Sentimen
Negatif (100%)
28 Nov 2022 : 06.27
Informasi Tambahan

Institusi: Universitas Indonesia

Kasus: HAM, Teroris, teror

Tokoh Terkait

Angkat Disertasi Pendekatan Desistensi dari Terorisme, Pakar Deradikalisasi BNPT Raih

28 Nov 2022 : 13.27 Views 1

Krjogja.com Krjogja.com Jenis Media: News

Angkat Disertasi Pendekatan Desistensi dari Terorisme, Pakar Deradikalisasi BNPT Raih

Krjogja.com - JAKARTA - Pakar Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Ardi Putra Prasetya dinobatkan sebagai doktor termuda kriminologi di Indonesia.

Predikat itu disematkan kepada Ardi usai dinyatakan resmi meraih gelar doktor di jurusan Kriminologi Universitas Indonesia (UI) dalam waktu 3,3 tahun, Kamis (24/11/2022).

Dalam sidang terbuka tersebut terdapat diskusi menarik soal deradikalisasi dan dunia terorisme antara Ardi dan para pengujinya yaitu Pakar Terorisme, Dr. Sri Yunanto, Ph.D, Guru Besar Kriminologi Prof. Dr. M. Mustofa, M.A. dan Guru Besar Psikologi UI, Prof. Dr. Hamdi Muluk, M.Si.

Ardi mempertahankan disertasinya dengan memberikan argumen-argumen realistis terkait berhentinya seseorang dari aktifitas kejahatan terorisme.

Sidang promosi tersebut dihadiri pejabat tinggi dari BNPT, Badan Intelijen Negara (BIN), Polri dan Kementerian Hukum dan HAM. Dalam disertasinya, dia menuliskan penelitian dengan judul 'Desistensi dari Terorisme (Desifter) : Konsepsi Komprehensif tentang Tipologi, Peramalan Intervensi Mantan Pelaku Teror'.

Selama pengerjaan disertasinya, ia dipromotori oleh Prof. Drs. Adrianus Eliasta Meliala, M.Si., M.Sc, Ph.D. Di dalam disertasinya, Ardi membahas mengenai fenomena desistensi terorisme yang tidak hanya sebatas menjelaskan bagaimana mantan pelaku teror dapat berhenti menjadi teroris atau kembali terlibat dalam kelompok teroris. Di mana itu terdapat faktor-faktor dan pengaruh lain yang mendukung timbulnya fenomena desistensi dari terorisme.

"Pembentukan tipologi desistensi dari terorisme serta peramalannya yang dapat memberikan pandangan berbeda terkait penanganan dan pencegahan terorisme. Peramalan tersebut akan mencakup kondisi mantan pelaku teror atau disebut idling mode lalu faktor pendorong catalyst evet yang menyebabkan mantan pelaku teror melakukan aksinya kembali," terang dia.

Ardi melakukan penelitian disertasinya dengan menggunakan metode kualitatif. Dia melakukan wawancara mendalam terhadap 35 mantan teroris dan Focus Group Disscussion (FGD) bersama 13 pakar intervensi pelaku teror.  Hal ini dilakukan agar dapat menggambarkan bagaimana wujud dari tipologi desistensi dari terorisme.

Berdasarkan tipologi tersebut, dapat terlihat faktor yang mendukung dan menghambat terjadinya desistensi dari terorisme, seperti catalyst event dan idling mode. Ardi memaparkan teori desistensi dan karakteristik dari kejahatan terorisme.

"Teori desistensi menekankan perlunya penjelasan mengenai keterlibatan hingga berhentinya individu dalam kejahatan terorisme. Kejahatan itu memiliki karakteristik yang cenderung langka, terselubung dan kolektif sehingga berbeda dengan kejahatan biasa," jelas dia.

Ardi memaparkan contoh terkait fenomena desistensi melalui perkembangan kelompok teroris seperti Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) yang telah mengakibatkan perpecahan ideologi radikal di Indonesia.

Para jihadis di Indonesia merespon kemunculan ISIS dengan cara beragam seperti membentuk kelompok baru, pergi ke Suriah dan Iraq untuk bergabung, atau menanggapinya secara skeptis karena tidak relevan dengan perjuangan Negara Agama di Indonesia.

