Kemenkes Sebut Tak Ada Lagi Penambahan Kasus Gangguan Ginjal Akut
Tagar.id Jenis Media: Nasional
TAGAR.id, Jakarta – Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengklaim tidak ada lagi penambahan kasus gangguan ginjal akut progresif atipikal pada anak dalam kurun waktu dua pekan terakhir. Anugrah Andriansyah melaporkannya untuk VOA.
Juru Bicara Kemenkes, Mohammad Syahril, mengatakan, dalam kurun waktu dua pekan terakhir tidak ada penambahan kasus gangguan ginjal akut progresif atipikal pada anak. Berdasarkan data dari Kemenkes hingga 15 November 2022, kasus penyakit gangguan ginjal akut pada anak masih berjumlah 324 dan tersebar di 27 provinsi.
"Dalam dua minggu terakhir ini penurunan kasus. Kasusnya tidak bertambah sehingga tetap sebanyak 324 kasus selama dua minggu terakhir ini," kata Syahril dalam konferensi pers secara daring, Rabu, 16 November 2022.
Syahril menjelaskan, sebanyak 111 anak dinyatakan telah sembuh dan 199 lainnya meninggal. Sementara itu, hingga saat ini 14 anak masih dalam perawatan.
"Sampai saat ini yang dirawat tinggal 14 orang. Mudah-mudahan 14 orang ini setelah mendapatkan antidotum dapat terselamatkan. Walaupun 14 orang tersebut memang dalam stadium tiga yang berat," jelasnya.
Juru Bicara Kemenkes, Mohammad Syahril. (Sumber: setkab.go.id/Tangkapan Layar)
Menurut Syahril, tidak adanya penambahan kasus maupun kematian akibat gangguan ginjal akut lantaran para pasien telah diberikan antidotum. Kemenkes juga telah mengeluarkan petunjuk melalui surat edaran terkait penggunaan obat sediaan cair atau sirop pada anak dalam rangka pencegahan kasus gangguan ginjal akut.
"Pemberian antidotum menghasilkan satu hal yang kita ingin yaitu tidak ada penambahan kasus maupun kematian," ungkapnya.
Melalui surat edaran Kemenkes nomor HK.02.02/III/3713/2022 per 11 November 2022 tersebut, seluruh fasilitas kesehatan dan penyelenggara sistem elektronik farmasi serta toko obat dalam penggunaan obat diminta untuk berpedoman pada penjelasan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) terkait dengan daftar obat yang boleh dan tidak digunakan.
"Sesuai dengan ketentuan yang dikeluarkan BPOM. Kemudian tenaga kesehatan dapat menggunakan obat yang sifatnya critical namun dengan monitoring tenaga kesehatan," ujar Syahril.
Epidemiolog Universitas Griffith, Australia, Dicky Budiman. (Foto: voaindonesia.com/Dok Pribadi)
Peneliti keamanan dan ketahanan kesehatan global dari Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman, mengatakan, meskipun pemerintah mengklaim tidak ada penambahan kasus gangguan ginjal akut, masih banyak kasus yang mungkin tidak terdeteksi.
"Ini artinya narasi yang dibangun harus mewakili rasa empati bahwa tidak ada kasus. Tapi harus disadari itu tidak ada kasus yang ke rumah sakit. Bagaimana yang di masyarakat? Itu kelemahan kita yang juga terjadi di segala penyakit," ujar Dicky.
Menurut Dicky, pengawasan maupun deteksi terhadap penyakit gangguan ginjal akut yang dilakukan pemerintah masih lemah. Dengan kata lain, masih banyak kasus gangguan ginjal akut yang tidak terdeteksi pemerintah.
"Saya tidak percaya diri untuk menyetujui bahwa kasusnya memang seperti yang dilaporkan pemerintah dan kasusnya benar-benar sudah tertangani. Karena memang lebih banyak di aspek kuratif," ucapnya.
Dalam kejadian kasus gangguan ginjal akut tersebut, Dicky menilai ketiadaan peran dan tanggung jawab pemerintah dalam melindungi masyarakat. Pasalnya, mayoritas anak yang mengalami gangguan ginjal akut disebabkan oleh penggunaan obat sirop cair yang mengandung zat berbahaya sementarapemerintah gagal mengawasi kandungan berbahaya pada obat yang beredar.
"Karena apa? Yang terlibat dalam proses kejadian ini itu lebih dari institusi atau lembaga. Ketika itu lebih dari satu ini menjadi penting untuk direspons sebagai tanggung jawab negara," ujarnya. (aa/ab)/voaindonesia.com. []
Sentimen: negatif (99.2%)