Sentimen
Informasi Tambahan
Kasus: covid-19, Narkoba, homoseksual
OPINI: Matahari dan Rembulan: Setarakan!
Harianjogja.com Jenis Media: News
Oleh : MZ Fathurachman
Terkisah seorang wanita, sebut saja Matahari namanya, seorang ibu rumah tangga berusia 34 tahun. Hidup tidaklah mudah bagi dia, akan tetapi demi anak semata wayangnya, Rembulan, dia tak memiliki lagi kuota untuk bersedih. “Habis sudah air mata ini,” katanya, “Saya harus kuat dan bangkit demi dia! Hanya kepada Allah saya berharap dan memohon pertolongan serta kekuatan,” ujarnya lirih, karena kejadian yang telah dilaluinya memberikan pelajaran paling dalam dan berharga dalam hidupnya.
Sekira tiga bulan yang lalu suaminya sakit-sakitan. Berbagai gejala dirasakan suaminya, batuk yang tak kunjung sembuh, diare berkepanjangan, hingga muncul plak-plak putih di rongga mulutnya. Sebagai orang awam dia tak mengerti sakit apa suaminya ini. Hingga akhirnya suaminya harus masuk ICU di rumah sakit, barulah semuanya menjadi jelas.
Sang suami harus menjalani test HIV yang dilaksanakan oleh pihak rumah sakit atau disebut juga PITC ( Provider Initiated Test and Counseling ), dan sang suami dinyatakan positif HIV, bahkan sudah masuk dalam kategori AIDS.
Sebagai seorang istri maka secara prosedur, Matahari wajib untuk menjalani test HIV pula. Tak lama setelah itu sang suami meninggal dunia. Belum sembuh duka lara hatinya, ternyata Matahari harus menghadapi kenyataan pahit lainnya. Sudahlah ditinggal sang suami, ternyata hasil test HIV Matahari dinyatakan positif. Betapa hancur hatinya. Satu hal yang membuatnya bersyukur, hasil test HIV Rembulan anak semata wayangnya negatif.
Kisah pilu Matahari tidak berhenti di situ, kini orang-orang mulai menjauhinya. Tetangga, teman-teman, kerabat bahkan keluarga semuanya menjauh. Ada yang menjauh karena takut tertular, ada yang mencibir, bahkan ada pula yang menghina dan menganggap hal yang dialaminya sebagai azab Tuhan.
Diskriminasi pun sering dirasakannya, bahkan juga Rembulan anaknya. Matahari pun semakin terpuruk, alih-alih mendapatkan dukungan dan bantuan, mengapa orang-orang menambah beban hidupnya, pikirnya. “Apalah salah saya,” ujarnya pilu. “Saya demi Allah tak pernah berselingkuh, tak pernah menggunakan narkoba, atau melakukan perilaku-perilaku berisiko lainnya. Saya mendapatkan (virus HIV) ini dari suami saya, manalah saya tahu perilaku dia di luar sana,” ucapnya dengan mata nanar dan berkaca-kaca.
Untunglah situasi Matahari kini membaik. Berkat seorang relawan pendamping, dia mengerti bahwa dirinya bisa mendapatkan akses pengobatan atau ART (Anti Retroviral Therapy). Setelah menjalani pengobatan dengan teratur, saat ini Viral Load ( kadar virus dalam darah ) Matahari sangat rendah.
Kondisi tubuhnya bisa dibilang sehat, bahkan jika orang lain yang tidak mengenal dia dan mengetahui status HIV-nya, tidak akan mengira jika status dia HIV positif. Perlahan-lahan Matahari bangkit menata hidupnya. Dia telah mendapat pekerjaan dan kini melanjutkan hidupnya. Matahari bersama Rembulan, mereka mulai memancarkan cahaya hidupnya kembali.
Kisah Matahari di atas adalah gambaran situasi kondisi HIV/AIDS di Indonesia. Wanita atau khususnya Ibu Rumah Tangga (IRT) merupakan kelompok yang rentan. Menurut keterangan dari KPA DIY, selama bertahun-tahun, hingga tahun 2022 ini, kelompok Ibu Rumah Tangga merupakan kelompok sosial yang menduduki peringkat 2 tertinggi yang hidup bersama HIV/AIDS, setelah peringkat 1 yaitu Wirausahawan.
Gelombang epidemi HIV di Indonesia dimulai tahap pertama (1987-1997) dimana penularan HIV terjadi melalui hubungan homoseksual. Gelombang kedua (1997-2007) banyak terjadi penularan HIV melalui pengguna narkoba suntik (penasun). Pada gelombang ketiga (2007-sekarang) penularan HIV banyak terjadi melalui hubungan heteroseksual, dari laki-laki pembeli seks ke pasangannya, dan dari ibu yang tertular HIV ke bayinya. Di masa gelombang ketiga inilah banyak Matahari-Matahari lainnya yang mendapatkan cobaan berganda.
