Cegah Politik Identitas Jelang Pemilu 2024, Kita Bisa Apa?

Jitunews.com Jitunews.com Jenis Media: Nasional

18 Des 2022 : 08.28
Cegah Politik Identitas Jelang Pemilu 2024, Kita Bisa Apa?

Politik identitas menjadi isu yang selalu diangkat menjelang Pilpres. Kelompok tertentu memainkan sentiment kesamaan demi memobilitas suara, padahal hal itu bisa memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa

Isu politik identitas masih menjadi hal yang terus diperbincangkan oleh khalayak terutama memasuki tahun politik. Banyak pihak yang merasa khawatir dengan isu politik identitas yang kembali mencuat menjelang pemilu serentak pada tahun 2024. Dimana rakyat Indonesia akan memilih anggota DPR, DPRD, dan  Presiden secara bersamaan pada 14 Februari 2024.

Seperti yang kita ketahui, politik identitas  telah menciptakan polarisasi yang tajam di tengah masyarakat.  Efek dari politik identitas masih terasa hingga saat ini, dimana masyarakat menjadi mudah terpecah belah dan diadu domba oleh kelompok yang bersebelahan. Politik identitas pernah menggema di pesta demokrasi Indonesa pada Pilpres 2014, Pilpres 2019, dan Pilgub DKI Jakarta pada tahun 2017.

Lantas apa itu politik identitas?

Prabowo Dipastikan Menang di Pilpres 2024 Jika Lakukan Hal Ini, Ganjar-Anies Lewat

Dikutip dari buku Politik Identitas dan Masa Depan Plurarisme Kita karya Ahmad Syafii Maarif menyatakan bahwa politik identitas  secara substantis dikaitkan dengan kepentingan anggota-anggota sebuah kelompok sosial yang merasa diperas atau tersingkir oleh dominasi arus besar dalam sebuah bangsa dan negara.

Politik identitas hadir sebagai narasi resisten kelompok terpinggirkan akibat kegagalan narasi arus utama mengakomodir kepentingan minoritas. Secara positif politik identitas menghadirkan wahana mediasi penyuaraan aspirasi bagi yang tertindas. Sederhananya, politik identitas merupakan alat untuk memobilisasi massa atau meraih suara massa dengan menggunakan sentiment kesamaan.

Politik identitas awalnya berkembang di Amerika Serikat (AS) pada awa 1960-an. Dalam tulisan L.A Kauffman disebutkan bahwa mahasiswa anti kekerasan di AS menggunakan istilah politik identitas saat menanggapi dominasi kelompok tertentu. Kauffman merujuk pada perjuangan kesetaraan gender dan orang kulit warna hitam dalam kehidupan sosial masyarakat.

Musdah Mulia (2012) mengatakan bahwa politik identitas yang berkembang di negara barat dilakukan oleh kaum minoritas untuk menentang mayoritas. Namun hal itu berbeda dengan kondisi yang terjadi di Indonesia. Politik identitas di Indonesia dilakukan oleh kelompok mayoritas untuk memaksakan kaum minoritas.  Kelompok mayoritas melabeli kaum minoritas sebagai hal yang menyimpang.

Wajah politik identitas di Indonesia

Politik identitas yang efeknya paling terasa hingga saat ini yakni politik identitas yang digunakan oleh sejumlah pihak untuk memenangkan suara di Pilgub DKI Jakarta pada tahun 2017. Saat itu, ada tiga calon gubernur DKI Jakarta yakni  Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, Anies Baswedan dan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).

Salah satu calon gubernur yakni Ahok memiliki agama yang berbeda dari dua calon gubernur lainnya. Perbedaan agama itu, kemudian dijadikan alat oleh kubu-kubu yang saling berseberangan untuk saling menyerang. Hingga saat ini kubu-kubu tersebut menamai kubunya dengan istilah yang kita kenal dengan cebong dan kampret.

Sementara itu, Mantan Gubernur DKI Jakarta yakni Anies Basewedan dalam sebuah wawancara mengatakan bahwa politik identitas merupakan hal yang tidak bisa dihindarkan dalam pesta demokrasi. Ia menyebut ada unsur emosi yang dimainkan dalam politik identitas. Politik identitas, kata dia, tidak selalu berhubungan dengan agama, namun juga kondisi peserta pemilu yang berbeda seperti ras, etnis, maupun gender. Kubu yang berseberangan akan memainkan unsur sara seperti ras, etnis, hingga agama (SARA) untuk meraih suara di kontestasi pemilu.

Terbaru, pegiat media sosia Ade Armando menyampaikan pernyataan konteroversial terkait politik identitas. Dalam videonya yang berjudul ‘BILA SUARA UMAT KRISTEN TERBELAH, ANIES AKAN MENANG’, Ade Armando menyinggung terkait kemungkinan Anies Baswedan menjadi pemenang di Pilpres 2024.

Video yang diunggah di YouTube Cokro TV itu, Ade Armando menyebut Anies Baswedan akan menang sebagai Presiden di 2024 apabila pemilih dari umat Kristen suaranya terbelah. Ade Armando menganggap lawan politik Anies Baswedan yang sepadan di Pilpres 2024 yakni Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. Ia menyebut Ganjar akan menang sebagai presiden apabila mendapat dukungan dari umat Kristen.

