Sentimen
Negatif (94%)
23 Nov 2022 : 11.03
Informasi Tambahan

Kab/Kota: Gunung, Cianjur, Yogyakarta, Lombok, Palu

Potret Telanjang dari Buruk Literasi dan Mitigasi Bencana Indonesia

23 Nov 2022 : 18.03 Views 1

Kompas.com Kompas.com Jenis Media: Nasional

Potret Telanjang dari Buruk Literasi dan Mitigasi Bencana Indonesia

MIRIS. Buruknya literasi bencana terpampang telanjang bahkan tersiar langsung lewat media sosial dari Gedung DPR, Senin (21/11/2022). 

Pimpinan Komisi V DPR yang salah satu ruang lingkup kerjanya membidangi meteorologi, klomatologi, dan geofisika, dengan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) sebagai salah satu mitra kerja, justru tertawa ketika jajaran BMKG spontan berlindung di bawah meja ketika gempa mengguncang di tengah rapat mereka.

Diingatkan tentang protokol perlindungan diri saat terjadi gempa, tawa itu tak reda. Pun waktu disinggung soal protokol evakuasi, itu hanya dibantah dengan jawaban enteng.

Baca juga: Ketika Wakil Ketua Komisi V Tertawa Lihat Kepala BMKG Sembunyi di Bawah Meja Saat Gempa Terjadi....

Menjadi miris juga, aksi spontan berlindung di bawah meja ketika terjadi guncangan gempa juga hanya dilakukan jajaran BMKG. Padahal, ada juga di sana personel institusi lain yang berurusan dengan kebencanaan.

Bila literasi saja masih bikin miris, bahkan di lokasi dan pada orang-orang yang seharusnya punya akses pengetahuan memadai, apa kabar mitigasi bencana?

Darurat literasi dan mitigasi kebencanaan

Masalah pokok terkait gempa adalah waktu kemunculannya yang selalu tiba-tiba. Ia muncul sesukanya, tak terpola oleh patokan waktu manusia. Kita hanya bisa menunggu dan menunggu, sampai kemudian lupa dan tiba-tiba dikejutkan kembali oleh guncangan besar.

Ahmad Arif menuliskan serentet kalimat di atas sebagai prolog bab 4 buku Hidup Mati di Negeri Cincin Api terbitan Penerbit Buku Kompas. Dia memberi judul bab itu Negeri Gempa dan Tsunami.

Gempa selalu terjadi tiba-tiba, tak terkecuali di Indonesia. Tak terhitung gempa besar mengguncang negeri di khatulistiwa ini. Terkini, gempa berguncang dari Cianjur, Jawa Barat, pada Senin (21/11/2022) itu.

Hingga tulisan ini dibuat, sudah lebih dari 200 orang meninggal, lebih dari seribu orang terluka, dan puluhan ribu yang lain mengungsi. 

Baca juga: Fakta Terkini Gempa Cianjur, Korban Meninggal 268 Orang dan Potensi Bencana Lanjutan

Nyaris tak sejengkal pun tanah di Nusantara yang luput dari ancaman gempa, selain Kalimantan, seperti yang tertera dalam peta sejarah kegempaan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika. Gempa, tsunami, dan juga letusan gunung berapi telah menjadi bagian dari sejarah Nusantara dan terekam dalam mitologi serta dongeng kuno.

Sejarawan Bernard HM Vlekke dalam buku Nusantara: Sejarah Indonesia, 1961, menulis, letusan gunung dan gempa bumi begitu sering terjadi di negeri ini. Salah satu pulau yang paling sering dilanda gempa adalah Sumatera, seperti dilaporkan William Marsden dalam bukunya, Sejarah Sumatera, 1783.

”Gempa bumi paling keras saya alami terjadi di Manna (Bengkulu), tahun 1770. Sebuah kampung musnah, rumah-rumah runtuh dan habis dimakan api. Beberapa orang tewas,” demikian tulis Marsden.

Tiga paragraf di atas merupakan bagian dari artikel yang ditulis Ahmad Arif yang mengisi halaman muka harian Kompas edisi 14 September 2011 berjudul "Hidup-Mati di Negeri Cincin Api".

