Uji kelayakan calon Panglima TNI Yudo Margono formalitas
Alinea.id Jenis Media: News
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menilai uji kelayakan kepada calon Panglima TNI Yudo Margono tidak dilakukan secara transparan. Uji kelayakan itu sendiri sudah dilakukan kemarin (2/12) oleh Komisi I DPR RI.
Koordinator Kontras, Fatia Maulidiyanti, mengatakan bahwa uji kelayakan tersebut lebih kepada sebuah formalitas belaka dan jauh dari prinsip good govermance. Pasalnya, uji kelayakan itu dilakukan secara tertutup.
Menurutnya, terdapat urgensi untuk menjadikan proses uji kepatutan dan kelayakan berlangsung secara terbuka, sebab publik berhak tau permasalahan yang ada pada tubuh institusi TNI. Selain itu, banyak masyarakat yang menunggu visi-misi dan program kerja Panglima TNI baru dalam menuntaskan warisan problematika yang ada di masa jabatan yang sangat singkat.
“Proses-proses yang tidak transparan hanya akan menghasilkan hasil yang buruk. Masyarakat juga menunggu kinerja anggota DPR dalam memberikan pertanyaan tajam dan menyasar masalah institusi TNI saat proses uji kepatutan dan kelayakan.” ujar Fatia dalam keterangan resminya yang dikutip, Sabtu (3/12).
Ditambahkan Fatia, keterbukaan proses uji kepatutan dan kelayakan juga merupakan bentuk pertanggungjawaban DPR kepada publik terkait dengan fungsi pengawasan terhadap pemerintah dan mitra kerjanya. Dari proses yang terbuka pun masyarakat sipil dapat mengetahui berbagai masalah utama yang menjadi sorotan utama dari DPR RI selaku lembaga pengawas.
"Selama ini, rapat-rapat kerja, utamanya dengan Panglima TNI pun hampir pasti dilangsungkan tertutup. Padahal terdapat berbagai kinerja institusi TNI yang harus dijelaskan secara akuntabel kepada masyarakat luas," tuturnya.
Wakil Koordinator KontraS, Rivanlee Anandar, menilai idealnya proses uji kepatutan dan kelayakan ini dilangsungkan secara transparan dan berbasis pada akuntabilitas, khususnya jika membahas isu yang berkenaan dengan kepentingan publik.
Institusi TNI selama ini masih terjebak pada masalah klasik, seperti halnya profesionalisme, kultur kekerasan prajurit, dan belum dilaksanakannya reformasi peradilan militer. Belum lagi permasalahan konflik di Papua yang masih terus berlanjut, sehingga butuh formulasi inovatif, ketimbang melanjutkan pendekatan militeristik yang sampai hari ini terbukti tak menyelesaikan persoalan.
Sentimen: positif (98.1%)