Sentimen
Positif (100%)
16 Nov 2022 : 09.34
Informasi Tambahan

Agama: Islam, Hindu

Kab/Kota: bandung, Bogor, Gunung, Batang

Partai Terkait

16 November Hari Angklung Sedunia, Sejarah, Jenis, dan Cara Memainkannya

16 Nov 2022 : 16.34 Views 1

Kabartangsel.com Kabartangsel.com Jenis Media: Nasional

16 November Hari Angklung Sedunia, Sejarah, Jenis, dan Cara Memainkannya

Angklung adalah alat musik khas Indonesia yang banyak dijumpai di daerah Jawa Barat. Alat musik tradisional ini terbuat dari tabung-tabung bambu. Sedangkan suara atau nada alat ini dihasilkan dari efek benturan tabung-tabung bambu tersebut dengan cara digoyangkan. Sebagai bentuk pengakuan alat musik Indonesia, Angklung telah terdaftar sebagai Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity dari UNESCO sejak November 2010. Angklung memiliki beberapa jenis, antara lain : Angklung Kanekes, Angklung Dogdog Lojor, Angklung Gubrag, dan Angklung Padaeng.

 

Hari Angklung Sedunia

Angklung adalah alat musik tradisional Indonesia yang berasal dari tanah Sunda, terbuat dari bambu, yang dibunyikan dengan cara digoyangkan. Sebelum menjadi sebuah kesenian yang adiluhung seperti sekarang ini, kesenian Angklung telah mengalami perjalanan sejarah yang amat panjang. Berbagai perubahan telah dilaluinya mulai dari perubahan bentuk, fungsi, sampai pada perubahan nada. Demikian pula berbagai situasi telah dilaluinya, bahkan kesenian ini sempat mengalami keterpurukan pada awal abad ke-20. Angklung sebagai salah satu jenis kesenian yang berangkat dari kesenian tradisional, mengalami nasib yang tidak terlalu tragis dibandingkan dengan beberapa jenis kesenian tradisional lainnya. Kesenian ini hingga kini masih tetap bertahan,  bahkan berkembang, dan sudah “mendunia” kendatipun dengan jenis irama dan nada yang berbeda dari nada semula. Kalau semula nada dasar kesenian Angklung adalah tangga nada pentatonis, kini telah berubah menjadi tangga nada diatonis yang memiliki solmisasi. Boleh dibilang, kesenian Angklung merupakan salah satu jenis kesenian tradisional yang mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman, sehingga ia mampu bertahan di tengah terjangan arus modernisasi. Bahkan kesenian Angklung ini telah mendapat pengakuan dari UNESCO sebagai The Representative List of the Intangible Cultural Heritage of Humanity. Angklung sebagai warisan budaya dunia milik Indonesia yang dideklarasikan pada 16 Januari 2011.

 

Sejarah Angklung

Angklung berasal dari bahasa Sunda angkleung-angkleungan yaitu gerakan pemain angklung dan membentuk suara klung yang dihasilkannya. Secara etimologis angklung berasal dari kata “angka” yang berarti nada dan “lung” yang berarti pecah. Jadi, angklung merujuk pada nada yang pecah atau tidak lengkap.

Bentuk angklung terdiri dari dua atau lebih batang bambu dalam berbagai ukuran sesuai dengan kebutuhan tinggi rendahnya nada yang dibentuk menyerupai alat musik calung. Menurut Dr. Groneman, Angklung telah ada di Nusantara, bahkan sebelum era Hindu. Menurut Jaap Kunst dalam bukunya Music in Java, selain di Jawa Barat, Angklung juga bisa ditemui di daerah Sumatra Selatan dan Kalimantan. Di luar itu, masyarakat Lampung, Jawa Timur dan Jawa Tengah juga mengenal alat musik tersebut.

Di lingkungan Kerajaan Sunda (abad ke 12 – abad ke16) , Angklung dimainkan sebagai bentuk pemujaan terhadap Nyai Sri Pohaci sebagai lambang Dewi Sri (dewi padi/dewi kesuburan), Selain itu, konon Angklung juga merupakan alat musik yang dimainkan sebagai pemacu semangat dalam peperangan, sebagaimana yang diceritakan dalam Kidung Sunda.

 

Dua tokoh yang berperan dalam perkembangan Angklung di Jawa Barat adalah Daeng Soetigna sebagai Bapak Angklung Diatonis Kromatis dan Udjo Ngalagena yang mengembangkan teknik permainan berdasarkan laras-laras pelog dan salendro.

Pada tahun 1938, Daeng Soetigna, menciptakan angklung dengan tangga nada diatonis. Angklung inovasi Daeng Sutigna tersebut berbeda dengan angklung pada umumnya yang berdasarkan tangga nada tradisional pelog atau salendro. Inovasi inilah yang kemudian membuat Angklung dengan leluasa bisa dimainkan harmonis bersama alat-alat musik Barat, bahkan bisa disajikan dalam bentuk orkestra. Sejak saat itu, Angklung semakin populer, hingga akhirnya PBB, melalui UNESCO, pada November 2010, mengakuinya sebagai warisan dunia yang harus dilestarikan.