"Fenomena desitensi dari kemunculan ISIS dapat dilihat dari kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT) yang didirikan oleh Santoso yang kurang diminati oleh kelompok radikal di Indonesia," tuturnya.

Di dalam disertasinya, Ardi juga memaparkan terkait masalah tidak tercapainya tujuan dari program exit from terrorism yang berakibat pada munculnya kasus residivis terorisme di Indonesia. Hal ini diperkuat dari temuan Polri yang menyatakan dua dari lima pelaku serangan terorisme di Sarinah tahun 2016 merupakan residivis kasus terorisme yang bebas pada tahun 2014.

Laporan Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) juga mencatat bahwa dari 825 mantan narapidana terorisme yang dibebaskan antara 2002 dan Mei 2020, 94 orang di antaranya yang menjadi residivis teroris.

Menurut Ardi faktor munculnya aksi teror oleh mantan teroris disebabkan oleh penyebaran paham radikal di di Lapas, hubungan dekat dengan anggota keluarga yang melakukan kontak dengan kelompok teroris, dan penerimaan konsep ideologi radikal yang kuat memungkinkan tindakan fisik kolektif bersama kelompok teroris.

"Saya memakai pendekatan triple H untuk mengembangkan kerangka konseptual terkait terorisme secara lebih spesifik. Elemen heaven dapat dijelaskan menggunakan hubungan antara head dan heart, kemudian elemen habit dijelaskan melalui elemen head dan hand, sedangkan home dapat ditemukan melalui elemen heart dan hand," paparnya.

Temuan ini didasarkan pada hasil focus group discussion yang dilakukan sebanyak dua kali pertemuan. Dalam konteks heaven, Ardi menjelaskan bahwa penggunaan doktrin kekerasan berdasarkan ideologi agama dijadikan pembenaran bagi teroris karena dianggap menjamin mereka masuk surga.

"Doktrin ini menciptakan kader-kader militan yang siap menjadi brides of heaven. Bagi para teroris kematian adalah sesuatu yang diinginkan karena dapat kebahagian di surga," ungkapnya.

Dalam konteks home Ardi menjelaskannya sebagai situasi yang dapat membantu mantan pelaku teror melepaskan diri atau terderadikalisasi. Akan tetapi, home juga dapat menjadi faktor pendorong residivisme pelaku teror. Contoh dari konteks home yaitu keluarga yang menjadi faktor penting dalam desistensi karena berkaitan dengan hubungan pro-sosial dan kepedulian.

"Empati kepada anggota keluarganya agar tidak lagi berinteraksi dengan kelompok radikal. Ini menjadi sangat penting peran dari home (lingkungan rumah)," tutur dia.

Dalam konteks habit, Ardi menjelaskan bahwa kebiasaan, pengaruh lingkungan, dan jaringan dapat mempengaruhi perubahan mantan pelaku teror ke arah desistensi dari
terorisme atau residivis. Apabila mantan pelaku teror sudah tidak terlibat dalam tindakan-tindakan seperti nesting, financing, maupun communication terhadap kelompok teroris, terdapat kemungkinan mereka menuju desistensi dari terorisme.

"Akan tetapi kondisi sebaliknya dapat terjadi ketika para mantan pelaku teror masih terlibat dalam berbagai macam tindakan-tindakan di atas," kata dia.

Dia menambahkan, bahwa kelompok teroris menggunakan strategi propaganda untuk menyebarkan paham radikalnya kepada calon pengikut. Hal ini membuktikan bahwa elemen head lebih awal dari hand. Pasalnya penyebaran paham radikal melalui propaganda kelompok teroris semakin tidak bisa dihindari akibat perkembangan internet saat ini.

Propaganda dari kelompok teroris mengakibatkan mantan teroris rentan kembali terlibat
dalam tindakan radikal.

"Hal ini menunjukan para mantan teroris masih memiliki elemen head yang kuat dengan radikalisme terorisme sehingga mereka tidak ragu untuk kembali ke dalam kelompok teroris," aku dia. (*)

Sentimen: negatif (100%)