Sentimen
Informasi Tambahan
Institusi: UGM
Kab/Kota: Yogyakarta
Kasus: stunting
Tokoh Terkait
Manuskrip Kuno Jadi Jalan Perempuan Ini Mengawal Budaya Jawa
Harianjogja.com Jenis Media: News
Harianjogja.com, JOGJA - Tumbuh dengan bacaan karya Ki Hadjar Dewantara membuat Sri Ratna Saktimulya semakin mengerti akar budaya Jawa. Puluhan tahun berselang, manuskrip kuno Jawa menjadi teman setianya.
Ki Hadjar Dewantara meninggal dunia pada 1959. Setahun kemudian, Sri Ratna Saktimulya lahir. Memang tidak ada interaksi langsung antara sang tokoh dengan Sri Ratna.
Namun, mereka bisa tetap bisa berkenalan dan saling menyapa melalui buku. Semua berkat pekerjaan Ki Soeharto, ayah Ratna. Jabatan Kepala Museum Dewantara Kirti Griya Tamansiswa membuat anak-anak Ki Soeharto tidak jarang bermain di museum.
Kala itu, Ratna dengan senang hati membersihkan berbagai koleksi museum, termasuk buku-buku di Perpustakaan Ki Hadjar Dewantara. Perpustakaan ini berisi koleksi bacaan Bapak Pendidikan Nasional itu.
Banyak buku berbahasa Jawa yang memuat banyak hal, termasuk piwulang yang bagi Ratna sangat memperkaya hati. Perkenalan ini, serta pengaruh adat Jawa dari keluarga, lingkungan, dan sekolah membuat Ratna semakin yakin menekuni budaya Jawa, lebih khususnya Sastra Jawa.
“Saya mantap terjun di bidang sastra dan budaya Jawa karena sejak kecil sudah termotivasi pada bidang tersebut,” kata Ratna, Rabu (9/11/2022).
“Alhamdulillah puji Tuhan, saya diterima di Sastra Jawa FIB UGM, sehingga cita-cita saya terwujud.”
BACA JUGA: Jogja Ajak Pihak Swasta Tangani Stunting
Sepertinya pilihan ini sangat serius. Tak cukup hanya strata satu, Ratna menyelesaikan studi hingga jenjang doktoral di jurusan yang
sama.
Tidak hanya itu, dia juga mulai terlibat dalam penelitian naskah-naskah kuno sejak 1988. Semua bermula saat Ratna terlibat dalam
penyusunan buku katalog Museum Sonobudoyo Yogyakarta.
Seakan terus haus dengan naskah kuno, pada 1992 Ratna mulai meneliti manuskrip manuskrip koleksi Perpustakaan Widyapustaka Pura Pakualaman. Persinggungan inilah yang lantas melahirkan Katalog Naskah-Naskah Pura Pakualaman pada 2005.
Penelitian di Pura Pakualaman tersebut sekaligus menjadi materi untuk tesis yang setidaknya membutuhkan 18 manuskrip. “Sangat mengasyikkan [meneliti naskah-naskah ini]. Ketebalan manuskrip cukup beragam, ada yang 400-an, 750-an, bahkan ada pula yang di atas 1.000 halaman. Tentu saja untuk membaca manuskrip-manuskrip tersebut membutuhkan waktu bertahun-tahun. Namun, tidak terasa karena saya lakukan dengan penuh syukur dan senang hati,” kata dosen di Program Studi Sastra Jawa FIB UGM ini.
Penelitian untuk disertasi ini menghasilkan sebuah buku berjudul Naskah-Naskah Skriptorium Pakualaman Periode Paku Alam II:
1830-1858 yang diterbitkan oleh EFEO & Kepustakaan Populer Gramedia pada 2016.
Perlu Rasa
Agar pembelajaran sastra dan budaya Jawa tetap menarik, Ratna berupaya menunjukkan sumber-sumber bacaan dari berbagai genre dan beraneka topik pada mahasiswanya.
Dengan begitu, mahasiswa akan memiliki lebih banyak pilihan topik yang bisa semakin diperdalam. Dengan adanya ketertarikan,
bukan tidak mungkin para anak muda ini melanjutkan jejak Ratna mengenal sumber dari manuskrip-manuskrip kuno. Banyak manuskrip
kuno yang berisi data entah dalam babad, piwulang, sastra, seni, dan lainnya.
BACA JUGA: Jogja Jadi Tuan Rumah Kongres Kebudayaan Jawa 2022, Tiga Gubernur Bakal Hadir
Bagi dia, semua mengesankan karena saling melengkapi. “Jangan biarkan teronggok rapi di almari, sayang sekali, karena naskah-naskah
kuno ini memuat informasi yang masih relevan dengan masa kini dan mendatang,” kata perempuan 62 tahun yang juga Kepala Perpustakaan Widyapustaka Pura Pakualaman ini.
“Sungguh merupakan berkah Tuhan, hingga kini saya diberi kesempatan mengimplementasikan piwulang-piwulang para leluhur itu ke masyarakat luas dan terutama saya praktikkan untuk pendewasaan diri.”
Meski teknologi bisa mempermudah menerjemahkan sebuah naskah, tapi tidak bisa serta merta mengandalkannya. Selain hasil yang kadang kurang akurat, Ratna berpendapat apabila menerjemahkan perlu melibatkan rasa.
Pelibatan rasa ini yang mungkin membuatnya tidak merasa kesulitan dalam kerja-kerja meneliti manuskrip kuno. Asal punya keinginan, maka semua akan lancar. “Tentu saja dengan modal karep ini, kita menjadi mau menekuni, mencermati aksara-aksara dengan berbagai corak,” kata perempuan yang kini menjabat sebagai Plt. Kepala Pusat Studi Kebudayaan UGM ini.
“Jumlah penelitian [saya] dengan menggunakan manuskrip sudah tidak terhitung jumlahnya, mungkin lebih dari 200 manuskrip.”
BIODATA
Nama lengkap:
Dr. Sri Ratna Saktimulya
Usia:
62 tahun
Pekerjaan:
- Dosen Prodi Sastra Jawa FIB UGM
- Plt. Kepala Pusat Studi Kebudayaan UGM
- Kepala Perpustakaan Widyapustaka Pura Pakualaman
Pendidikan:
S1 sampai S3 Sastra Jawa di UGM
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sentimen: positif (100%)