Sentimen
Negatif (100%)
3 Nov 2022 : 05.45
Informasi Tambahan

Kasus: kekerasan seksual

Restorative Justice KDRT dan Luka yang Sulit Hilang

Kompas.com Kompas.com Jenis Media: Nasional

3 Nov 2022 : 05.45
Restorative Justice KDRT dan Luka yang Sulit Hilang

BENTUK ketidakpuasan publik atas keputusan jalan damai-restorative justice, kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) terhadap Lesti Kejora yang dilakukan suaminya, Rizky Billar, terus bergulir.

Media sosial menjadi ruang protes yang dominan. Bentuk penolakannya hingga pemboikotan di media.

Bahkan sampai ada tayangan FTV di salah satu stasiun televisi, seperti reka ulang kejadian KDRT Lesty, berikut nama tokohnya yang nyaris serupa.

Mengapa publik mengganggap restorative justice sebagai “jalan salah” yang ditempuh Lesty? Apakah restorative justice sesuatu yang sangat asing bagi publik kita atau karena persoalan istilah belaka?

Polemik fenomena kasus KDRT Lesty Kejora dipahami publik sebagai kasus yang tidak lazim. Meskipun solusi “jalan damai” sebenarnya kerap ditempuh dalam banyak kasus perselisihan maupun kekerasan dalam relasi kasus toxic relationship.

Kasus itu paradoks dengan upaya pencegahan dan penghapusan kasus KDRT. Bahkan kasusnya mirip konten pranks artis atas institusi negara. Apalagi melibatkan lembaga kepolisian yang telah membuang waktu untuk memproses pengaduan.

Kasus KDRT sebenarnya memang kompleks, terutama karena latar belakang kasus dan sosio-kultural pelakunya juga beragam. Bisa saja karena musabab institusi sosial, ekonomi, politik, dan budaya, bukan sekadar urusan private dan domestik rumah tangga.

Keputusan menuai polemik

Keputusan Lesty memang bersifat personal, urusan private-domestiknya. Namun dalam konteks kasus KDRT, di mana perempuan sering menjadi korbannya, sikap mengalah, toleransi atas tindak kekerasan, dapat menjadi preseden dalam penegakan hukum kasus KDRT.

Keputusan Lesty harus mengalah dalam kasus ini memang dilematis. Padahal dari sisi hukum secara tegas diatur dalam UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.

Apa yang menjadi konteks pengertian kekerasan dalam rumah tangga, adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam dalam lingkup rumah tangga.

Sedangkan dari sisi syariah, runtuhnya harmonisasi keluarga ketika mengalami masalah harus diselesaikan dalam beberapa fase. Mulai dari pembicaraan keluarga, hingga mediasi pihak ketiga.

Intinya bahwa pendekatan penyelesaian masalah tetaplah pada koridor mengembalikan pada ikatan semula. Karena “Perbuatan halal yang sangat dibenci Allah adalah thalaq atau cerai”(HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah)

Konsekuensi dari perceraian bukan saja memutus hubungan pernikahan suami istri, melainkan berisiko besar menyebabkan konflik dan renggangnya hubungan antar dua keluarga, dari pihak suami dan pihak istri. Barangkali itu yang mendasari banyak keputusan berdamai dalam kasus KDRT.

Anggapan yang keliru dari sisi ajaran agama, juga dapat menjadi pemicu KDRT. Asumsi laki-laki adalah “pemimpin” dalam rumah tangga dan memiliki kuasa lebih besar atas keluarganya.

Pelaku merasa ada toleransi agama ketika melakukan KDRT, sehingga tidak dikategorikan tindak kekerasan, hanya sebagai bentuk “teguran atau pendidikan” bagi istrinya.

Prank dan restorative justice

Terlepas dari perdebatan antara sisi syariah, pranks dan konsolidasi para pihak yang bertikai dan berdamai, kasus KDRT dengan solusi menggunakan restorative Justice masih banyak menimbulkan perdebatan.

Mengapa dan bagaimana restorative justice menjadi rujukan penyelesaian kasus?

Ketika polisi menerima keputusan Lesty dan kuasa hukumnya untuk berdamai dan menghentikan kasus, padahal Billar sudah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan, polisi mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).

Padahal dalam aturan UU yang berlaku, penghapusan KDRT dimaksudkan sebagai bentuk keadilan bagi para perempuan, agar KDRT yang dialaminya tidak berulang.

