Sentimen
Informasi Tambahan
Grup Musik: Naif
Institusi: Universitas Paramadina
Kasus: covid-19
Pajak Rakyat Terkuras Untuk Bayar Utang
Vivanews.com Jenis Media: Nasional
Sabtu, 5 November 2022 - 00:00 WIB
VIVA Bisnis – International Monetary Fund (IMF) membuat pernyataan bahwa biaya pinjaman pemerintah Indonesia atau sovereign borrowing cost kini terlalu tinggi. Menurut Pendiri sekaligus Ekonom Institute For Development of Economics and Finance (Indef), Didik J Rachbini, IMF kesiangan alias terlambat melihat masalah ini. Tetapi, lanjut Didik, itu tidak salah karena semakin banyak pihak yang memberikan saran, semakin baik bagi demokrasi.
Yang patut disoroti menurutnya adalah parlemen dan pemerintah sekarang tergolong keras kepala dan bebal karena tidak melihat dengan benar dan saksama terhadap suara-suara kebenaran. Kebebalan publik menutupi saran-saran kebenaran, yang seharusnya diadopsi dalam pengambilan keputusan.
"Rakyat banyak berkorban atas kecerobohan kebijakan seperti ini. Pajak rakyat terkuras untuk membayar utang kategori kaleng-kaleng berbunga tinggi," kata Didik dalam keterangan tertulis, Jumat 4 November 2022.
Ia melanjutkan, pihaknya tidak menutup kemungkinan melihat pandangan sebagian pengambil keputusan yang naif terhadap kebijakan utang publik, yang terus digenjot tanpa perhitungan teknokratis.
"Itu terjadi karena watak politik rakus anggaran memang merupakan watak dasar dari politisi. Tanpa kontrol dan kritik, kebijakan utang yang besar dengan bunga yang terlalu tinggi ditelan mentah-mentah begitu saja. Kualitas kebijakan fiskal seperti ini naif dan setara dengan negara terbelakang Bangladesh, seperti dikemukakan IMF," kata Didik.
Didik Rachbini (foto/Nur Terbit/Univ Paramadina)Rektor Universitas Paramadina itu mengatakan, IMF dalam hal ini benar menganggap level biaya pinjaman pemerintah Indonesia atau sovereign borrowing costs saat ini terlalu tinggi.
"Saya mengatakan tidak pakai nalar yang memadai, IMF mengatakan bahwa kondisi level bunga pun tidak relevan dengan upaya pengelolaan fiskal pemerintah yang semestinya semakin baik dari waktu ke waktu," paparnya.
Ia melanjutkan kebijakan fiskal utang publik ini dinilai IMF rendah kualitasnya. Hal itu Berdasarkan data Regional Economic Outlook Asia and Pacific IMF edisi Oktober 2022, di mana Indonesia masuk 3 besar dengan sovereign borrowing costs terbesar bersama Bangladesh dan India.
"Besarannya untuk local currency yield sekitar 8 persen untuk tenor 10 tahun. Jawaban atas pertanyaan itu tidak lain adalah faktor politik, yang prosesnya tidak berkualitas. Pemerintah yang oligarkis dalam mengambil keputusan pada elite terbatas kemaruk dengan watak maximizing budget untuk kepentingan politiknya," tuturnya.
Didik melanjutkan, kontrol check and balance mati karena tidak ada oposisi yang signifikan. Selain itu, lanjut dia, kualitas partai tidak memadai sehingga jor-joran anggaran berjalan mulus dengan risiko beban utang tinggal pada pemerintahan selanjutnya.
"Sebagai contoh, pada tahun 2020 utang publik diputuskan sekitar Rp 640 triliun, kebijakan yang tidak memadai untuk mengendalikan utang secara baik. Tetapi ketika terjadi serangan COVID-19, maka tanpa basa-basi utang diputuskan sepihak oleh pemerintah naik menjadi 1200 triliun rupiah. Realisasinya lebih gila lagi, yakni 1.520 triliun rupiah," katanya.
Untuk meloloskan kebijakan naif ini, lanjut Prof Didik, wewenang DPR dilucuti sehingga APBN hanya diputuskan oleh pemerintah.
"Jadi kebijakan fiskal ala regim ini adalah kebijakan fiskal yang ugal-ugalan dengan kualitas setara negara terbelakang Bangladesh," katanya.
Dia melanjutkan, IMF terlambat melihat ini karena sudah lama masalah ini menjadi sasaran kritik ekonom-ekonomi nasional.
"Tetapi tidak bergeming karena akal sehat pengambil keputusan, parlemen dan pemrintah, tertutup watak dasar budget maximizer tanpa kalkulasi yang memadai," ujarnya.
Sentimen: negatif (99.8%)