Sentimen
Informasi Tambahan
Kab/Kota: Bantul
Kasus: covid-19
Tokoh Terkait
Rain
Lukita Ceramic Studio, Berburu Cuan, Tawarkan Kisah Renik Keramik Cantik
Harianjogja.com Jenis Media: News
Harianjogja.com, BANTUL — Berawal dari komunitas, Lukita Ceramic Studio kini berkembang menjadi alat bisnis. Meski begitu, muruahnya sebagai sarana edukasi dan ruang berekspresi tetap dipertahankan.
Gelas keramik itu bernama Midnight Sea. Dari mayoritas warna hitam, terdapat goresan putih seperti ombak atau kumpulan plankton. Adapula titik-titik putih seperti simbol bintang. Setelah menonton film Life of Pi, Arif Hanung TS terinspirasi membuat konsep gelas ini.
Dalam film tersebut, kapal yang ditumpangi Pi, keluarga, dan hewan-hewan peliharaannya karam di lautan. Pi selamat dengan menggapai sekoci. Sayangnya, hidup setelah itu tidak mudah, ada harimau yang juga berada di sekoci. Pi dan harimau harus mengubah insting saling mengancam untuk hidup berdampingan.
Berbulan-bulan mereka mencoba bertahan hidup. Putus asa, kesendirian, sampai kesepian tentu menjadi teman sehari-hari. Namun saat jiwa sudah pasrah dan berserah, di waktu itulah pertolongan semesta datang.
Gelas Midnight Sea hanya satu dari 30 lebih gelas keramik yang ada di Lukita Ceramic Studio. Semua memiliki ceritanya masing-masing. Ada gelas bernama Volcano, Chocoland, Rain Forest, Red Wave, dan lainnya.
“Ceritanya bisa dari yang ringan sampai berat. Tetapi yang pasti, kami ingin berikan pesan yang positif, terutama berbagi spirit. Orang makan dan minum dengan produk kami, pengennya sehat jiwa dan raga,” kata Arif yang merupakan salah satu owner Lukita, saat ditemui di Lukita Ceramic Studio, Gedongan, Bangunjiwo, Kasihan, Bantul, Jumat (2/12/2022).
Pria berusia 32 tahun ini percaya apabila energi positif gelas, piring, atau alat makan lainnya bisa menular ke pengguna. Terlebih gelas mewadahi benda cair. Dalam beberapa kepercayaan, air bisa menyimpan ingatan serta energi.
BACA JUGA: Empat Lokasi di Bantul Ini Rawan Kepadatan Kendaraan Saat Libur Nataru
Meski Lukita berjualan produk keramik dari alat makan serta hiasan rumah, tetapi sentuhan seni tidak luput jadi perhatian. Hal ini terhubung dengan awal mula berdirinya embrio Lukita pada 2014. Kala itu, para pencinta keramik berkumpul secara organik, menjadi sebuah komunitas.
Sekitar 70% anggota belajar secara otodidak. Misalpun ada yang kuliah seni, tidak spesifik seni keramik. Setiap harinya mereka belajar dan bereksperimen. Tidak jarang juga mereka menerima pesanan.
Meski belum memiliki legalitas badan usaha, kala itu sudah banyak peserta magang dari berbagai kampus dan sekolah.
“Serius menjadi UMKM dengan segala pengelolaannya sejak masa pandemi Covid-19. Kala itu sudah punya bekal alat maupun skill,” kata alumnus Pendidikan Seni Rupa, UNY itu.
Berbeda dengan produksi pabrik yang bisa ribuan per hari, Lukita rata-rata menghasilkan 100-150 produk sebulan.
Kualitas
Semua produk dikerjakan satu per satu oleh para seniman. Jumlah produksi bisa saja turun, saat ada anggota Lukita yang harus membimbing peserta lokakarya atau sedang mengikuti pameran.
Adapun penjualan produk keramik sebulan, kata dia, sekitar 30 unit. Memang tergolong sedikit dibanding produsen kelas kakap. Namun, memang bukan semata kuantitas yang Lukita kejar, tetapi lebih kepada kualitas.
Bukan menjadi ranah Lukita untuk bersaing dengan sekelas pabrik besar. “Kami bicara apresiasi karya seni. Bagi yang mempunyai bekal pengetahuan visual, tidak hanya memandang produk [Lukita] sebagai benda guna, tapi juga unik dan artistik,” katanya.
Bagi masyarakat yang memang mengetahui seni keramik, harga produk Lukita dari yang puluhan sampai Rp140.000 bukan menjadi masalah. Kebanyakan pembeli yang menganggap produk Lukita sebagai karya seni, dia tidak akan banyak berkomentar tentang harga. Berbeda dengan masyarakat umum, beberapa mengira harga tersebut terlalu mahal.
Saat ini, pola penjualan Lukita semakin berkembang. Dari yang awalnya perorangan, kini merambah ke konsumen seperti kafe dan hotel. Tidak jarang mereka meminta ukuran dan bentuk gelas secara spesifik.
Namun, konsumen juga perlu menyadari, lantaran semua dibuat menggunakan tangan, ada potensi barang jenis tertentu yang tidak benar-benar mirip.
“Kalau produk pabrik bisa sama persis, sementara kami yang handmade mungkin kemiripan di produk yang sama sekitar 90-95 persen. Produksi menggunakan insting ini kadang dianggap plus, kadang dianggap minus, tergantung konsumen memandangnya,” kata Hanung.
PROMOTED: Kisah Dua Brand Kecantikan Lokal Raup Untung dari Tokopedia: Duvaderm dan Guele
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber : antara
Sentimen: positif (99.9%)