Sentimen
Negatif (100%)
27 Nov 2022 : 03.13
Informasi Tambahan

Kab/Kota: Manggarai, Guntur

Partai Terkait
Tokoh Terkait

Soroti Pergantian Hakim Konstitusi, Waketum Demokrat: Salah Satu Strategi Rezim Otoriter Mematikan Wasit

27 Nov 2022 : 10.13 Views 1

Fajar.co.id Fajar.co.id Jenis Media: Nasional

Soroti Pergantian Hakim Konstitusi, Waketum Demokrat: Salah Satu Strategi Rezim Otoriter Mematikan Wasit

FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Benny K Harman menyoroti pergantian hakim konstitusi yakni Aswanto oleh Guntur Hamzah.

Dia menyindir rezim otoriter yang berusaha mempertahankan dan memperbesar kekuasaannya dengan mematikan wasit dan pengawas.

“Bagaimana menjelaskan kasus ini? Para ilmuwan politik mengingatkan, salah satu strategi rezim otoriter mempertahankan dan memperbesar kekuasaannya ialah dengan mematikan wasit dan pengawas,” ujarnya dalam unggahannya, Kamis, (24/11/2022).

Dia mengutip perkataan Lord Acton yang menyebut jika Mahkamah Konstitusi telah dilumpuhkan, maka penguasa akan leluasa dan makin korup

“Kalau wasit dan pengawas sudah mati, penguasa leluasa dan makin korup, kata Lord Acton.#Liberte#,” tandas pria kelahiran Manggarai ini.

Diketahui, Aswanto digantikan oleh Guntur Hamzah dalam rapat paripurna DPR pada Kamis, (29/9/2022) lalu.

Presiden Joko Widodo pun telah melantiknya pada Rabu, (23/11/2022) lalu.

Berdasarkan keterangan tertulis Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) disebut, secara konstitusional, DPR hanya diberikan kewenangan untuk mengusulkan Hakim Konstitusi, bukan memberhentikannya.

Alasan DPR dalam memberhentikan Aswanto karena yang bersangkutan dianggap sering menganulir undang-undang yang dibentuk oleh DPR. Pemberhentian itu adalah bentuk pelanggaran hukum dan merusak independensi peradilan.

Secara normatif, pemberhentian ini disebut cacat karena tidak memiliki dasar hukum yang membenarkan.

Pasal 87 huruf b UU Nomor 7 tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menyebutkan bahwa Hakim Konstitusi yang sedang menjabat dan dianggap memenuhi syarat menurut Undang-Undang ini dan mengakhiri masa tugasnya sampai usia 70 (tujuh puluh) tahun atau selama keseluruhan masa tugasnya tidak melebihi 15 (Iima belas) tahun.

Ketentuan ini sekaligus menghapus periodisasi jabatan hakim konstitusi. Dalam konteks, masa jabatan Aswanto, maka seharusnya akhir masa tugas beliau pada 21 Maret 2029 atau setidak-tidaknya hingga 17 Juli 2029 saat genap berusia 70 tahun.

Pada akhir Juli 2022, MK memang pernah mengirim surat ke DPR perihal adanya putusan pengujian UU terkait perubahan ketiga UU MK.

Surat tersebut juga mencantumkan pertimbangan MK dalam putusannya khususnya untuk pasal 87 huruf b terkait masa tugas hakim konstitusi yang menyatakan agar ketentuan peralihan tersebut tidak digunakan untuk memberikan keistimewaan terselubung terhadap orang-orang tertentu yang sedang menjabat sebagai Hakim Konstitusi.

Dalam surat tersebut, MK berpendapat perlu ada tindakan hukum berupa konfirmasi terhadap lembaga pengusul Hakim Konstitusi yang tengah menjabat tersebut.

Tindakan hukum itu berupa pemberitahuan bahwa Hakim Konstitusi terkait melanjutkan masa jabatannya yang kini tidak mengenal lagi periodisasi.

Dalam surat tersebut, MK menyebutkan bahwa Aswanto menjabat hingga 2029. Menurut PSHK, perlu ada pemahaman bagi kita semua bahwa tindakan ini hanya sebatas konfirmasi ke lembaga pengusul; bukan untuk mengevaluasi (memberhentikan) hakim konstitusi yang sedang menjabat di tengah jalan.