Hanya saja pemahaman yang kurang dan faktor sosial, budaya, agama sering membuat para korban memilih untuk mengalah atau berdamai.

Rumusan Keadilan Restoratif adalah penyelesaian tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku, keluarga korban, tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, atau pemangku kepentingan untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil melalui perdamaian dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula.

Dalam kasus Lesty-Billar, argumentasi atau dalih penyelesaian menggunakan Keadilan Restoratif, merupakan alternatif langkah Polri dalam mewujudkan penyelesaian tindak pidana dengan mengedepankan Keadilan Restoratif.

Pilihan yang menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan keseimbangan perlindungan serta kepentingan korban dan pelaku tindak pidana yang tidak berorientasi pada pemidanaan sebagai bentuk hukum dalam masyarakat.

Mirip dengan pertimbangan dari sisi syariah yang mendorong pada upaya pemulihan sebagai jalan terbaiknya, jika tidak membahayakan dari sisi keamanan bagi korban KDRT.

Ketika korban berubah pikiran karena pertimbangan-pertimbangan seperti nama baik, keluarga, anak, apalagi atas dasar “cinta buta-bucin”, akan disalahpahami awam sebagai bentuk pranks atau sekedar main-main saja.

KDRT bukan delik aduan

Pemicu KDRT, terutama karena faktor budaya patriarki—di mana laki-laki menjadi superior dan perempuan inferior.

Begitu juga pemahaman keliru tentang ajaran agama, atau faktor psikologis anak laki-laki yang meniru perilaku ayahnya ketika melakukan kekerasan yang sering disebut sebagai “kejahatan turun-temurun”. Edukasi menjadi solusi meminimalisir kasus agar tidak berulang.

Dari sisi hukum, KDRT bukan delik aduan. KDRT digolongkan kedalam empat macam, yakni kekerasan fisik (kekerasan), psikis (munculnya ketakutan, hilangnya rasa percaya diri), seksual (pemaksaan hubungan seksual, termasuk untuk tujuan komersil), dan ekonomi (penelantaran kewajiban-nafkah fisik).

Semua bentuk kekerasan yang terjadi dalam lingkup rumah tangga bukan termasuk delik aduan, kecuali tiga jenis kekerasan saja yang disebut sebagai delik aduan, yaitu kekerasan fisik dan psikis yang menimbulkan penyakit, halangan menjalankan pekerjaan atau kegiatan sehari-hari serta kekerasan seksual.

Dengan demikian, kekerasan fisik dan psikis serta kekerasan ekonomi adalah delik umum yang tidak begitu saja dapat dicabut laporannya oleh korban, apalagi hanya dengan upaya perdamaian.

Dalam kasus Lesty harusnya ada pertimbangan dari penegak hukum tentang sense of victim, agar ada efek jera yang akan diterima oleh para pelaku KDRT.

Karena jalan damai sesungguhnya menjadi kerugian bagi si korban, dan menjadi preseden dalam upaya melawan KDRT dan memutus rantai kekerasan yang berulang. Pengaduan, minimal harus ditindaklanjuti dengan proses hukum.

Jika kemudian hari muncul kembali dalam intensitas yang lebih tinggi, apa kira-kira solusi yang akan dipilih Lesty? Apakah akan memaafkan dan damai kembali?

Atau menutup-nutupi kasusnya karena dapat menjadi preseden buruk bagi karirnya, karena publik sudah terlanjur kecewa, jika mengulang pengaduannya?

Apakah itu artinya konflik dalam sebuah rumah tangga itu bagian dari dinamika rumah tangga—termasuk di dalamnya KDRT?

Siklus kekerasan dapat saja terulang, dan banyak pasangan berada dalam situasi toxic relationship (hubungan yang buruk), karena tekanan agama, perkawinan, keberadaan anak-anak, keluarga besar dan faktor sosial-suara publik, seperti stigma buruk jika bercerai atau menyandang status single parents (janda).

Tapi sudahlah, keputusan jalan damai itu pilihan pribadi Lesty sebagai korban, minimal kita ambil pembelajarannya.

Bagaimanapun, penyelesaian melalui Keadilan Restoratif, harus mempertimbangkan penderitaan korban khususnya perempuan dan siklus KDRT yang sangat berpotensi berulang.

Karena ketika KDRT di restoratative Justice, lukanya tak akan mudah disembuhkan!

-. - "-", -. -

Sentimen: negatif (100%)