Sentimen
Positif (100%)
6 Des 2022 : 17.31
Informasi Tambahan

Event: Pilkada Serentak

Kab/Kota: Gunung, Yogyakarta, Kulon Progo, Sleman, Kepulauan Seribu, Bantul

Kasus: korupsi

Partai Terkait

Menyelisik Efektivitas Otonomi Daerah, Mardani Ali Sera Usul Jumlah Provinsi Ditambah

7 Des 2022 : 00.31 Views 1

Kompas.com Kompas.com Jenis Media: Nasional

Menyelisik Efektivitas Otonomi Daerah, Mardani Ali Sera Usul Jumlah Provinsi Ditambah

JAKARTA, KOMPAS.com - Anggota Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI) dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mardani Ali Sera menyampaikan sejumlah catatan terkait dua dekade pelaksanaan otonomi daerah (otda) di Tanah Air.

Pasalnya otda yang dibuat untuk kemajuan daerah, terlihat belum optimal dalam pengimplementasiannya.

Diberitakan Kompas.id, Selasa (8/3/2022), tidak optimalnya otda dikarenakan serapan anggaran daerah yang masih rendah, serta maraknya kasus korupsi terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Untuk itu, Mardani mengusulkan revisi ulang sejumlah substansi dalam Undang-undang (UU) Otda. Salah satunya, dengan menambah jumlah provinsi di Indonesia untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang efektif.

"Kami mengusulkan jumlah provinsi di Indonesia diperbanyak hingga 50 sampai 60. (Nantinya) setiap provinsi bisa memiliki 6-8 kabupaten atau kota. Jumlah ini bisa menjadi unit kerja yang efektif (dibandingkan satu provinsi bisa memegang puluhan kabupaten dan kota seperti saat ini)," ujar Mardani kepada Kompas.com saat ditemui di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (29/11/2022).

Baca juga: Sejarah dan Hakikat Otonomi Daerah di Indonesia

Dengan formasi seperti itu, ia juga mengusulkan bupati atau wali kota ditunjuk secara langsung oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), sedangkan DKI Jakarta bisa ditunjuk langsung oleh gubernur sebagai langkah efektif.

Legislator dari daerah pemilihan (dapil) Jawa Barat (Jabar) VII tersebut mengatakan, pemilihan langsung di kabupaten atau kota saat ini telah menimbulkan exes (ongkos) terhadap dua hal. Pertama, memicu korupsi yang semakin tinggi, terutama di kabupaten. Kedua, menyuburkan politik dinasti.

Mardani menilai, pemilihan secara langsung di level kabupaten pada akhirnya hanya bermuara pada kepentingan para elite, bukan rakyat sebagai target pembangunan. Hal inilah yang menyebabkan pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) di Indonesia mandek alias jalan di tempat.

Ia pun berharap, pelaksanaan otda di Indonesia dapat dibenahi dan ditingkatkan segera untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang lebih efektif. Dengan begitu, masyarakat bisa lebih sejahtera.

Baca juga: Definisi Otonomi Daerah dan Tujuannya

"Saya berharap, siapa pun presiden terpilih pada 2024 nantinya punya misi yang jelas untuk membahas soal otda dengan salah satu orientasinya menambah jumlah provinsi," kata Mardani.

Mencontoh Yogyakarta dan Jakarta

Mardani memberi contoh wilayah di Indonesia yang berhasil menerapkan tata kelola pemerintahan efektif, meski jumlah kabupaten atau kota di dalamnya hanya empat atau lima daerah administrasi. Wilayah tersebut adalah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Provinsi DKI Jakarta.

Untuk diketahui, Provinsi DIY terdiri dari 1 kotamadya dan 4 kabupaten, yakni Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman, Gunung Kidul, Kulon Progo, dan Bantul.

Sementara itu, Provinsi DKI Jakarta secara administrasi terbagi menjadi 5 wilayah kotamadya dan 1 kabupaten administrasi, yaitu Jakarta Pusat, Jakarta Utara, Jakarta Barat, Jakarta Selatan, Jakarta Timur, dan dan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu.

