Sentimen
Informasi Tambahan
Agama: Islam
Event: Pemilu 2019
Kab/Kota: bandung, Cimahi, Bekasi, Karawang, Purwakarta
Tokoh Terkait
Keberadaan Parpol Baru di Pemilu 2024 Bisa Membuat Konstelasi Politik Lebih Menarik?
Pikiran-Rakyat.com Jenis Media: Nasional
PIKIRAN RAKYAT - Meski kecil kemungkinan bagi tiga partai politik (parpol) baru yang sudah ditetapkan KPU sebagai peserta untuk memenangi Pemilu 2024, akan tetapi keberadaannya bisa membuat dinamika konstelasi politik tanah air menjadi lebih menarik.
Kemampuan penetrasi parpol baru akan sangat ditentukan oleh karakter dan ideologi baru yang diusung, sehingga memiliki pembeda dengan parpol-parpol lama yang sudah duduk di dalam parlemen maupun pemerintahan.
Selain faktor pembeda dengan parpol eksisting, masyarakat juga akan memperhatikan dua hal lain sebelum memutuskan untuk menaruh simpati atau dukungan. Masyarakat sangat memperhatikan figur atau sosok di balik partai, serta program yang dimiliki.
Baca Juga: KPU Tetapkan 17 Partai Politik yang Lolos Menjadi Peserta Pemilu 2024 Mendatang
Ketiga parpol baru tersebut diprediksi belum akan menjadi game changer dalam konstelasi politik 2024, melainkan baru pada fase berusaha eksis untuk menancapkan pengaruh dan menebar jaring simpati kepada masyarakat.
Guru Besar Ilmu Politik dan Keamanan Universitas Padjajaran Prof Muradi memperkirakan, dibandingkan dua parpol baru yang ditetapkan KPU sebagai peserta Pemilu 2024 yakni Partai Kebangkitan Nusantara (PKN) dan Partai Buruh, Partai Gelombang Rakyat Indonesia (Gelora) memiliki kans lebih besar untuk meraup suara pemilih.
Hal yang menjadi penentu yakni karena Partai Gelora dianggap oleh sejumlah kalangan sebagai pecahan dari PKS. Seperti diketahui, sejumlah mantan politikus PKS seperti Anis Matta dan Fahri Hamzah bergabung dengan Partai Gelora. Tokoh PKS lainnya yang ikut bergabung dalam Partai Gelora adalah Achmad Rilyadi yang kini menjadi Bendahara Umum.
Setidaknya, ada tiga hal yang sangat menentukan popularitas dan tingkat elektabilitas parpol baru di Pemilu 2024. Pertama, tergantung pada strategi yang dilakukan elite politik parpol untuk memanfaatkan suara pemilih.
Baca Juga: 5 Catatan Kritis Penyebab Anggota Parpol Ditolak KPU saat Mendaftar sebagai Peserta Pemilu 2024
Pada Partai Gelora, strategi tersebut sangat diperlukan terhadap pemilih yang memiliki keraguan terhadap PKS. Suara pemilih yang ragu ini masih bersifat mengayun (swinging voters). Jika elite partai bisa memiliki isu yang berkaitan dengan skala nasional, maka raihan suara pemilih baru sangat mungkin didapatkan.
Cara Partai Gelora bisa mengolah isu kerakyatan agar bisa menjadi pembeda dengan PKS, juga disebutkan Muradi menjadi hal krusial.
“Pada Pemilu 2019 Partai Gelora gagal, karena pendekatannya masih sama, jadi masih satu tema,” tutur Muradi.
Faktor pembeda terkait isu populis yang berkaitan dengan ideologi partai, juga berpotensi besar menarik perhatian pemilih.
Hal ketiga yang disebutkan Muradi yakni daya jelajah dari masing-masing kader untuk meraih suara. Cara kreativitas kader untuk meraih simpati, akan sangat menentukan raihan suara.
Perspektif
Sementara itu pada Partai Buruh, Muradi berpendapat bahwa partai bernomor urut enam pada Pemilu 2024 ini masih memiliki ambiguitas mengenai karakter. Disebutkan dia, selama ini di Indonesia, kata 'buruh' seringkali diasosiasikan dengan pekerja kelas bawah. Dengan demikian, akan sulit untuk menyasar suara masyarakat menengah ke atas.
“Saya, kita semua adalah buruh. Tapi terkadang, banyak karyawan yang tidak suka disebut sebagai buruh. Nah, persoalan perspektif ini yang bisa menjadi ganjalan dalam upaya peraihan suara,” tutur Muradi.
Baca Juga: Golkar Jawab Soal Ridwan Kamil Berpeluang Dimajukan Capres 2024 Melalui KIB
Pendekatan bahwa semua pekerja adalah buruh, tak terkecuali berada di tingkatan mana dia, akan menjadi jalan keluar yang cukup efektif.
Dengan demikian, basis suara yang berpotensi menjadi pemilih, hanya sekitar enam juta orang. Jumlah tersebut terdiri dari buruh kasar. Padahal jika menyasar pada seluruh pekerja, basisnya bisa mencapai lebih dari 135 juta orang.
Bagaimana parpol baru merepresentasikan dirinya melalui identitas atau simbol seperti logo, juga akan menjadi hal-hal yang diperhatikan publik. Pada Partai Gelora, misalnya, logo barunya yang membedakan diri dari PKS, juga akan mencirikan semangat perubahan.
Hal yang sama juga sempat terjadi pada Golkar dan Gerindra, maupun Golkar dan Partai Nasdem.
“Mereka sudah memiliki pembeda, sehingga bisa mendapatkan perhatian dari pemilih baru. Jika Partai Gelora bisa seperti itu, maka selain bisa meraih suara lama, juga bisa mendapatkan suara pemilih baru,” tuturnya.
Pada PKN, Muradi menilai bahwa jumlah suara yang disasar lebih kepada menjaga suara pemilih yang merupakan loyalis Anas Urbaningrum dari Partai Demokrat dan PB Himpunan Masyarakat Islam (HMI).
“Tapi untuk perspektif ini, masih coba-coba dan masih belum clear apakah keberadaan PKN bisa membelah Partai Demokrat yang kini terlihat lebih solid dan mengambil suara di HMI untuk kepentingan yang lebih umum. Jujur, saya masih ragu,” kata Muradi.
Dengan demikian, Muradi memperkirakan bahwa hanya Partai Gelora yang mungkin bisa mendapatkan raihan sekitar empat persen suara. Sedangkan Partai Buruh dan PKN, butuh perjuangan yang lebih keras untuk mendapatkan raihan suara 2 persen.
Di Jabar, penetrasi Partai Gelora juga disebutkan Muradi akan lebih dalam dibandingkan dua parpol lainnya. Hal itu disebabkan karena banyaknya elite-elite PKS yang berada di Jabar, atau di kantung suara Jawa Barat.
Untuk Partai Buruh, basis suara juga terbilang besar, karena Jabar merupakan salah satu kantong pekerja yang besar di Indonesia. Misalnya, Karawang, Cimahi, Bekasi, Purwakarta, dan Kabupaten Bandung.
“Itu pun dengan asumsi kalau mereka memilih di Jabar. Karena dari kalangan pekerja, banyak juga yang akan memilih di daerah asalnya yakni luar Jabar,” ujar Muradi.***
Sentimen: negatif (100%)