Sudahlah mereka diselingkuhi suami/pasangannya, ditulari HIV, ada kemungkinan pula mereka menularkan HIV kepada bayi dan anak-anak mereka, tanpa mengetahui status HIV mereka. Banyak yang baru mengerti status HIV mereka setelah pasangannya sakit kronis atau meninggal dunia karena HIV/AIDS, seperti kisah Matahari di atas. Mereka dalam posisi lemah, rentan, dan mengalami ketidaksetaraan.
Hari AIDS Sedunia pada 1 Desember 2022 ini, mendesak kita semua untuk mengatasi ketidaksetaraan yang menghambat kemajuan dalam mengakhiri AIDS. Tema Hari AIDS Sedunia 2022 dengan slogan “Equalize” atau "Setarakan" adalah seruan untuk bertindak.
Ini adalah dorongan bagi kita semua untuk bekerja demi tindakan yang diperlukan untuk mengatasi ketidaksetaraan dan membantu mengakhiri AIDS. Ini termasuk:
• Meningkatkan ketersediaan, kualitas dan kesesuaian layanan, untuk pengobatan, tes dan pencegahan HIV, sehingga setiap orang dapat terlayani dengan baik.
• Reformasi undang-undang, kebijakan dan praktik untuk mengatasi stigma, diskriminasi, dan eksklusi yang dihadapi oleh orang yang hidup dengan HIV, sehingga setiap orang dihormati, diterima, tidak dikucilkan/dijauhi.
• Berbagi teknologi untuk memungkinkan akses yang sama ke ilmu pengetahuan terbaik tentang HIV/AIDS untuk seluruh golongan, harus menjadi keniscayaan.
• Komunitas akan dapat memanfaatkan dan menggunakan pesan “Setarakan” untuk menyoroti ketidaksetaraan tertentu yang mereka hadapi dan mendesak tindakan yang diperlukan untuk mengatasinya.
Data dari UNAIDS (The Joint United Nations Programme on HIV/AIDS) tentang penanggulangan HIV global mengungkapkan bahwa selama dua tahun terakhir pandemi COVID-19 dan krisis global lainnya, kemajuan melawan pandemi HIV tersendat, sumber daya menyusut, dan akibatnya jutaan nyawa terancam.
Empat dekade setelah penanggulangan HIV, ketidaksetaraan masih terjadi untuk layanan-layanan mendasar seperti tes, pengobatan, dan kondom, dan terlebih lagi untuk teknologi baru. Kita harus memastikan bahwa setiap orang, di mana pun memiliki akses yang sama terhadap pencegahan, tes, pengobatan dan perawatan HIV. Hanya sepertiga populasi kunci—termasuk laki-laki gay dan laki-laki lain yang berhubungan seks dengan laki-laki, transgender, pengguna narkoba, pekerja seks, dan narapidana—memiliki akses pencegahan reguler.
Populasi kunci menghadapi hambatan hukum utama termasuk kriminalisasi, diskriminasi dan stigma. Layanan kesehatan harus diadaptasi untuk dapat menjangkau dan memenuhi kebutuhan populasi yang paling berisiko dan terkena dampak, dan ini termasuk penerapan kebijakan ‘tanpa toleransi’ terhadap stigma dan diskriminasi di semua layanan kesehatan.
Kita hanya memiliki delapan tahun tersisa sebelum tujuan tahun 2030 untuk mengakhiri AIDS sebagai ancaman kesehatan global. Tujuan 2030 yaitu 3 “ Zero’s ”: Zero new HIV infection; Zero AIDS related death; Zero discrimination atau 3 Nol : Nol infeksi baru HIV ; Nol kematian terkait AIDS; Nol diskriminasi. Ketimpangan ekonomi, sosial, budaya dan hukum harus segera diatasi.
Dalam pandemi, ketidaksetaraan meningkatkan risiko dan bahaya bagi semua orang. Memang, akhir AIDS hanya dapat dicapai jika kita mengatasi ketidaksetaraan yang mendorongnya. Para pemimpin dunia perlu bertindak dengan kepemimpinan yang berani dan bertanggung jawab. Kita semua, di mana saja, harus melakukan semua yang kita bisa untuk membantu mengatasi ketidaksetaraan juga.
WHO dalam pernyataannya menyerukan kepada para pemimpin dan warga dunia untuk dengan berani mengakui dan mengatasi ketidaksetaraan yang menghambat kemajuan dalam mengakhiri AIDS; dan menyetarakan akses ke layanan HIV esensial terutama untuk anak-anak dan populasi kunci serta pasangannya. Penanggulangan epidemi HIV dan AIDS harus dilakukan secara terpadu, terkoordinasi dan berkesinambungan dikarenakan masalah HIV dan AIDS bukan merupakan masalah kesehatan semata, tetapi sangat berkaitan dengan masalah sosial, kultural dan masalah sosio-ekonomi.
* Kisah Matahari di atas merupakan kisah fiktif belaka. Jika ada kemiripan nama tokoh, alur, dan tempat merupakan hal yang tidak disengaja.
PROMOTED: Kisah Dua Brand Kecantikan Lokal Raup Untung dari Tokopedia: Duvaderm dan Guele
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sentimen: positif (66.7%)