Tindakan DPR yang memberhentikan Aswanto di tengah jalan disebut sebagai tindakan sesat dan keliru dalam menafsirkan surat MK tersebut

“Selain itu, adanya keputusan memberhentikan Aswanto sebagai Hakim Konstitusi menunjukkan bahwa DPR telah keliru dalam menafsirkan undang-undang yang dibentuknya. DPR justru terjebak oleh ketentuan yang dibentuknya sendiri, yakni meghapus periodesasi jabatan lima tahun dan memperpanjang masa jabatan hakim konstitusi sampai usia 70 (tujuh puluh) tahun atau selama keseluruhan masa tugasnya tidak melebihi 15 (Iima belas) tahun. Adanya kekeliruan dalam menafsirkan undang-undang ini adalah hal yang memalukan karena DPR seperti tidak paham dengan peraturan yang dibuatnya sendiri,” tuturnya.

Dari segi prosedur disebut, pengambilan keputusan pemberhentian ini juga janggal karena dilakukan berdasarkan Sidang Paripurna yang dilakukan tanpa proses terjadwal, sehingga tidak diketahui publik. Jika publik membiarkan proses ini begitu saja, maka akan terjadi pembiaran upaya DPR untuk meruntuhkan independensi peradilan. Salah satu esensi dari independensi peradilan adalah masa jabatan hakim yang tetap dan lepas dari campur tangan lembaga lain.

“Selain itu, pemberhentian Aswanto sebagai Hakim Konstitusi juga merupakan bentuk kesewenang-wenangan. Sebab yang bersangkutan tidak melakukan perbuatan tercela, tidak melanggar hukum atau etik, atau tidak juga melanggar sumpah jabatan Hakim Konstitusi. Hal-hal itulah yang dapat menjadi dasar pemberhentian seorang Hakim Konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 23 UU MK. Sedangkan alasan yang dikemukakan oleh Komisi III DPR, yaitu yang bersangkutan membatalkan undang-undang yang dibentuk oleh DPR, tidak dapat dibenarkan untuk dijadikan dasar pemberhentian seorang Hakim Konstitusi,” lanjutnya.

Hal tersebut seperti menegaskan bahwa DPR ingin menjadikan Hakim Konstitusi sebagai alat untuk memuluskan produk undang-undang bermasalah dalam proses pengujian di Mahkamah Konstitusi.

Adanya “jatah” DPR dalam mengusulkan Hakim Konstitusi bukan berarti hakim yang diusulkan tersebut menjadi pembela kepentingan DPR, melainkan hal itu adalah untuk menjaga netralitas MK agar tidak dapat diintervensi oleh salah satu cabang kekuasaan. Pola pikir menjaga kepentigan DPR sebagaimana terlontar oleh beberapa pihak adalah logika sesat dan mendorong kita semua ke titik nadir pendangkalan hukum.

Dari segi politik hukum, proses yang terjadi saat ini memperlihatkan bahwa DPR bersama Presiden ingin memperluas kewenangannya dalam pengisian jabatan Hakim Konstitusi, dari awalnya hanya mengusulkan untuk pengisian menjadi dapat memberhentikan Hakim Kontsitusi. Hal itu semakin terkonfirmasi dengan adanya upaya mengubah UU MK untuk keempat kalinya, yang salah satu ketentuan perubahannya mengatur bahwa lembaga pengusul Hakim Konstitusi dapat mengevaluasi sewaktu-waktu jika ada pengaduan dari masyarakat. Ketentuan itu mengarahkan lembaga pengusul dapat memberhentikan Hakim Konstitusi kapanpun.

Berdasarkan argumentasi tersebut, PSHK mendesak DPR mencabut keputusan pemberhentian Aswanto sebagai Hakim Konstitusi.

Kemudian, mendesak Presiden untuk tidak mengeluarkan Keputusan Presiden soal pengangkatan Guntur Hamzah sebagai Hakim Konstitusi, dan memerintahkan Aswanto kembali menjabat sesuai ketentuan dalam Pasal 87 huruf b UU Nomor 7 Tahun 2020.

Selanjutnya, mendesak Presiden dan Mahkamah Agung sebagai lembaga pengusul Hakim Konstitusi untuk tidak melakukan pelanggaran hukum yang sama dengan DPR.

Bahkan menolak revisi keempat UU MK yang memperluas kewenangan lembaga pengusul Hakim Konstitusi untuk dapat mengevaluasi atau memberhentikan Hakim Konstitusi di tengah masa jabatan.

Terakhir, mendesak agar pemberhentian dan pengangkatan Hakim Konstitusi dilakukan berdasarkan ketentuan dalam UU MK, dengan menjunjung tinggi prinsip transparan, partisipatif dan akuntabel. (selfi/fajar)

Sentimen: negatif (100%)