Sentimen
Informasi Tambahan
Institusi: UNESA, Universitas Negeri Surabaya
Kab/Kota: Surabaya
Tokoh Terkait
Ahmad Bashri: Waspadai Neo HTI
Beritajatim.com Jenis Media: Politik
Surabaya (beritajatim.com) -Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) memang sudah dibubarkan pemerintah dan dinyatakan sebagai organisasi terlarang. Tapi sebagai organisasi yang pernah besar, bukan berarti mereka bisa hilang seketika. Kegiatannya mati.
Banyak yang menduga, mereka masih mencari cara tetap bergerak dan mengubah tampilan.
Seperti unggahan seseorang di sosial media yang mengaku bernama Nur Huda. Akunnya bernama Nur Namaku.
Nur mengaku sebagai mantan pengikut HTI di Jawa Timur yang kemudian keluar karena menganggap organisasi ini bahaya bagi keutuhan bangsa Indonesia.
Nur mengungkapkan jika ia mengenal dan masuk HTI karena pengaruh teman sewaktu kuliah.
Yang menarik, Nur Huda menjelaskan strategi kelompok Eks HTI di Jawa Timur setelah dibubarkan oleh Pemerintah.
Dikatakan dalam unggahan tersebut, mereka membuat beberapa wadah untuk menyamarkan kegiatan.
Misalnya Pusat Kajian Analisi Data (PKAD) yang dikenal akademis dan kelompok intelektual dibuat oleh Fajar Kurniawan mantan Ketua HTI Jatim dan Slamet Sugianto, juga tokoh eks HTI Jatim juga.
Nur Huda menyatakan banyak pihak luar yang tidak tahu dan mau dijadikan narasumber pada lemrerrrbaga tersebut. Padahal ujung ujungnya, PKAD mendorong sistem Khilafah.
Bukan hanya itu, Nur Huda juga mengungkap kelompok Eks HTI Jatim membuat wadah dalam komunitas ulama dengan nama Forum Komunikasi Ulama (FKU) Aswaja Jatim yang dipimpin KH Heru Elyasa.
Di kelompok Buruh mereka membuat wadah Silahturahmi Pekerja Buruh Rindu Syurga (SPBRS) dengan Tokoh Suro Kunto.
Menanggapi postingan tersebut, Ahmad Bashri, M.Si, Pusat Pembinaan Ideologi Universitas Negeri Surabaya mengatakan tidak tahu siapa Nur Huda tersebut. Tapi diakuinya, pasca dibubarkan pemerintah, HTI menggunakan taktik yang berbeda dengan sebelumnya.
“Tentu sebagai organisasi besar, mereka akan segera beradaptasi. Mengubah tampilan dan juga cara berdakwahnya,” terang Bashri dihubungi Senin (21/3/2022) petang.
Termasuk penggunaan istilah Aswaja memang diakui digunakan oleh eks HTI untuk menggelar kegiatan di lingkungan kampus.
“Sebagian lagi menggunakan istilah NU termasuk baju yang mereka kenakan. Dalam beberapa aksi di jalan, mereka (eks HTI) mengenakan sarung dan berpeci. Bukan celana cingkrang seperti sebelumnya,” papar Bashri lagi.
Tapi menurut dosen ini, ada yang membedakan saat mengenakan sarung. Sarung yang mereka kenakan pun dalam posisi cingkrang.
“Yang jelas lebih tinggi dari kebanyakan warga NU lainnya,” tandas Bashri.
Ditambahkan pula, beberapa waktu belakangan ini, mereka juga mengubah lokasi dahwahnya dan menyasar kafe-kafe.
Judul pengajian yang mereka gelar pun sudah berbau modern. “Pengajian milinial misalnya. Itu yang mereka gunakan,” tutupnya. (ted)
Sentimen: positif (92.8%)