Setelah Daeng Soetigna, salah seorang muridnya, Udjo Ngalagena, meneruskan usaha Sang Guru mempopulerkan Angklung temuannya, dengan jalan mendirikan “Saung Angklung” di daerah Bandung. Hingga hari ini, tempat yang kemudian dikenal sebagai “Saung Angklung Udjo” tersebut masih menjadi pusat kreativitas yang berkenaan dengan Angklung.

 

Jenis Angklung

a. Angklung DogDog Lojor

Angklung ini sering digunakan pada kesenian dogdog lojor yang terdapat di masyarakat Kasepuhan Pancer Pangawinan atau kesatuan adat Banten Kidul yang tersebar di sekitar Gunung Halimun. Istilah Dogdog Lojor sendiri sejatinya diambil dari nama salah satu instrumen dalam tradisi ini, yakni Dogdog Lojor. Angklung yang digunakan memiliki fungsi pada tradisinya, yakni sebagai pengiring ritus bercocok-tanam. Setelah masyarakat di sana menganut Islam, dalam perkembangannya, kesenian tersebut juga digunakan untuk mengiringi khitanan dan perkawinan. Dalam kesenian Dogdog Lojor, terdapat 2 instrumen Dogdog Lojor dan 4 instrumen angklung besar.

 

b. Angklung Kanekes

Angklung Kanekes adalah Angklung yang dimainkan oleh masyarakat Kanekes (Baduy), di daerah Banten. Tradisi Angklung yang ada pada masyarakat Kanekes ini terbilang kuno, dan tetap dilestarikan sebagaimana fungsi yang dicontohkan leluhur mereka, yakni mengiringi ritus bercocok-tanam (padi), bukan semata-mata untuk hiburan orang-orang. Angklung digunakan atau dibunyikan ketika mereka menanam padi di huma (ladang). Pada masyarakat Kanekes, yang terbagi menjadi dua kelompok, yakni kelompok Baduy Luar (Kajeroan) dan kelompok Baduy (Luar Kaluaran), yang berhak membuat Angklung hanyalah warga Baduy Jero, itu pun tidak semua orang, melainkan hanya mereka yang menjadi keturunan para pembuat Angklung. Sementara itu, warga Baduy Luar tidak membuat Angklung, melainkan cukup membelinya dari warga Baduy Jero. Nama-nama Angklung di Kanekes dari yang terbesar adalah: indung, ringkung, dongdong, gunjing, engklok, indung leutik, torolok, dan roel.

c. Angklung Gubrag

Angklung gubrag terdapat di kampung Cipining, kecamatan Cigudeg, Bogor. Angklung ini telah berusia tua dan digunakan untuk menghormati dewi padi dalam kegiatan melak pare (menanam padi), ngunjal pare (mengangkut padi), dan ngadiukeun (menempatkan) ke leuit (lumbung). Dalam mitosnya angklung gubrag mulai ada ketika suatu masa kampung Cipining mengalami musim paceklik. Hal ini terkait mitos Dewi Sri yang enggan menurunkan hujan.

d. Angklung Padaeng

Angklung Padaeng dikenalkan oleh Daeng Soetigna sekitar tahun 1938. Inovasi angklung padaeng ini terdapat pada laras nada yang digunakan yaitu diatonik yang sesuai dengan sistem musik barat. Sejalan dengan teori musik, Angklung Padaeng secara khusus dibagi ke dalam dua kelompok, yakni: angklung melodi dan angklung akompanimen. Angklung melodi adalah yang secara spesifik terdiri dari dua tabung suara dengan beda nada 1 oktaf. Pada satu unit angklung, umumnya terdapat 31 angklung melodi kecil dan 11 angklung melodi besar. Sementara itu, angklung akompanimen adalah angklung yang digunakan sebagai pengiring untuk memainkan nada-nada harmoni. Tabung suaranya terdiri dari 3 sampai 4, sesuai dengan akor diatonis. Setelah inovasi Daeng Soetigna, pembaruan-pembaruan lainnya terhadap angklung terus berkembang. Beberapa diantaranya adalah: Angklung Sarinande, Arumba, Angklung Toel, dan Angklung Sri Murni.

 

Cara Memainkan Angklung

Permainan Angklung cukup mudah dilakukan bagi setiap orang. Memainkanya dengan cara, satu tangan memegang rangka angklung, dan tangan yang lain menggoyangkannya hingga menghasilkan suara atau bunyi. Terdapat tiga teknik dasar menggoyangkan angklung, yakni:

Kurulung (getar), merupakan teknik yang paling umum dipakai, di mana satu tangan memegang rangka angklung, dan tangan lainnya menggoyangkan angklung selama nada yang diinginkan, hingga tabung-tabung bambu yang ada silih beradu dan menghasilkan bunyi. Cetok (sentak), merupakan teknik di mana tabung dasar ditarik dengan cepat oleh jari ke telapak tangan kanan, sehingga angklung akan berbunyi sekali saja (stacato). Tengkep, merupakan teknik yang mirip seperti kurulung, namun salah satu tabung ditahan tidak ikut bergetar

 

Sumber:

https://petabudaya.belajar.kemdikbud.go.id/repositorys/angklung/

http://ejurnalpatanjala.kemdikbud.go.id/patanjala/index.php/patanjala/article/view/122

Sentimen: positif (100%)