'Kiamat Baru' Warga Suriah yang Lelah Dilanda Perang
Akurat.co Jenis Media: News
AKURAT.CO 'Kiamat baru' harus dialami oleh warga Suriah yang sudah lelah dengan perang. Setelah menyaksikan konflik selama lebih dari 11 tahun, dengan kehancuran dan kelaparan, wabah kolera justru merajalela.
Penyakit yang yang disebabkan oleh makanan dan air yang terkontaminasi ini telah menyebar ke beberapa bagian negara itu dalam beberapa bulan terakhir. Pada akhirnya, seperti perang, kolera merenggut nyawa.
Penyakit itu, yang sebagian besar telah diberangus di negara-negara maju, menyebabkan diare dan muntah, dehidrasi cepat, dan mampu membunuh korbannya hanya dalam hitungan jam jika tidak ada pengobatan segera.
baca juga:Jumlah kasus di Suriah terus melonjak sejak musim panas.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah mencatat hingga 24.614 kasus infeksi dan 81 kematian, terhitung antara bulan Agustus hingga akhir Oktober tahun ini. Deir Ezzor, Raqqa, Aleppo dan Hasakah menjadi wilayah yang menyaksikan konsentrasi tertinggi, dengan kamp-kamp untuk pengungsi internal juga telah melaporkan setidaknya 65 kasus.
Beberapa bagian dari Suriah, terutama kegubernuran yang berjauhan, telah menghadapi krisis air sejak sebagian besar infrastruktur air dan saluran pembuangan hancur akibat perang saudara yang meletus pada tahun 2011.
Seorang anak yang menderita kolera menerima perawatan di rumah sakit Al-Kasrah di provinsi timur Suriah, Deir Ezzor-AFPWHO percaya wabah saat ini kemungkinan disebabkan oleh konsumsi air yang tercemar dari Sungai Efrat. Kekeringan, pemompaan air tanah yang berlebihan, dan bendungan-bendungan baru yang dibangun di hulu di Turki telah membuat aliran sungai berubah. Efrat, yang dulunya menjadi sungai besar kini hanya seperti parit, dengan hanya tetesan-tetesan air.
Sementara ketinggian air yang turun telah menciptakan rawa-rawa dan genangan air di sepanjang tepi Efrat. Masalahnya, di sini juga menjadi tempat limbah mentah dan kontaminan lainnya terkumpul dan membusuk. Ini jelas adalah kondisi ideal untuk berkembangnya penyakit yang ditularkan melalui air dan nyamuk.
Di wilayah itu, kasus kolera pertama dicatat pada September, kata Jwan Mustafa, ketua bersama Dewan Kesehatan Administrasi Otonomi Suriah Utara dan Timur (AANES). Mustafa menjelaskan kasus kemudian menyebar dari Deir Ezzor ke Raqqa, setelahnya ke Hasakah menuju lebih jauh ke utara.
"Statistik terbaru kami berdasarkan pengujian cepat mengonfirmasi 15 ribu kasus dan 30 kematian," ungkap Mustafa kepada Arab News.
"Pencemaran di Sungai Efrat telah menjadi penyebab utama banyak virus dan penyakit sebelumnya. Dan sekarang kolera.
"Masyarakat di daerah itu mengandalkan sungai untuk minum, menyirami tanaman, dan untuk pertanian. Daerah di tepi sungai dianggap sebagai lumbung makanan di timur laut Suriah. Ketika Hasakah menghadapi kekeringan, ia bergantung pada air Efrat, yang berarti bencana bagi kegubernuran.
"Kami sudah mulai mengambil langkah-langkah untuk mencoba menahan penyebaran penyakit ini. Kelompok-kelompok telah ditugaskan untuk menambahkan klorin ke tangki air dalam upaya untuk memurnikan air," tambahnya.
Kolera, penyakit yang bisa dicegah tapi sangat sulit dilakukan di Suriah yang hancur karena perang dan masalah lain, seperti pandemi Covid-19 hingga dampak perang Ukraina-WHO/CDC/Arab NewsPihak berwenang telah berusaha mendorong masyarakat yang berada di pusat atau hotspotnya wabah kolera untuk terlebih dahulu merebus air sebelum minum, memasak, atau menyirami tanaman. Warga juga diimbau untuk merawat tangki air, pipa, dan bejana lain dengan klorin, dan untuk secara teratur mencuci tangan dan membersihkan permukaan.
Namun, semua itu masih sulit diterapkan. Suriah memiliki infrastruktur-infrastruktur yang telah hancur, dengan para pekerja terampilnya memilih kabur ke luar negeri, dan negara telah kekurangan bahan kimia dan peralatan dasar. Tindakan pencegahan sederhana semacam itu benar-benar susah.
"Kerusakan infrastruktur sangat berdampak pada sektor kesehatan. Kami harus berjuang untuk menahan penyakit karena kami kekurangan sumber daya dan keahlian. Sebuah virus sederhana dapat dengan mudah menjadi epidemi di wilayah tersebut. Kami kekurangan laboratorium dan obat-obatan," kata Mustafa.
