Sentimen
Informasi Tambahan
Grup Musik: APRIL
Kab/Kota: Kartini
Kasus: covid-19, stunting, kekerasan seksual
Tokoh Terkait
UU TPKS, dari Para Puan untuk Indonesia Berkemajuan
Elshinta.com Jenis Media: Politik
Sumber foto: Istimewa/elshinta.com.
Elshinta.com - Indonesia yang maju dan sejahtera adalah sebuah keniscayaan. Namun, kaum perempuan wajib berada dalam barisan pengampu agar keniscayaan bisa mewujud nyata.
Indonesia sukses menggelar KTT G20, baik sebagai tuan rumah maupun dalam mengemban posisi keketuaan. Harian Kompas pada 17 November 2022 dalam tajuk rencana bahkan menyebut, “kesuksesan KTT G20 melebihi perkiraan.” Sebuah respon positif yang wajar, demi mengingat kompleksitas permasalahan ekonomi internasional pascapandemi COVID 19 dan tantangan geopolitik global (perang Rusia vs Ukraina) yang terjadi sebelum KTT G20 2022 berlangsung di Indonesia. Momentum keberhasilan itu pun semakin mengobarkan optimisme membumikan visi Indonesia Emas 2045. Visi di mana bangsa Indonesia memiliki keunggulan yang lebih baik dari bangsa-bangsa lainnya dalam semua aspek.
Namun, cita-cita kemajuan dan kesejahteraan pada 100 tahun usia kemerdekaan Republik Indonesia tidak akan mewujud tanpa kolaborasi dan kooperasi semua elemen dan unsur bangsa. Termasuk keterlibatan perempuan sebagai pengampu. Karena tak ada negara yang bisa maju dan sejahtera tanpa emansipasi dan partisipasi perempuan. Malah sangat mungkin terjadi hal yang sebaliknya bila kaum perempuan diabaikan. Saat ini, setidaknya ada dua contoh negara yang mengalami segregasi sosial dan politik akibat menihilkan peran dan martabat perempuan. Di Iran, aksi demonstrasi yang diikuti kekerasan oleh aparat keamanan meluas dan menimbulkan ribuan korban jiwa hingga hari ini selalu terjadi usai seorang perempuan bernama Mahsa Amini ditangkap (13/9/2022) karena dinilai tidak mengenakan jilbab dengan tepat. Gejolak politik disertai aksi kekerasan juga tidak henti-hentinya mendera Myanmar sampai saat ini, setelah kelompok militer mengkudeta tokoh perempuan pemimpin de facto negara itu, Aung San Suu Kyi (1/2/2021).
Beruntung, Indonesia tidak seperti Iran atau Myanmar. Para puan di negeri ini tidak hanya dijunjung, tetapi juga bisa terlibat secara proaktif dalam seluruh proses pembangunan yang terselenggara. Contoh paling dekat dan nyata adalah pengesahan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual pada 12 April 2022. Setelah 6 tahun berjuang, para pegiat perempuan akhirnya bersuka cita karena berhasil mempersembahkan kado istimewa saat peringatan Hari Kartini 2022: DPR RI menyetujui pengesahan UU tersebut melalui rapat paripurna. Tidak heran, bila semua perempuan yang hadir pada saat itu, termasuk Ketua DPR RI Puan Maharani dan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia I Gusti Ayu Bintang Darmawati, terlarut dalam suasana yang emosional.
Mereka sangat sadar bahwa dengan disahkannya UU tersebut maka keamanan dan kesejahteraan terhadap kaum perempuan di masa depan akan lebih dijamin negara. UU TPKS memang dibuat oleh, dari dan untuk perempuan Indonesia. Sebagai gambaran singkat, pada UU TPKS tercantum 56 kata perempuan. Namun, tidak ada satupun kata pria atau lelaki disebut. Menarik, walaupun begitu UU TPKS tidak membuat posisi perempuan menjadi lebih superior atau lebih liberal. Yang juga menarik adalah: UU TPKS ternyata memiliki andil besar terhadap pembangunan sumber daya manusia Indonesia, bila diterapkan secara konsisten dan konsekwen. Sebuah modal sosial menuju Indonesia Emas 2045.