Baca juga: Sejarah Berlakunya Otonomi Daerah di Indonesia

"Pengelolaan pemerintahan dua provinsi tersebut lebih rapi dan tidak ada kesenjangan yang terlalu mencolok,” terangnya.

Hal lain yang juga disoroti Mardani adalah sistem politik yang terjadi di daerah. Mardani mendorong sistem pemerintahan di daerah tak lagi menjadi unit politik, melainkan unit kerja untuk pembangunan.

Dalam pembenahan pelaksanaan otda yang sudah berjalan, Mardani menegaskan urgensi political will yang kuat guna memperbaiki sistem politik di daerah, terutama dari segi flow of command.

“Tujuannya, untuk menyatukan komando. Kalau masing-masing daerah tidak dalam satu komando, kabupaten khususnya, justru menyuburkan politik dinasti,” kata Mardani.

Baca juga: Pembagian Kekuasaan dalam Kerangka Otonomi Daerah

Hal itu ditandai dengan adanya tren pencalonan di kancah politik lokal oleh anggota keluarga pemimpin daerah. Sebagai contoh, istri kepala daerah terpilih sebagai calon legislatif (caleg). Demikian pula dengan anak kepala pemimpin daerah.

“Saya tidak menghalangi anak atau istri dari tokoh politik atau pemimpin daerah untuk maju. (Hal seperti itu) bagus, kok, tapi tidak main system ketika (seseorang) pada usia sangat muda tiba-tiba sudah menduduki posisi tertentu, enggak merangkak dari bawah. Hal ini menyiratkan (bahwa) tidak ada upaya (dirinya) untuk menghargai proses. (Jika terus berlanjut), hal ini berbahaya untuk negeri sebesar Indonesia,” tegasnya.

Kontestasi politik sarat gagasan dan karya

Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu menambahkan, upaya perbaikan sistem politik yang tak kalah penting dilakukan adalah perbaikan UU Pemilu. Ia pun mendorong perwujudan kontestasi politik yang lebih beragam sarat adu gagasan dan karya.

Agar kontestasi politik makin berwarna, terutama pemilihan presiden (pilpres), setidaknya diperlukan tiga hingga empat calon presiden (capres). Demikian pula kontestasi di tingkat provinsi, kabupaten, dan kota.

Baca juga: Mardani Ali Sera Desak Pemerintah Beri Insentif ke Kaum Difabel

“Jangan hanya cuma dua capres. Harus 3-4 capres sehingga ada kontestasi karya dan gagasan. Saya mendukung bila pemilu dilakukan secara terpisah antara skala nasional, provinsi, dan kabupaten atau kota karena masing-masing punya isu berbeda-beda,” ujar Mardani.

Mardani menambahkan, pihaknya hingga saat ini mendorong upaya revisi UU Pemilu. Adapun revisi UU Pemilu dipersiapkan untuk 2029 yang disebut Paket Revisi UU Politik.

Mardani menjelaskan, UU Politik mencakup sejumlah UU, yaitu UU Pemilu, UU Pilkada, UU Desa, UU Pemerintah Daerah, UU MD3, dan UU Partai Politik.

Adapun UU Desa dipandang perlu seiring tren pedesaan yang kini justru menjadi basis politik sarat dengan permainan politik begitu kental.

Baca juga: Hadiri Resepsi Pernikahan Anak Anies, Mardani Ali Sera: Suasana Guyub, Banyak Relawan Datang

“Menjadi kepala desa (sekarang) harus punya duit ampun-ampunan. Akhirnya, desa bukan lagi menjadi wilayah fokus kerja, tapi menjadi ruang permainan politik. Pemerintahan desa tidak lagi dikelola secara transparan sehingga menimbulkan ketidakpercayaan (distrust) masyarakat kepada kepala desa," tuturnya.

Alhasil, lanjut Mardani, distrust membuat modal sosial (social capital) semakin tereduksi. Hal ini dinilai krusial di mana semestinya modal sosial tumbuh subur di pedesaan.

“Kami berharap, dengan adanya reformasi sistem politik dan kehadiran UU Politik, tata kelola pemerintahan di daerah ataupun nasional menjadi lebih efisien, berintegritas, dan profesional sehingga rakyat semakin sejahtera,” kata Mardani.

-. - "-", -. -

Sentimen: positif (100%)