KNPK Sebut Cukai Rokok Telah Naik 73,49 Persen Sejak Era Sri Mulyani: Membunuh Industri Hasil Tembakau
Fajar.co.id Jenis Media: Nasional
FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Komite Nasional Pelestarian Kretek (KNPK) menanggapi kenaikan Cukai Hasil Tembakau (CHT) sebesar 10 persen pada 2023 dan 2024.
Dalam akun resminya di Twitter dipaparkan, kematian industi hasil tembakau kelak akan banyak disumbang oleh pemerintah. Dengan peraturan yang mencekik dan cukai rokok yang terus naik.
“Bila di daerahmu nanti tidak lagi semarak panen tembakau dan cengkeh. Itu karena kebijakan pemerintah yang terus menaikkan tarif cukai. Naik terus, sampai rokok tak terbeli. Itu kan yang diinginkan?,” ucapnya.
Di balik itu semua kata dia ada sosok Menteri Keuangan Sri Mulyani yang dekat dengan Bloomberg, salah satu orang terkaya di dunia, yang ingin membasmi rokok kretek di Indonesia.
Tak heran walaupun isu kenaikan cukai diprotes petani dan buruh hingga turun ke jalan bahkan dengan membawa segepok tanda tangan penolakan, menurutnya Sri Mulyani tidak ambil pusing.
Bahkan kata dia, dari pelosok desa sentra pertembakauan, mereka rela datang ke Jakarta utk mengadu terkait dampak kenaikan cukai, tidak dipedulikan.
Menurutnya, Bendahara Negara ini lebih mengedepankan kerjasama dan pertemanannya dengan orang terkaya Paman Sam, lebih mendengar rezim kesehatan dan antirokok.
Sri Mulyani sudah menaikkan 73,49% sejak menjabat.
Kenaikan cukai saat ini satu indikator yang paling efektif dan jitu mematikan sektor pertembakauan di Indonesia. Selama pabrik rokok resmi ingin menjalankan usahanya maka harus patuh pada peraturan yang ada.
Kenaikan bisa dibungkus dalam frame menaikkan pendapatan penerimaan APBN atau mengurangi prevelensi perokok anak atau macam-macam.
“Yang pasti targetnya adalah membunuh industri hasil tembakau. Stakeholder pertembakauan dan perokok adalah orang minoritas yang selalu tertindas oleh kebijakan dan kepentingan asing,” tuturnya.
Lebih jauh disebut, perokok terpaksa menerima kenyataan harus berpikir kembali saat mau merokok. Rokok apa yang cocok sesuai kantong dan pendapatannya dan diperkirakan tidak akan memaksakan merokok sesuai selera awal dengan harga tinggi akibat naiknya cukai.
Perokok akan banyak memilih rokok harga murah dan terjangkau, sekalipun ilegal. Bisa jadi memilih melinting sendiri yang penting bisa merokok.
Bagi perokok, aktivitas merokok itu relaksasi dan rekreasi paling murah dibanding dengan aktivitas lain. Bahkan ada juga yang merokok sudah menjadi budaya meningkatkan kreatifitas.
Jika yang terjadi demikian, rokok ilegal marak di pasaran. Pabrikan rokok pelan dan pasti akan merugi. Saat pabrikan merugi efek domino dampaknya meluas sampai petani dan buruh.
Tak berhenti disitu, sektor yang bersinggungan langsung dengan keberadaan pabrikan rokok pasti omsetnya menurun.
Keterserapan tembakau dan cengkeh petani berkurang, PHK buruh bisa terjadi sepihak. Menurutnya Ini bukan salah pabrikan, pemerintahlah yang salah dengan kebijakannya.
“Jadi yang bertanggung jawab sepenuhnya adalah pemerintah. Sri Mulyani eksekutornya,” ungkapnya.
Dalam rumus matematika, tidak ada usaha yang mau terus merugi. Ternyata pemerintah pun tidak mau merugi, apalagi pengusaha.
Pilihan terakhir kebijakan pabrikan rokok pasti perampingan pengeluaran anggaran bahkan bisa jadi mending ditutup sekalian.
“Mereka minimal masih punya modal dan bekal untuk usaha lain yang lebih menjanjikan. Beda bagi petani tembakau, cengkeh dan buruh rokok. Hasil pertaniannya mau dijual kemana, walaupun terjual apakah harganya sebagus pembelian pabrikan rokok. Buruh pun demikian, akan bekerja di mana, walaupun dapat kerja apakah gajinya senilai gaji yang biasa diterima saat di pabrikan rokok. Dengan kemampuan skill yang dimiliki dan umur, siapa yang mau menerimanya kerja. Sedangkan saat ini cari pekerjaan sangat sulit,” jelasnya.
“Kalaupun mau usaha, usaha apa? dengan tanpa modal atau modal minim. Dan lagi, apa dikira mudah berwirausaha? Akan tetapi nasi sudah terlanjur menjadi bubur. Pemerintah terlebih Menteri Keuangan Sri Mulyani tetap menaikkan tarif cukai. Lagi. Dan naik lagi,” tambahnya.
Lebih jauh disebut, dalam hal kenaikan cukai, pemerintah tidak memperdulikan nasib perokok, petani dan buruh rokok
Pemerintah melalui Kementerian Keuangan Sri Mulyani lebih mengedepankan keuntungan pendapatan semata.
“Rakyat yang menerima pendapatan dari Industri Hasil Tembakau tidak dihitung sebagai pendapatan? Ke depan Pemerintah harus bertanggung jawab sepenuhnya atas nasib sektor pertembakauan dampak dari kebijakannya. Rezim kesehatan dan antirokok jangan asal usul kalau tak punya solusi, jangan asal usil dengan saudara sendiri,” ucapnya.
“Kenaikan cukai adalah bentuk ketidakadilan kebijakan pemerintah terhadap stakeholder pertembakauan di Indonesia. Jangan salahkan jika terjadi ketidakpercayaan masyarakat pertembakauan terhadap pemerintah. Jika tertindas terus menerus, bisa jadi ada gerakan masif entah apa bentuknya yang bisa melemahkan eksistensi pemerintah,” pungkasnya. (selfi/fajar)
Sentimen: positif (66.7%)