UU Antistunting dan Pembangunan SDM
Syarat untuk menjadi negara maju adalah berlimpahnya sumber daya manusia yang andal secara kualitas dan kuantitas agar kompetitif. Dan manusia yang kuat, sehat dan cerdas tidak bisa dilahirkan dari generasi stunting (gangguan perkembangan pada anak yang disebabkan kekurangan gizi). Itu sebabnya, Indonesia terus memerangi stunting. Seperti diketahui, angka prevalensi stunting di tingkat nasional berdasarkan Survei Status Gizi Balita masih berada di kisaran 24,4% pada tahun 2021. Meskipun telah mengalami penurunan sebesar 3.27%, dari tahun 2019 yang sebesar 27.67%, namun kondisi stunting di Indonesia masih menjadi tantangan yang harus dipecahkan. Karena target angka prevalensi stunting dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional yaitu sebesar 14% di tahun 2024.
Penyebab stunting tidak melulu kemiskinan. Banyak juga kasus stunting yang dialami anak dari keluarga mampu atau ekonomi menengah ke atas. Anak stunting banyak berasal dari pasangan yang tidak memiliki pemahaman tentang bagaimana menjadi orang tua yang baik dan benar. Salah satu studi WHO di Indonesia menyebutkan, salah satu penyebab masih tingginya angka stunting di Indonesia adalah masih maraknya pernikahan dini atau pernikahan pasangan di bawah usia 19 tahun. Ibu berusia dini riskan melahirkan anak stunting karena secara psikologis belum matang, serta belum memiliki pengetahuan yang cukup mengenai kehamilan dan pola asuh anak yang baik dan benar. Calon ibu berusia dini juga masih membutuhkan gizi maksimal sehingga berisiko berebut gizi dengan bayi yang sedang dikandungnya. Jika nutrisi si ibu berusia dini tidak mencukupi selama kehamilan, maka bayi akan lahir dengan berat badan lahir rendah dan berisiko stunting.
Untunglah, sudah ada UU TPKS yang mengharamkan pernikahan anak. Pasal 10 di dalam UU TPKS itu menyebutkan:
Setiap orang secara melawan hukum memaksa, menempatkan seseorang di bawah kekuasaannya atau orang lain, atau menyalahgunakan kekuasaannya untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perkawinan dengannya atau dengan orang lain, dipidana karena pemaksaan perkawinan, dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Termasuk pemaksaan perkawinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
a. perkawinan anak;
b. pemaksaan perkawinan dengan mengatasnamakan praktik budaya; atau
c. pemaksaan perkawinan korban dengan pelaku perkosaan.
Jelas sudah, UU TPKS tidak hanya menyoroti tindak pidana kekerasan seksual yang memang sering terjadi di lingkungan domestik, baik di perkotaan maupun di pedesaan di Indonesia. Bisa dibilang, UU TPKS menjadi salah satu UU antistunting yang sangat mendukung terwujudnya Indonesia Emas pada 2045. Kini, semua menunggu dan berharap agar UU TPKS tidak hanya menjadi macan kertas. Tidak lama usai pengesahan, Ketua DPR RI Puan Maharani meminta agar pemerintah segera menerbitkan peraturan-peraturan turunan dari UU TPKS. “Tidak perlu menunggu sampai batas waktu dua tahun. Semakin cepat peraturan turunan diterbitkan, semakin baik.” Mantan Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan itu juga menginginkan agar Pemerintah segera menggalakkan sosialisasi UU TPKS ke seluruh unsur masyarakat.
Dan sepertinya tidak hanya Puan, para puan di seluruh Indonesia tentu juga memiliki keinginan yang sama. Agar maksud dan tujuan penyusunan UU TPKS bisa segera terlaksana. Agar para puan bisa ikut menikmati proses Indonesia yang berkemajuan.(Penulis: Ahmad Setiawan)
Sentimen: positif (100%)