Belanda memiliki koloni seperti Suriname, pulau Curacao di Karibia, Afrika Selatan, dan Indonesia, tempat Perusahaan Hindia Timur Belanda bermarkas pada abad ke-17. Dalam beberapa tahun terakhir, Belanda telah bergulat dengan fakta bahwa museum dan kota bersejarah yang dipenuhi Rembrandt dan Vermeer sebagian besar dibangun di belakang kebrutalan itu.
Tekanan semakin meningkat di dalam negeri dengan kota-kota Amsterdam, Rotterdam, Den Haag, dan Utrecht secara resmi meminta maaf atas perdagangan budak. Rutte telah lama menolak, sebelumnya mengatakan periode perbudakan terlalu jauh ke belakang dan permintaan maaf akan memicu ketegangan di negara di mana sayap kanan tetap kuat.
Dalam pidatonya, Perdana Menteri Belanda tak menggunakan bahasa Indonesia. Padahal, adalah fakta bahwa perbudakan Belanda di Indonesia tak kalah brutal.Menurut almarhum Alwi Shahab, wartawan senior Republika yang rajin mencatat sejarah Jakarta, salah satu saksi bisu kebrutalan perbudakan di Jakarta adalah Gedung Arsip Nasional di Jalan Gajah Mada. Berjarak 10 kilometer dari pusat kota Batavia kala itu, gedung itu dibangun oleh Gubernur Jenderal Reinier de Klerk (1715-1780).
"Gedung itu masih tertata rapi dan dilestarikan bentuknya seperti 250 tahun lalu. Di bagian kiri dan kanan sayap terdapat puluhan kamar-kamar kecil. Di kamar-kamar inilah tempat para budak tidur, setelah sejak pagi dan malam bekerja tanpa mengenal waktu.
Kala itu, kaum budak merupakan hampir setengah dari penduduk Batavia, dan bernasib sangat buruk. Jual beli budak sangat menguntungkan. Ini juga dilakukan oleh nyonya de Klerk. Di halaman tengah gedung yang luas itu terdapat 'lonceng perbudakan'. Bila lonceng itu dibunyikan pada dini hari, para budak harus segera bangun sekalipun mereka masih lelah."
Menurut Abah Alwi, ketika serdadu atau kelasi VOC jadi warga Batavia, ambisi mereka adalah memiliki satu atau dua orang budak. Para budak dipaksa kerja siang malam tanpa istirahat.
Mereka menyiksa para budak begitu kejamnya, sehingga sebagian besar putus asa dan bunuh diri. Bernard Dorleans dalam buku Orang Indonesia-Orang Prancis menuturkan, ketika ia berada di Batavia ada budak yang gantung diri, dan dua budak menggorok lehernya sendiri.
Jika para pria merupakan penyebab para budak bunuh diri, maka para majikan perempuan lebih kejam lagi. Mereka bersenang-senang membunuh sendiri para budak serta memuaskan mata-mata mereka dengan tontonan yang lebih menyeramkan.
Batavia, sebagai pusat perdagangan VOC di dunia, tiap saat didatangi kapal-kapal asing. Para pelautnya, setelah berbulan-bulan berada di lautan, haus akan wanita. Sampai 1860 perbudakan masih diberlakukan di Batavia. Pada 1673 hampir setengah penduduk Batavia berstatus budak belian, yakni 13.278 orang dari 23.068 penduduk.
Tercatat juga kerapnya perselingkuhan antara meneer Belanda dengan para budak beliannya. Kala itu status sosial atau tinggi rendahnya derajat seseorang dihitung dari berapa banyak ia memelihara budak.Di antara pemilik budak yang terkenal adalah Van der Ploegh, seorang pejabat tinggi VOC yang tinggal di Roa Malaka, Jakarta Barat, memiliki puluhan budak belian laki-laki dan perempuan. Salah seorang budaknya, bernama Rossina, dari Bali, yang baru berusia 16 tahun, digambarkan memiliki paras cantik dan tubuh bahenol. Sang nyonya yang dibakar cemburu ketika merasa tuannya jatuh hati kepada budaknya itu, tanpa mengenal kasihan membakarnya hidup-hidup.
Gubernur Jenderal Van der Parra (1761-1775), yang kesohor senang pesta dan hura-hura, setiap tahun mengimpor 4.000 budak belian. Baik dari Bali dan Sulawesi, maupun dari Koromandel (India). Banyak di antara mereka yang mati karena pelayanan kesehatannya sangat buruk.
Cornelis Johanna ded Befree, puteri Raad van Indie, memelihara 59 budak untuk mengurus rumah tangganya. Pada 1775, di kediaman van Riemsdijk, seorang kaya raya di Batavia memelihara 200 budak terdiri dari perempuan, laki-laki dan anak-anak.
Pada 13 Agustus 1625, hanya enam tahun setelah JP Coen mendirikan Batavia, seorang perempuan pribumi, Maria, mengadukan suaminya, Manuel, pada polisi. Manuel memaksa dirinya dan budak perempuannya untuk mencari nafkah haram dengan melacurkan diri setiap hari. Hal ini jamak dilakukan pemilik budak kala itu sementara majikan menerima hasil jual diri tersebut.
Tak hanya di Batavia, kekejaman perbudakan-perbudakan juga tercatat di kebun-kebun milik kolonial di Sumatra. Mantan pemimpin redaksi Republika Asro Kamal Rokan dalam catatannya sempat menyinggung sosok J Van den Brand yang membongkar kekejaman terhadap pekerja kebun di Sumatra pada awal abad ke-20. Van den Brand merupakan pengacara sekaligus pemimpin redaksi Sumatra Post.
Ia membongkar skandal besar kasus perbudakan di Deli, Sumatra Utara yang menggemparkan negeri Belanda. "Para kuli dicambuk, diseret dengan kuda, digantung, kuku kaki mereka ditusuk bambu. Kuli perempuan ditelanjangi, (mohon maaf) kemaluannya dibubuhi merica," tulis Den Brand dalam artikel berjudul De Millioenen Uit Deli (Berjuta-juta dari Deli). Perkebunan-perkebunan di Sumatra diketahui menyumbangkan kekayaan tak terkira bagi Kerajaan Belanda. n
Sentimen: negatif (100%)