Sentimen
Informasi Tambahan
Agama: Islam
Kasus: PDP, kekerasan seksual
IPC Nilai Dua RUU Masih Alot dalam Pembahasan di DPR
Gatra.com Jenis Media: Nasional
Jakarta, Gatra.com - Direktur Indonesian Parliamentary Center (IPC), Ahmad Hanafi mengatakan, ada RUU yang seharusnya menjadi prioritas tetapi tidak didahulukan. Bahkan, dalam pembahasannya pun cenderung alot.
Setidaknya ada dua RUU prioritas yang mengalami kendala dalam proses pembahasan, di antaranya Perlindungan Data Pribadi (PDP) dan Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Kedua RUU itu telah disahkan menjadi UU setelah melalui proses yang panjang.
Untuk PDP, yang menjadi kendala adalah alotnya kompromi kepentingan antara pemerintah dan DPR dalam menentukan kelembagaan PDP.
Baca Juga: DPR Sahkan RUU Perlindungan Data Pribadi menjadi Undang-Undang
Hanafi mengatakan, DPR telah bersepakat bahwa kelembagaan PDP bersifat independen karena objek sengket PDP selain badan swasta, juga badan publik pemerintah.
"Independensi bertujuan untuk memperkecil konflik kepentingan kelembagaan. Sementara itu, pemerintah menghendaki kelembagaan PDP ada di bawah kendali Presiden secara langsung sebagai kepala eksekutif," kata Hanafi, Senin (4/11).
Sementara kendala RUU TPKS, yakni adanya keterlambatan karena perbedaan pandangan dalam definisi kekerasan seksual. Partai-partai Islam mempersepsikan bahwa kekerasan seksual pada saat pacaran atau antara sesama jenis dianggap sebagai bentuk legalisasi hal yang bertentangan dengan ajaran Islam.
Baca Juga: DPR Mengaku Hati-hati dan Transparan Bahas RUU Cipta Kerja
RUU yang juga belum mendapat penanganan cepat adalah RUU Energi Baru dan Terbarukan. Dalam pandangan Hanafi, RUU ini seharusnya diprioritaskan karena dengan rancangan kebijakan ini berkontribusi besar terhadap perbaikan lingkungan, penciptaan lapangan kerja baru dan mendukung langsung agenda SDGs.
"Namun, RUU ini sulit untuk segera disahkan karena kuatnya tarik menarik kepentingan dalam pembahasannya sehingga sulit tercapai kata sepakat di antara Anggota DPR sendiri maupun dengan pemerintah," kata Hanafi.
Sepanjang tahun sidang 2021-2022, DPR telah menyelesaikan 32 RUU. Terhitung ada dua UU baru, yakni UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), dan UU Praktik Psikologi.
Selain itu ada tujuh revisi RUU dan sisanya adalah RUU kumulatif terbuka. Kumulatif terbuka adalah RUU tertentu yang dapat diajukan oleh pemerintah, DPR, atau DPD berdasarkan kebutuhan. Dalam hal ini, kumulatif terbuka berasal dari mandat putusan Mahkamah Konstitusi, pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB), dan pembentukan Pengadilan Tinggi.
Baca Juga: MPI: 2 RUU Masih Menunggu Ditetapkan RUU Inisiatif oleh DPR RI
Hanafi mengatakan, meski jumlahnya banyak dan hampir mencapai target, yakni 32 dari 33 RUU Prolegnas Prioritas 2021, akan tetapi sebagian besar adalah RUU kumulatif. Pembahasan RUU DOB dan RUU Pembentukan Pengadilan relatif mudah dilaksanakan karena materi muatannya hampir sama.
Pembentukan DOB, kata Hanafi, didominasi oleh kepentingan politik elit lokal. Tidak semuanya menjangkau langsung kebutuhan dan hak masyarakat.
"Sebagian dapat dimaknai sebagai bentuk kompensasi dan bentuk upaya 'penambahan' daerah pemilihan baru dalam Pemilu 2024 yang menjadi kepentingan partai politik," kata Hanafi.
Secara umum, Hanafi menjelaskan bahwa dalam konstitusi, posisi pemerintah dan DPR setara dalam persetujuan satu pasal undang-undang. Sebagai konsekuensi, kealotan dalam pembahasan sangat mungkin terjadi meskipun koalisi partai pemerintah di DPR sangat dominan.
Sentimen: positif (99.9%)