ARSIP KOMPAS Tangkap layar artikel di harian Kompas edisi 14 September 2011 berjudul Hidup Mati di Negeri Cincin Api.

Khusus terkait gempa, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) bahkan pernah menyebut rata-rata setiap bulan terjadi 400 gempa di seluruh Indonesia.

Masalahnya, tak banyak orang Indonesia yang sadar dan paham mengenai risiko kebencanaan ini, apalagi mengantisipasinya. Setidaknya, survei Kompas pada 2011 memperlihatkan buruknya kesadaran bencana warga, bahkan di wilayah-wilayah paling rawan kejadian.

Tampaknya, mitigasi bencana—termasuk gempa dan tsunami—memang harus diakui belum menjadi frasa keseharian apalagi praktik yang tertib dijalankan di Nusantara, sebuah negeri yang berada tepat di atas sejumlah patahan lempeng bumi dan memiliki banyak gunung api aktif.

Baca juga: Lagu Pelangi sampai Legenda Nyi Roro Kidul demi Mitigasi Bencana

Pada setiap kali gempa terjadi, hanya keterkejutan yang selalu mengemuka bersama duka mendalam atas jatuhnya korban jiwa dan warga yang terluka serta kerugian harta benda. 

Gempa dan mega-tsunami yang meluluhlantakkan Aceh pada 2004, gempa Yogyakarta pada 2006, gempa Padang pada 2009, lalu gempa Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB) pada pengujung Juli 2018 dan berentet sepanjang Agustus 2018, adalah di antara sekian gempa besar dalam abad millenial yang cukup dalam mengguratkan duka bangsa.

Bahkan, belum reda duka dan nestapa atas rentetan gempa di Negeri Seribu Masjid—salah satu julukan untuk NTB—, gempa besar meluluhlantakkan Palu dan Donggala di Sulawesi Tengah pada Jumat (28/9/2018).

Baca juga: JEO - Esai Foto: Dampak Gempa di Palu dan Donggala dalam Gambar

Sudah begitu, "jeda" sekitar tiga jam dari gempa berkekuatan magnitudo 5,4 yang melanda Palu pada Jumat siang hingga gempa bermagnitudo 7,4 pada Jumat petang di wilayah yang sama seolah tak jadi peringatan bagi jatuhnya ratusan korban jiwa.

 

Dengan sederet panjang bencana-bencana besar yang pernah terekam dan menggurat duka di Nusantara, terasa sungguh klise ketika jatuhnya begitu banyak korban jiwa di Cianjur akibat gempa pada Senin (21/11/2022) dinyatakan tersebab pusat gempa yang dangkal, struktur bangunan yang tak aman dari gempa, serta permukiman di daerah tanah lunak dan tak stabil. 

Baca juga: Mengapa Gempa M 5,6 di Cianjur Sangat Merusak? Ini Penjelasan BMKG

Dengan segenap bela sungkawa dan empati untuk para korban dan keluarganya, literasi dan mitigasi bencana terasa sudah waktunya dinyatakan sebagai kebutuhan darurat yang menjadi prioritas kerja bagi negara dan aparatur pemerintahannya.

Sejatinya, tak hanya Indonesia yang punya tantangan besar alam yang retas dan rawan bencana. Jepang, Amerika Serikat, dan Selandia Baru adalah sebagian contoh negara yang punya masalah sama besarnya soal ini.

ARSIP KOMPAS Jalur Ekspedisi Cincin Api, sebagaimana tangkap layar dari halaman 14 harian Kompas edisi 14 September 2011.

 

Namun, soal kewaspadaan dan upaya meminimalkan korban, Indonesia harus mengakui ketertinggalan. Perbaikan, pembenahan, dan upaya berkelanjutan untuk serius dan nyata menggarap literasi dan mitigasi bencana masih menjadi pekerjaan rumah besar negara ini.

Tentu, ini bila melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia sebagaimana mandat dalam pembukaan UUD 1945 adalah sumpah dan amanah yang disadari akan dituntut pertanggungjawaban.

Naskah: KOMPAS.com/PALUPI ANNISA AULIANI

Catatan:

Seluruh artikel harian Kompas yang dikutip di tulisan ini dapat diakses publik melalui layanan Kompas Data.

 

-. - "-", -. -

Sentimen: negatif (94.1%)