Ada 6.214 kasus HIV di DIY, Ini Golongan Umur yang Paling Mendominasi
Harianjogja.com Jenis Media: News
Harianjogja.com, JOGJA — Pengidap HIV/AIDS atau orang dengan HIV/AIDS (ODHA) di DIY diklaim telah mendapatkan layanan kesehatan dengan baik. Upaya pencegahan jadi langkah utama Dinas Kesehatan (Dinkes) DIY untuk mewujudkan target 2030 DIY nol kasus baru HIV/AIDS.
Data Dinkes DIY per September 2022 menyebut ada 6.214 kasus HIV di DIY di mana virus baru masuk ke tubuh, sedangkan kasus AIDS sudah 1.966 di mana virus sudah menyerang kekebalan tubuh.
Kelompok wiraswasta menjadi yang dominan mengidap HIV jumlahnya 932 orang, sedangkan ibu rumah tangga di bawahnya dengan 682 orang. Data tersebut dihitung sejak kasus HIV muncul pertama kali di DIY pada 1993.
Rentang usia yang paling banyak mengidap pada kategori umur 20-29 tahun sebanyak 2.005 orang, lalu umur 30-39 tahun ada 1.860 orang, kemudian umur 40-49 tahun terdapat 1.043 orang.
BACA JUGA: Pejabat DIY Main Ketoprak, Ajak Masyarakat Guyub Bersama Menutup Tahun 2022
Tak hanya orang dewasa, anak-anak juga ditemukan mengidapnya. Bayi dengan usia di bawah satu tahun ada 40 yang mengidapnya, sedangkan anak usia satu sampai lima tahun ada 85 anak.
Berbagai upaya pencegahan, penanganan, hingga perawatan dilakukan Dinkes DIY. Mulai dari pengecekan rutin di tempat lokalisasi yang paling raa jadi penyebaran, edukasi ke sekolah-sekolah, hingga perluasan akses pengecekan HIV/AIDS yang sudah ada di seluruh puskesmas di DIY.
Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinkes DIY, Setyarini Hestu Lestari menyebut hanya penyediaan akses obat Antiretroviral (ARV) yang belum ada di seluruh puskesmas.
“Targetnya tahun depan ARV sudah bisa diakses di seluruh puskesmas, karena sifat obatnya memang rujukan jadi yang sudah ada kewenangan yang bisa memberikan,” jelasnya, Rabu (30/11/2022).
Setyarini menjelaskan untuk tempat lokalisasi di DIY yang rutin dilakukan pengecekan dan pemeriksaan di Pasar Kembang, Jogja dan Parangkusumo, Bantul. “Petugas yang melakukan pemeriksaan dari puskesmas setempat,” ujarnya.
Petugas kesehatan, jelas Setyarini, juga sudah tidak mendiskriminasi ODHA. “Ada standar pelayanan dan kode etik profesi kesehatan yang memang melarang tenaga medis melakukan diskriminasi, jadi pelayanan kami ramah terhadap ODHA,” katanya.
Ke depan, layanan untuk ODHA, lanjut Setyarini, akan makin komprehensif melalui Raperda Penanganan HIV/AIDS. “Masih digodok di DPRD DIY, kami juga menunggu agar segera bisa mengimplementasikannya,” ucapnya.
Dalam raperda tersebut, sambung Setyarini, pelayanan Odha akan lebih mengikuti perkembangan medis dan menggandeng berbagai pihak.
“Perkembangan pengobatan HIV/AIDS terus berkembang kami juga harus menyesuikan makanya lewat rapreda itu harapannya ada landasan hukum yang jelas untuk mengikuti perkembangan, agar makin maksimal pelayananya,” jelasnya.
Setyarini menyebut dalam rapreda tersebut tak hanya Dinkes DIY yang punya kewenangan, tapi berbagai lembaga pemerintah juga akan diberikan tanggung jawab.
“Misalnya Disnakertrans diberi kewenangan agar memastikan ODHA tidak mendapat diskriminasi di industri, lalu Dinas Pendidikan memastikan akses pendidikan yang layak bagi ODHA juga,” terangnya.
Diskriminasi dan stigmatisasi, jelas Setyarini, jadi tantangan penanganan HIV/AIDS. “Karena diskriminasi bikin ODHA sulit mengakses layanan yang ada, padahal itu hak mereka,” katanya.
Direktur Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) DIY, Budhi Hermanto menyepakati hal tersebut. “Layanan kesehatan yang kami temui sudah tidak diskriminasi di DIY, cuma kadang masyarakat itu yang sama di puskesmas kadang yang mendiskriminasi,” katanya, Rabu siang.
Budhi menyebut tantangan lain penanganan HIV/AIDS adalah pendidikan kesehatan reproduksi. “Masih banyak yang menganggap tabu, padahal ini penting sebagai upaya preventif, kelompok remaja punya peran penting untuk memutus penularan HIV/AIDS makanya juga perlu didekati diedukasi yang komprehensif untuk menghindari perilaku seks berisiko,” ucap dia.
PKBI DIY, jelas Budhi, memiliki jejaring remaja yang sudah melek kesehatan reproduksi. “Dari sana kami ajak remaja agar memahami pentingnya kesehatan reproduksi, terutama untuk menghindari HIV/AIDS dan penyakit menular seksual lainnya,” ujarnya.
Kelompok paling rentan yang perlu diperhatikan, jelas Budhi, adalah pekerja seks yang tidak mukim tetap. “Umumnya pekerja seks berbasisi online, itu paling rentan, soalnya menjangkaunya juga susah, pemerintah mestinya punya cara untuk menangani ini,” katanya.
Budhi menyebut lokalisasi di DIY sudah melakukan pemeriksaan HIV/AIDS secara rutin. “Program ini patut terus dipertahankan, dan tentunya ditingkatkan ke yang pekerja seks online,” tegasnya.
PROMOTED: Kisah Dua Brand Kecantikan Lokal Raup Untung dari Tokopedia: Duvaderm dan Guele
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sentimen: positif (93.9%)