Sentimen
Informasi Tambahan
Kab/Kota: bandung
Kasus: Teroris, teror, Bom bunuh diri
Tokoh Terkait
Menghadapi Terorisme Murahan
Kompas.com Jenis Media: Nasional
PERKEMBANGAN radikal-terorisme telah masuk ke tahap akut. Keinginan untuk memberantas sampai ke akar-akarnya tidak mudah.
Pemerintah Indonesia, melalui kepolisian, berusaha semaksimal mungkin untuk memutus mata rantai radikal-terorisme. Baik menggunakan “soft approach” maupun “hard approach”.
Namun aktivitas dan aksi mereka tetap ada. Ditambah, embrio-embrionya muncul ke permukaan seperti bakteri, yang ditumpas kemudian muncul kembali.
Ragam fenomena dan kejadian, mengingatkan saya pada sebuah film berjudul Body of Lies (2007) yang memotret keadaan bahwa kita bisa merasakan sama lelahnya dengan musuh, kemudian sama-sama merancang strategi jitu dalam aksi di lapangannya.
Objek yang dicegah dan ditanggulangi selama ini memiliki doktrin tentang “sang pejuang masa depan”, yang membuat mereka terus beradaptasi.
Dalam istilah kelompok teror disebut “al-Mutaghayyirat”; sebuah tuntutan untuk mampu berselancar di alam tempat mereka tinggal dan bertugas.
Perselancaran itu telah mereka buktikan dengan melakukan gerakan infiltrasi dan gerakan senyap ke berbagai lapisan kelompok, institusi, dan lembaga.
Kepiawaian mereka bermetamorfosis ini dikenal juga dengan “soft strategy” (strategi lembut), yang piawai menyakinkan target dan objek sasaran.
Kelompok teror terbesar di Indonesia seperti Jamaah Ansharud Daulah (JAD) dan Jamaah Islamiyah (JI) bukan sesuatu yang susah untuk merekrut dan mengkader masyarakat yang sudah tidak percaya pada pemerintah, pihak keamanan, dan lembaga-lembaga keagamaan.
Mereka melempar jala ke ruang-ruang yang benih intolerannya sudah ada, hingga menjaring siapa yang potensial di kelompoknya.
Maka mereka memelihara narasi-narasi antipemerintah, sikap intoleran pada kemajemukan hingga membenturkan sesama anak bangsa.
Penyederhanaan aksiPascadisahkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, terjadinya beberapa pergeseran pemaknaan yang dilakukan kelompok teror.
Pertama, menyederhanakan aksi-aksi di lapangan dalam rangka membuat ketakutan berkelanjutan, seperti Abu Rara yang divonis 12 tahun penjara karena terlibat kasus penusukan Wiranto (10 Oktober 2019).
Begitu pula Zakiah Aini yang bermodalkan airsoft gun melakukan penyerangan ke Mabes Polri (31 Maret 2021).
Zakiah Aini tahu bahwa alat yang dipegangnya tidak akan mematikan orang, namun dirinya menjemput kematian karena telah mendapat asupan doktrin tentang “istisyhadiyah” (operasi untuk mencari kematian).
Penyederhanaan aksi di atas karena tak luput dari adanya fatwa yang tersebar dalam jaringan teror.
Tak heran, jika motor yang dikendarai pelaku Agus Sujatno terdapat tulisan “KUHP – Hukum; Syirik/Kafir; Perangi Para Penegak Hukum Setan”.
Membungkus aksinya dengan sekelumit tafsir agama dan menafikan hakikat bahwa semua ciptaan Tuhan turut serta melibatkan manusia dalam proses praktiknya.
Mereka inilah yang disebut oleh Ahmad Syafii Maarif sebagai penganut aliran teologi maut; “berani mati karena tidak berani hidup, dan memonopoli kebenaran bahwa di luar kami haram”.
Maka kontra narasi berbasis agama sangat dibutuhkan dalam konteks Indonesia. Mengapa? Stephen E Flynn, seorang pakar penanggulangan terorisme Amerika Serikat telah mengingatkan bahwa aksi-aksi teror tidak akan pernah padam, bahkan frekuensinya bisa semakin meningkat dan bervariasi.
