DPRD Jember Desak Pembubaran Bank Titil Alias Koperasi Berwatak Rentenir
Beritajatim.com Jenis Media: Politik
Jember (beritajatim.com) – DPRD Jember, Jawa Timur, mendesak pembubaran koperasi yang berwatak dan berperilaku seperti rentenir yang menjerat warga kelas bawah dengan utang berbunga tinggi, terutama di desa-desa.
“Kebanyakan yang beroperasi bukan koperasi sebenarnya. Istilahnya bank titil. Bunganya terlalu mencekik. Dari pengambilan sampai lunas, bisa 50-100 persen,” kata Wawan Rusmawadi, Kepala Desa Sukoreno, Kecamatan Kalisat, Senin (14/3/2022).
“Saya berharap Pemkab Jember bertindak tegas. Bubarkan saja koperasi-koperasi yang menyalahi semangat koperasi itu sendiri. Koperasi ini sokoguru pembangunan ekonomi. Jangan dikhianati. Saya melihat ada koperasi yang praktiknya rentenir,” kata Nur Hasan, anggota Komisi A DPRD Jember dari Partai Keadilan Sejahtera.
Nur Hasan mengatakan, hanya sebagian kecil koperasi di Jember yang mengamalkan nilai-nilai esensial koperasi. “Yang lain papan namanya koperasi, tapi kinerjanya adalah rentenir. Kalau mau lihat, turun ke pasar. Pasar adalah ajang pertarungan berbagai koperasi. Sangat mencekik. Tidak kuat membayar utang, ada anaknya (yang harus melunasi). Anak tidak kuat membayar, ada cucunya. Bahkan utang ratusan ribu rupiah, (untuk membayarnya) harus menjual sawah, ini terjadi,” jelasnya.
“Ini kalau kita menutup mata, kita biarkan, kasihan masyarakat di bawah. Kalau memang praktiknya rentenir, tutup. Pagi sore ngantor, siang keliling. Saya sudah lama jengkel, karena tetangga saya sampai harus jual sawah. Ada dua orang. Teman saya untuk menyelesaikan utang ke beberapa koperasi, juga harus jual sawah. Kalau dia terjerat, tidak hanya pinjam ke satu koperasi,” kata Nur Hasan.
Nur Hasan mengajak Dinas Koperasi dan Usaha Mikro Kecil Menengah untuk memperbaiki sistem koperasi di Jember. “Saya membayangkan untungnya koperasi itu kalau dihitung sampai 50 persen. Cepat kaya. Saya punya teman hanya bermodal Rp 50 juta, setiap bulan bisa dapat Rp 15 juta,” katanya.
“Kalau Dinas Koperasi memberikan izin (pendirian koperasi), tapi tidak mengawasi praktik itu, ya ngapain kasih izin? Kalau memang kita bersemangat, kita cek semua koperasi di Kabupaten Jember,” kata Nur Hasan.
Nur Hasan mengatakan, masyarakat di bawah tidak merasa jika tengah terjebak lingkaran utang. “Karena pinjamnya kecil, tidak terasa. Pedagang sayur hanya untuk modal sayur, hanya pinjam Rp 100-150 ribu. Cicilan pertama sudah dipotong. Belum dipakai uangnya sudah dipotong cicilan pertama. Belum tetek bengeknya. Kalau dihitung dengan bunganya, bisa sampai 50 persen tambahan uangnya,” katanya.
Nur Hasan menegaskan, Dinas Koperasi tak perlu gentar menghadapi koperasi-koperasi tersebut. “Rakyat kecil kita selamatkan, walau satu sisi kita harus mencari pengganti bank titil untuk memenuhi kebutuhan modal mereka,” katanya.
Pernyataan Nur Hasan didukung Alfan Yusfi, anggota Komisi A dari PDI Perjuangan. “Bank titil yang punya background koperasi ini dalam meminjamkan uang tidak melalui mekanisme persetujuan pasangan (suami-istri). Sehingga banyak sekali terjadi, ketika si ibu punya banyak utang, bertengkar dengan suaminya, lalu bercerai. Kemudian karena malu, bekerja ke luar wilayah,” katanya.
Alfan mengusulkan sistem seperti perbankan. “Ketika satu orang pinjam uang di bank, namanya terdata di Bank Indonesia. Ketika ini tidak bisa membayar, maka mau utang ke bank mana saja tidak bisa. Ini di koperasi longgar,” katanya.
Alfan juga mengusulkan agar ada sistem koperasi desa dengan menggunakan 20 persen dana desa untuk ketahanan pangan. “Masyarakat bisa menjadi anggota koperasi, siapa yang punya modal bisa menanam modal. Siapa yang membutuhkan, bisa meminjam. Sistem jelas terkoordinasi. Ini solusi awal,” katanya. [wir/ted]
Sentimen: positif (100%)