Infrastruktur kesehatan Suriah telah menderita di bawah campuran embargo bantuan, sanksi, dan kerusakan perang yang menghancurkan. Sepanjang perang saudara, rezim Bashar Assad telah secara sistematis menghancurkan rumah sakit di daerah-daerah yang dikuasai pemberontak, yang mana ini bertentangan dengan hukum humaniter internasional.
Menambah pelik, pengiriman bantuan asing ke daerah-daerah di luar kendali rezim Assad sengaja diblokir atau dialihkan.
Pada Juni 2021, Rusia yang jadi sekutu Assad, mengambil langkah mengejutkan. Saat itu, Kremlin memveto resolusi Dewan Keamanan PBB, yang memungkinkan Suriah timur untuk terus menerima dukungan lintas perbatasan melalui Irak. Sejak itulah, semua bantuan PBB ke kawasan itu harus terlebih dahulu melewati Damaskus.
Hal ini mengakibatkan kekurangan pasokan medis yang parah, koordinasi yang buruk antara otoritas kesehatan, dan kapasitas pengujian yang terbatas di Suriah timur.
Warga Suriah di Deir Ezzor terpaksa menggunakan bagian Sungai Efrat yang terkontaminasi untuk air minum dan irigasi-AFPBagi masyarakat Raqqa, wabah kolera hanyalah yang terbaru dari serangkaian krisis yang terpaksa mereka hadapi sendirian.
"Rezim Suriah tidak membantu. Orang-orang sudah merasa lesu dan tertekan dari perjuangan sehari-hari yang diakibatkan oleh perang," kata Ahmad, seorang aktivis komunitas di Raqqa yang menolak menyebutkan nama lengkapnya.
"Kami tahu kami dalam masalah, tetapi kami juga tahu bantuan tidak akan datang dari rezim Suriah. Kami tahu bantuan tidak akan datang secara lokal atau internasional. Orang tidak peduli lagi. Kolera tidak mengganggu kita. Kami telah sekarat karena perang, senjata kimia, dan pandemi Covid-19. Kita sering merenungkan bagaimana hidup kita telah menjadi buku Gabriel Garcia Marquez: Love in The Time of Cholera," tambahnya.
Menanggapi wabah kolera, Doctors Without Borders berupaya bekerja sama dengan para pejabat kesehatan di Raqqa. Mereka pun telah mendirikan pusat pengobatan lokal dan dua klinik rawat jalan di AANES.
Seorang wanita yang terinfeksi kolera menerima perawatan di rumah sakit Al-Kasrah di provinsi timur Suriah, Deir Ezzor- AFPNamun, menjaga kebersihan makanan dan akses ke air minum bersih menjadi semakin sulit bagi sebagian besar warga Suriah. Ini terjadi terutama sejak dimulainya krisis ekonomi dan jatuhnya mata uang tahun 2019, yang kemudian diperparah oleh pandemi Covid-19 pada tahun 2020. Memperburuk situasi, harga makanan dan bahan bakar melonjak bakar sejak pecahnya perang di Ukraina awal tahun ini.
Menurut Program Pangan Dunia, harga rata-rata bahan makanan di Suriah moreket hingga 532 persen sejak tahun 2020. Imbasnya, sekitar 12 juta orang yang masih tinggal di Suriah kini dianggap rawan pangan.
"Barang-barang menjadi tidak bisa dijangkau. Pembicaraan di jalan-jalan adalah bahwa kematian adalah pelarian terbaik. Dan itu akan datang, jika bukan dari kolera atau Covid-19, maka dari kelaparan," ucap Ahmad.
Kondisi di negara tetangga Lebanon juga tidak jauh lebih baik. Padahal di negara itu, jutaan warga Suriah mencari perlindungan di kamp-kamp yang penuh sesak sejak pecahnya perang saudara.
Lebanon sudah bergulat dengan krisis ekonominya sendiri, yang mana ini belum pernah terjadi sebelumnya. Krisis ini telah membuat 80 persen warganya jatuh miskin dan membuat infrastrukturnya compang-camping. Lebanon juga telah mencatat kasus kolera.
Firass Abiad, menteri kesehatan Lebanon, mengonfirmasi pada Selasa (1/11) bahwa negara itu telah mencatat 17 kematian akibat kolera dan 93 rawat inap di seluruh negeri. Kasus ini termasuk di ibukota Beirut.
Pemerintah di sana telah berusaha untuk mengamankan 600 ribu dosis vaksin untuk yang paling rentan, seperti para tahanan, pekerja garis depan dan pengungsi yang tinggal di kamp-kamp yang sempit dan seringnya kumuh.
Dan itu adalah pertanda buruk bagi sebagian besar warga Suriah dan Lebanon, yang harus menanggung sendiri tagihan medis mereka di tengah kenaikan harga dan infrastruktur kesehatan yang hancur.
"Saya bahkan tidak tahu harus mulai dari mana. Jika saya terinfeksi, saya tidak tahu apakah saya mampu atau bahkan menyiapkan tempat tidur rumah sakit untuk saya sendiri. Hidup menjadi sangat sulit. Tapi, pada akhirnya, itu hanyalah cara lain untuk mati," ujar Lina, seorang warga Lebanon yang tinggal di Akkar, daerah miskin di Lebanon utara. []
Sentimen: negatif (100%)