Wamenkumham Jelaskan Pasal Penghinaan terhadap Pemerintah dalam RUU KUHP
Rilis.id Jenis Media: Nasional
RILISID, Jakarta — Pasal penghinaan terhadap pemerintah yang tertuang dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) masih menjadi polemik di masyarakat.
Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy Hiariej mengatakan bahwa pemerintah menambahkan pasal 240 RUU KUHP terkait penghinaan terhadap pemerintah dengan sejumlah pembatasan.
Menurutnya, penghinaan terhadap pemerintah dalam pasal tersebut terbatas pada lembaga kepresidenan. Sedangkan penghinaan terhadap lembaga negara, kata dia, hanya terbatas pada lembaga legislatif. Yakni DPR, MPR, dan DPD.
Selain itu juga lembaga yudikatif yang meliputi Mahkamah Konstitusi (MK) dan Mahkamah Agung (MA).
“Baik dalam penjelasan pasal yang berkaitan dengan penyerahan harkat dan martabat Presiden, maupun penghinaan terhadap pemerintah dan lembaga negara, kami memberikan penjelasan seketat mungkin yang membedakan antara penghinaan dan kritik,” ujar Eddy dikutip dari laman resmi Sekretariat Kabinet, Selasa (29/11/2022).
Dalam RUU KUHP tersebut, lanjut Eddy, pemerintah juga menghapus pasal terkait pencemaran nama baik dan penghinaan yang tertuang dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Ia karenanya berharap dengan memasukkan ketentuan UU ITE dalam RKUHP disparitas putusan dapat diminimalisasi.
“Untuk tidak terjadi disparitas dan tidak ada gap, maka ketentuan-ketentuan di dalam undang-undang ITE itu kami masukkan dalam RKUHP, tentunya dengan penyesuaian-penyesuaian, dengan sendiri mencabut ketentuan-ketentuan pidana khususnya pasal 27 dan pasal 28 yang ada dalam undang-undang ITE,” papar Eddy.
Eddy menyampaikan bahwa DPR memberikan sejumlah masukan terkait RUU KUHP yang tertuang dalam daftar inventarisasi masalah (DIM).
Beberapa poin dalam DIM telah melalui proses diskusi antara pemerintah dan DPR, serta telah disetujui dalam persetujuan tingkat pertama untuk dimasukkan dalam RKUHP.
“Teman-teman ICJR [Institute for Criminal Justice Reform] yang tergabung dalam koalisi masyarakat sipil itu aktif sekali melakukan diskusi dengan kami tim pemerintah, maupun dengan fraksi-fraksi di DPR, sehingga ada beberapa item yang kemudian kita masukkan dalam RKUHP dan kemudian itu telah disetujui dalam persetujuan tingkat pertama,” ungkap Eddy.
Sejumlah poin yang telah dibahas dan mengalami perubahan yaitu mulai dari hukum yang hidup dalam masyarakat atau living law, pidana mati, hingga pencemaran nama baik.
Mengenai pidana mati, Eddy mengatakan bahwa dalam RUU KUHP yang baru pidana mati dijatuhkan secara alternatif dengan masa percobaan.
“Artinya, hakim tidak bisa langsung menjatuhkan pidana mati, tetapi pidana mati itu dengan percobaan 10 tahun. Jika dalam jangka waktu 10 tahun terpidana berkelakuan baik, maka pidana mati itu diubah menjadi pidana seumur hidup atau pidana 20 tahun,” tambahnya.
Diketahui, pembahasan RUU KUHP telah disepakati oleh DPR dan pemerintah pada rapat paripurna tingkat I beberapa waktu lalu.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah memberikan arahan terkait perkembangan RUU KUHP dalam rapat terbatas (ratas) di Kantor Presiden, Jakarta, pada Senin (28/11/2022).
Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian menyampaikan bahwa sejumlah masalah dalam RKUHP telah disepakati.
“Ada materi-materi yang diperdebatkan baik di kalangan masyarakat maupun antarpartai juga, tapi sejumlah masalah sudah disepakati dan juga sudah dikoordinasikan untuk mencari temu keseimbangan antara kepentingan individual, kepentingan masyarakat, dan juga kepentingan negara,” ujar Tito. (*)
Sentimen: negatif (100%)