“Karena itulah saya katakanan kekompakan suara pemilih Kristen akan menentukan. Kalau umat Kristen kompak Anies akan gagal kalau suara umat Kristen terbelah Anies akan melenggang jadi presiden,” ujar Ade Armando dalam video tersebut yang dilihat Sabtu (17/12/2022).

Pernyataan Ade Armando dalam video itu menuai kritikan dari sejumlah tokoh. Banyak pihak yang menyayangkan pernyataan Ade Armando karena berpotensi memecah belah persatuan bangsa. Pernyataan Ade Armando itu disebut sebagai narasi membangun politik identitas menjelang Pilpres 2024.

Dilansir dari detikcom Sabtu (17/12/2022), berikut tanggapan sejumlah politikus terkait pernyataan kontroversial Ade Armando yang menyebut Anies Bawedan akan menang di Pilpres 2024 jika suara umat Kristen terbelah.

“Bahaya video ini. Sebagai umat Kristen saya tidak setuju! Buat keterbelahan, bisa timbulkan konflik-ketegangan sosial,” ujar Wakil Sekretaris Jendral (Wasekjen) Partai Demokat , Jansen Sitindaon di akun media sosial Twitternya.

“Jadi politik identitas, kebencian, itu ada sama Anies, jadi apapun Anies bikin ya pasti salah,” ujar Wakil Ketua Umum NasDem, Ahmad Ali kepada wartawan.

“Ya sebenarnya kita ini kan punya Pancasila. Sejak masa zaman kerajaan kita sudah punya Bhinneka Tunggal Ika, tidak ada persoalan kehidupan beragama. Lalu mereka yang  menggunakan politik identitas itu bagian dari sebuah bentuk ambisi kekuasaan,” kata Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto.

Mengelola keragaman untuk mencegah politik identitas

Seperti  penjelasan  sebelumnya, politik identitas biasanya memainkan unsur SARA  dalam upaya meraih suara.  Padahal semboyan bangsa Indonesia yakni Bhineka Tungga Ika yang memiliki makna meskipun memiliki keragaman budaya seperti ras, suku bangsa, kepercayaan, agama dan bahasa, Indonesia tetap satu.  Lantas bagaimana mengelola keragaman tersebut untuk mencegah politik identitas?

Dalam buku berjudul Organizational Communication Approaches and Processes yang ditulis Katherine Miller disebutkan ada beberapa pendekatan yang digunakan untuk mengelola keragaman dalam sebuah organisasi. Pendekatan yang diambil oleh ilmuwan dan praktisi komunikasi organisasi berbeda dalam mengelola keragaman, tergantung dari tujuan yang hendak dicapai.

Sebagai seorang sarjana, kami mengambil pendekatan budaya dalam mengelola keragaman untuk mencegah terjadinya politik identitas. Pendekatan budaya yakni organisasi yang beragam dilihat sebagai situs penting dimana budaya organisasi bersinggungan dengan budaya nasional dan etnis dan dengan nilai-nilai berbagai kelompok budaya bersama.

Miller (2015) menyatakan bahwa ada peranan komunikasi dalam budaya organisasi, dimana komunikasi lebih dari sekedar alat transmisi namun juga menjadi kinerja dalam budaya organisasi. Dengan demikian, apabila kita tarik benang merahnya dengan isu politik identitas yang terjadi di Indonesia. Politik identitas dapat dicegah dengan mengkomunikasikan  keuntungan keragamaan dalam berbangsa dan bernegara.

Selain itu perlu dikomunikasikan terkait apa itu politik identitas, dan bahayanya untuk pertumbuhan demokrasi di Indonesia kepada semua elemen masyarakat. Dengan demikian, akan tumbuh komitmen bersama untuk tidak menggunakan narasi politik identitas dan isu-isu SARA yang bisa memecah belah persatuan bangsa.

Tidak mudah untuk melakukan proses komunikasi terhadap masyarakat yang beragam. Oleh karena itu diperlukan peranan semua pihak termasuk tokoh yang bepengaruh untuk mengkomunikasikan terkait apa itu politik identitas, bahayanya, dan lain sebagainya.  

Sebagai contoh, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dapat menggandeng tokoh agama untuk memberikan edukasi terkait politik identitas kepada masyarakat. Namun sebelumnya, harus ada kesepakatan bersama terkait definisi politik identitas, bahayanya politik identitas, dan informasi lain terkait politik identitas. Dengan demikian, harapannya muncul kesadaran masyarakat untuk menghindari politik identitas yang dapat memecah belah persatuan menjelang Pilpres 2024.

Mengkomunikasikan politik atau edukasi politik sejak dini juga diperlukan sebagai upaya untuk mencegah politik identitas. Anak-anak harus mulai ditanamkan terkait nilai-nilai yang benar dan salah, baik itu dilingkungan keluarga maupun sekolah. Dengan demikian, mereka bisa paham mana yang termasuk informasi yang benar atau hoaks. Ketika beranjak dewasa, mereka tidak mudah menyebarkan informasi hoaks atau isu-isu SARA yang bisa memecah belah persatuan. Selain itu, mereka menjadi paham bagaimana caranya berpolitik yang benar.

Penulis: Trisna Susilowati

Mahasiswa Program Magister Ilmu Komunikasi

Universitas Sebelas Maret Surakarta

 

 

 

Anies Baswedan: Relawan Sesungguhnya Adalah Mereka yang Bekerja Tanpa Dibayar

Sentimen: positif (100%)