Sentimen
Informasi Tambahan
Event: Pemilu 2019
Kasus: teror
Tokoh Terkait
Berbiaya Mahal, Sistem Proporsional Terbuka Digugat ke MK
Mediaindonesia.com Jenis Media: Nasional
ATURAN mengenai sistem proporsional terbuka pada pemilihan umum (pemilu) digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sistem pemilu tersebut dianggap rumit dan membutuhkan anggaran yang besar. Demikian disampaikan Kuasa Hukum para pemohon Sururudin dalam sidang pengujian Undang-Undang No.7/2017 tentang Pemilu terhadap UUD 1945 di MK, Jakarta, Rabu (7/12).
"Pada sistem proposional terbuka pemilu 2019 ada 17,5 juta suara tidak sah atau 11%. Itu salah satu kerumitan dari pemilu terbuka karena rusak, salah coblos, dan lain-lain," terang Sururudin dalam sidang agenda perbaikan permohonan perkara Nomor 114/PUU-XX/2022 itu yang diketuai Hakim Konstitusi Arief Hidayat dengan anggota Suhartoyo dan Manahan MP Sitompul.
Baca juga: KSP: Aksi Teror tidak Bisa Ditoleransi
Sururudin juga menyebut bahwa karena sistem proporsional terbuka, anggaran pemilu terus naik setiap tahunnya antara lain untuk pengadaan surat suara, distribusi surat suara, dan rekrutmen petugas pemilu. Ia juga mempersoalkan mengenai peran partisipasi dari partai politik yang kian melemah pada setiap pemilu. Hal itu menurut penjelasannya terlihat dari kualitas anggota legislatif yang diusung.
"Anggota DPR yang dipilih kualitasnya menurun tidak menghasilkan hal-hal yang signifikan," ucapnya.
Permohonan itu diajukan oleh dua kader partai politik dan empat perseorangan. Mereka adalah Demas Brian Wicaksono (pengurus Partai PDI Perjuangan (PDI-P)), Yuwono Pintadi (anggota Partai Nasional Demokrat (Nasdem)), Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, serta Nono Marijono. Para Pemohon mendalilkan Pasal 168 ayat (2), Pasal 342 ayat (2), Pasal 353 ayat (1) huruf b, Pasal 386 ayat (2) hutuf b, Pasal 420 huruf c dan huruf d, Pasal 422, Pasal 424 ayat (2), Pasal 426 ayat (3) bertentangan dengan UUD 1945.
Menurut para pemohon sistem pemilu proporisional berbasis suara terbanyak, telah dibajak oleh caleg yang bermodal populer dan menjual diri, tanpa ada ikatan ideologis dan struktur partai politik.
Akibatnya, saat terpilih menjadi anggota DPR/DPRD seolah-olah bukan mewakili organisasi partai politik namun mewakili diri sendiri. Menurut para pemohon seharusnya ada otoritas kepartaian yang menentukan siapa saja yang layak menjadi wakil partai di parlemen setelah mengikuti pendidikan politik, kaderisasi, dan pembinaan ideologi partai.
Oleh karena itu, para pemohon merasa sistem proporsional terbuka melahirkan liberalisme politik atau persaingan bebas dengan pmenempatkan kemenangan individual dalam pemilu, bukan partai politik. Mereka meminta Mahkamah menyatakan pasal-pasal a quo inkonstitusional bersyarat atau mengganti sistem pemilu menjadi proporsional tertutup. (OL-6)
Sentimen: netral (96.2%)