Sentimen
Informasi Tambahan
Grup Musik: APRIL
Tokoh Terkait
Bukan Asing, Orang RI Ternyata Ramai Bawa Dolar Kabur
CNBCindonesia.com Jenis Media: News
Jakarta, CNBC Indonesia - Fenomena 'strong dollar' atau penguatan dolar AS membuat eksportir dan pengusaha memilih menyimpan dananya dalam denominasi mata uang Negeri Paman Sam tersebut.
Alih-alih menyimpan di bank dalam negeri, pengusaha memilih bank di luar negeri. Hal ini dikarenakan kurang kompetitifnya bunga deposito valas di Indonesia.
Kalangan pengusaha pun mengakui hal ini, bahwa menyimpan dana hasil ekspor di Singapura lebih menjanjikan.
"Menyimpan USD di dalam negeri (deposito) bunga nya lebih kecil di banding menyimpan USD di Singapore (saat ini)," kata ketua umum (ketum) Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia Benny Soetrisno kepada CNBC Indonesia, Rabu (26/10/22).
Tak bisa dipungkiri banyak pendapatan ekspor Indonesia disimpan di bank-bank Singapura di tengah-tengah fenomena penguatan dolar AS. Semakin banyak dolar hasil ekspor disimpan di luar negeri, maka mengganggu stabilitas rupiah.
Hal ini dikarenakan bank di Negeri Jiran tersebut menawarkan lebih dari 3% setahun untuk dolar AS yang ditempatkan di deposito berjangka. Jauh lebih tinggi dibandingkan di dalam negeri yang hanya rata-rata 0,38%.
"Karena bunga untuk deposito USD di Singapore lebih tinggi dibanding bunga di dalam negeri," kata Benny.
Namun, Ia tidak mengetahui persis berapa banyak yang melakukan langkah menyimpan uangnya di negara lain. Apalagi ada aturan bagi eksportir untuk menyimpan dananya di dalam negeri.
"Saya tidak tahu semua, namun kalau dibiayai oleh lembaga keuangan dalam negeri serta adanya Kewajiban Pelaporan Devisa hasil eksport oleh BI, maka dolar hasil ekspor tersimpan di dalam negeri," sebut Benny.
Sebelumnya, Kepala Ekonom Bahana Sekuritas Satria Sambijantoro telah melihat fenomena banyaknya pendapatan ekspor Indonesia disimpan di bank-bank Singapura di tengah-tengah fenomena surplus bertubi-tubi.
Kondisi tersebut semakin menegaskan bahwa windfall profit atau durian runtuh dari tingginya harga komoditas global yang selama ini diterima Indonesia dan tercermin dari surplus neraca perdagangan selama 29 bulan beruntun ternyata menguap ke negeri orang.
Sebagai catatan, dikutip dari BPS, surplus neraca perdagangan Januari-September 2022 surplus sebesar US$ 39,87 miliar atau tumbuh sebesar 58,83%.
Lebih lanjut, Satria mengungkapkan sulitnya deposito dolar AS di dalam negeri untuk meningkat sebenarnya dipengaruhi oleh kondisi masing-masing perbankan dan kebijakan Bank Indonesia (BI).
Kepala Ekonom Bahana Sekuritas Satria Sambijantoro melihat langkah BI yang masih memborong surat utang kurang strategis.
Pasalnya, meski BI menaikkan suku bunga, keputusan untuk mempertahankan pembelian obligasi di pasar primer dan sekunder justru menyebabkan berlebihnya likuditas.
Tidak hanya dalam rangka pemenuhan SKB III, BI melakukan 'operation twist' untuk membantu menopang rupiah.
Cara kerja operation twist adalah dengan menjual SBN tenor pendek dan membeli di tenor panjang. Dengan operasi ini, BI akan mendorong daya tarik SBN tenor panjang dengan harapan investor kembali masuk dan nilai tukar lebih stabil.
"Kelebihan rasio likuiditas ini salah satunya terlihat dari rendahnya loan-to-deposit ratio, dan pada akhirnya mengurangi insentif diantara perbankan untuk mengikuti BI dan menaikkan suku bunga," ungkap Satria kepada CNBC Indonesia.
"Jika suku bunga deposito rupiah belum naik, maka instrumen lain termasuk deposito dolar juga tidak akan naik. Pada akhirnya perbedaan suku bunga Indonesia dengan luar negeri tetap lebar," ujarnya.
Pemerintah dan BI telah berupaya untuk memberlakukan kembali sanksi untuk eksportir yang tidak menyimpan devisa hasil ekspor (DHE) di dalam negeri.
Sebelumnya, aturan wajib parkir devisa di dalam negeri ini direlaksasi oleh BI sepanjang pandemi. Pertengahan Juli lalu, BI bahkan memperpanjang batas waktu pengajuan pembebasan Sanksi Penangguhan Ekspor (SPE) hingga akhir Desember 2022.
Dengan pencabutan relaksasi ini, maka cadangan devisa (cadev) Indonesia dapat kembali kuat.
"Sanksi terhadap DHE SDA (Sumber Daya Alam) atau non SDA sudah berlaku kembali di tahun 2022," ungkap Deputi Gubernur Juda Agung.
Menurut Juda, bagi eksportir nonSDA yang melanggar, sanksi yang diberikan adalah penangguhan ekspor. "Keduanya kami sampaikan ke Ditjen Bea Cukai untuk di-enforce dan sudah berlaku," sambungnya.
Juda menuturkan sudah ada beberapa eksportir yang dikenakan sanksi. Penyebabnya antara lain belum membuka rekening khusus, DHE belum diterima dan DHE lebih kecil dari yang seharusnya.
Eksekutif Direktur Segara Institut Piter Abdullah mengatakan eksportir dan pengusaha sangat memahami kondisi global yang membuat mereka untuk menyimpan dolar dan tidak mengkonversinya ke rupiah.
"Ketentuan DHE yang dikeluarkan BI tidak memaksa mereka menukar dolar ke rupiah. (Ketentuan) Hanya mewajibkan untuk masuk ke Indonesia walaupun hanya sesaat," ungkap Piter.
Alhasil, ketentuan ini tidak berdampak besar terhadap pasokan dolar.
"Selama tidakk ditukarkan ke rupiah maka supply dolar tidak berubah. Mereka masuk ke indonesia hanya sesaat sekedar memenuhi kewajiban saja. Setelah itu keluar lagi," tegas Piter.
Sebagai catatan, rupiah tertahan di dekat level Rp 15.600/US$ dalam beberapa hari terakhir. Level tersebut merupakan yang terlemah sejak April 2020 lalu. Sepanjang tahun ini pelemahan rupiah melawan dolar Amerika Serikat (AS) tercatat lebih dari 9%.
Salah satu isu yang membuat rupiah sulit menguat adalah keringnya pasokan valuta asing di dalam negeri. Keringnya pasokan valas terlihat dari cadangan devisa Indonesia yang terus menurun.
[-]
-
Lagi, Euro Kalah Dari Dolar AS(haa/haa)
Sentimen: negatif (93.9%)