Frekuensi yang meningkat membutuhkan kedewasaan seseorang dalam beragama dan bernegara. Ketika ilmu agama yang diasup tidak selaras dengan semangat berindonesia, maka potensi kerusakan akan muncul.
Indonesia yang beragam aliran, kelompok dan manhaj ini menuntut para pemuka agama agar mampu mendewasakan umatnya dan memelihara nilai-nilai yang terikat oleh kemanusiaan.
Dalam kata lain, para tokoh agama harus mulai merevitalisasi interpretasi keagamaan yang selaras dengan keindonesiaan. Agar ucapannya tidak menjadi dasar kaum ekstremis dan teroris dalam melancarkan aksinya.
Namun di sisi lain, kita dituntut untuk mudah melakukan cap radikal-teroris terhadap pemuka agama.
Kedua, skema kejahatan terorisme saat ini cukup beragam. Di mana Indonesia memiliki varian kelompok teror yang lebih banyak ketimbang di belahan dunia mana pun.
Ruang siber telah dijadikan area operasi kelompok teror dalam menyebarluaskan pengaruhnya, baik internet maupun media sosial. Semuanya bertujuan menyebarkan rasa takut.
Pembiaran-pembiaran atas narasi provokatif, agitatif dan propaganda (PAP) bisa melahirkan teroris, baik “lone wolf” maupun kelompok kecil.
Zakiah Aini dan Agus Sujatno adalah bukti kecil dari orang Indonesia yang mempelajari sesuatu melalui jaringan internet dan media sosial.
Fakta radikalisasi di media sosial sudah mengkhawatirkan, apalagi tutorial seperti merakit senjata dan membuat bom terpampang lebar.
Hal inilah yang dilakukan seorang tahanan Rocky, dalang yang menewaskan Dirtahti Polda Gorontalo, Beni Mutahir. Dia belajar merakit senjata kurang lebih 20-an dan mengikuti kajian-kajian ISIS di media sosial.
Jika kita tidak sadari bersama, apa yang dibincangkan para pakar terorisme tentang masa yang akan datang lebih berbahaya dan lebih merusak dengan kekuatan keyboard dibandingkan bom semata (US National Academy of Science, 1990).
Sebab, kelompok jaringan teror dipastikan akan terus mengembangkan keahliannya seiring perkembangan teknologi. Adapun targetnya, bisa siapa saja, di samping target utamanya pihak keamanan.
Daur ulang terorisAksi bom bunuh diri di Mapolsek Astana Anyar, Bandung merupakan bukti konkret terjadinya “daur ulang” teroris", meminjam istilah Noor Huda Ismail.
Pelaku yang pernah ditangkap ini bebas murni dari Pasir Putih Nusakambangan tahun 2021. Kreativitas dan ilmu pengetahuan yang dimilikinya, berpotensi digunakan untuk aksi teror.
Maka tuntutan kepada kepolisian dan institusi terkait dalam mengawasi eks narapidana harus ditingkatkan dan tidak boleh saling lempar tugas. Menangani terorisme harus bergandengan tangan dan saling melengkapi.
Dalam pencegahan terorisme, jangan berkutat pada aspek hukum atau penindakan semata, tetapi juga memastikan lingkungan sosial-budayanya, psikologi dan lain sebagainya.
Sebab, konsep deradikalisasi tidak berhenti saat seseorang keluar dari tahanan, tetapi proses panjang yang bermuara pada perubahan pola pikir dan ideologi.
Banyak eks napiter yang ditemukan juga, melakukan “taqiyyah” (keberpura-puraan). Di sinilah proses deradikalisasi harus melibatkan semua pihak.
Program pendampingan terhadap eks napiter jangan terorientasi kepada kemandirian ekonomi semata, tetapi pendampingan yang memotret tiga aspek: wawasan kenegaraan, wawasan keagamaan, dan wawasan kewirausahaan.
Program reintegrasi dengan konsep tiga pilar di atas harus dioptimalkan agar tidak terjadinya daur ulang atau kembalinya seseorang melakukan aksi teror.
Dan negara perlu untuk menyusun tindakan preventif yang inovatif dan tepat sasaran dengan melibatkan masyarakat.
-. - "-", -. -Sentimen: negatif (100%)