Sentimen
Informasi Tambahan
Event: Hari Sumpah Pemuda
Kab/Kota: Surabaya, Wijaya Kusuma
Pemuda dan Nasionalisme Organik
Jawapos.com Jenis Media: Nasional
TANGGAL 28 Oktober 1928 merupakan salah satu embrio paling penting dalam sejarah lahirnya Indonesia. Bermula dari pertemuan dan pendirian perhimpunan pelajar-pelajar Indonesia, dari berbagai latar belakang: etnis, agama, suku, dan sebagainya. Perhimpunan pemuda ini yang menginisiasi Kongres Pemuda II, yang melahirkan Sumpah Pemuda. Satu Tanah Air, Satu Bangsa, dan Satu Bahasa, Indonesia. Kongres ini makin mengukuhkan peran penting pemuda dalam perjalanan pergerakan Indonesia. Sebelumnya, pada 20 Mei 1908, telah lahir organisasi Budi Utomo yang juga diinisiasi oleh pemuda-pemuda cerdas dan memiliki rasa nasionalisme yang tinggi.
Tahun ini Sumpah Pemuda ini telah memasuki usia 94 tahun. Dan di Hari Sumpah Pemuda tahun ini, diharapkan semua anak bangsa, khususnya para pemuda-pemudi, melakukan refleksi dan revitalisasi semangat nasionalisme dan kebangkitan baru menuju bangsa yang lebih beradab dan mandiri. Jika diperlukan, perlu dideklarasikan Sumpah Pemuda ke-2 yang lebih kuat dan progresif. Karena tantangan berbangsa dan bernegara kian kompleks. Terutama oleh pengaruh-pengaruh dari luar. Semangat keindonesiaan, seperti terpatri dalam Sumpah Pemuda, menemukan konteksnya dalam hal ini.
Arus perubahan besar telah terjadi dan bergerak begitu cepat di seantero dunia. Dan ternyata perubahan besar tersebut bukan sekadar perubahan yang bergerak secara alamiah, namun by design. Ada ideologi dominan yang menggerakkan perubahan besar tersebut, yakni kapitalisme. Perubahan besar ini digambarkan secara detail oleh Karl Polanyi (2003) sebagai transformasi besar yang dikendalikan oleh ideologi dominan dunia, yakni kapitalisme. Ideologi itu yang coba disemburkan ke berbagai pelosok dunia untuk bisa diterapkan sebagai ideologi tunggal dalam praktik pembangunan.
Kita hidup di dalam dunia transformasi yang memengaruhi hampir setiap aspek kehidupan. Entah baik atau buruk, kita didorong masuk ke dalam tatanan global yang tidak dipahami sepenuhnya oleh siapa pun, tetapi dampaknya dapat dirasakan kita semua. Ini yang disebut oleh Giddens sebagai globalisasi (Giddens, 2001:1).
Kondisi tersebut seperti digambarkan oleh futurolog John Naisbitt dan Alvin Toffler sebagai gambaran dunia yang makin sempit. Sebagaimana dikemukakan ahli komunikasi Kanada McLuhan, dunia bagaikan suatu kampung besar (global village). Dan kehidupan kita tak dapat melepaskan diri dari kehidupan global. Batas-batas teritorial sebuah negara dipahami bukan sekadar batas geografis yang memisahkan sebuah negara dengan negara lain. Melainkan juga batas-batas budaya yang memisahkan sebuah komunitas budaya yang satu dengan yang lainnya.
Mengikuti integrasi sistem ekonomi nasional ke dalam sistem ekonomi global, dalam aspek budaya pun akan terjadi hal yang sama. Globalisasi menuntut pengintegrasian sistem budaya nasional ke dalam sistem budaya global yang liberalistis. Dalam pandangan kaum modernisme, globalisasi dan modernisasi akan melahirkan homogenisasi kultural (penyeragaman budaya).
Tantangan Pemuda Indonesia
Salah satu tantangan di hadapan mata para pemuda dan bangsa ini adalah globalisasi dan konsumerisme yang bergerak begitu cepat serta dampaknya yang begitu serius. Perlu diingat, globalisasi, kapitalisme, dan konsumerisme bukanlah agenda atau proyek global yang tanpa nilai dan kepentingan. Globalisasi, kapitalisme, dan konsumerisme adalah proyek global yang dirancang dan dijalankan secara matang, terstruktur, dan sistematis oleh negara-negara industri maju (kapitalis) untuk menata sistem kehidupan global ini menjadi seragam sesuai dengan nilai, ideologi, dan kepentingan mereka.
Konsekuensi dari rancangan global tersebut tentu saja akan berdampak pada hilangnya berbagai kearifan lokal dan keberagaman budaya lokal. Dan efek dominonya akan berdampak pada nasionalisme bangsa.
Homogenisasi budaya yang dirancang dan disemburkan melalui globalisasi, kapitalisme, dan konsumerisme kian merombak tata laku dan pola perilaku budaya masyarakat (lokal). Keseragaman juga telah menimbulkan kekacauan dan hilangnya identitas sosiokultural di tingkat masyarakat.
Identitas sosiokultural masyarakat makin tergerus seiring dengan kuat dan gencarnya penetrasi budaya global (Barat). Contoh yang paling sederhana dalam masalah perilaku dan budaya makan. Masyarakat kita sudah gandrung dengan pola makan instan ala Barat. Budaya serbainstan juga merembet pada aspek kehidupan yang lain di kalangan kaum muda-mudi. Gaya hidup, norma, nilai, adat dan kebiasaan, keyakinan agama, pola kehidupan keluarga, cara produksi, serta konsumsi masyarakat pribumi rusak akibat penetrasi dan homogenisasi kultur Barat (Sztompka, 2004:108).
Nasionalisme Organik
Globalisasi adalah sebuah keniscayaan. Namun, sebagai bangsa yang memiliki nilai dan ideologi Pancasila, para pemuda kita mesti berpikir dan bertindak kritis. Salah satu yang penting dalam merespons dampak globalisasi adalah bagaimana membangun imunitas nasionalisme kita di kalangan pemuda. Kita sekarang sedang menghadap ”perang asimetris” melalui teknologi informasi dan komunikasi. Kita sangat membutuhkan sikap nasionalisme genuine, bukan kepura-puraan yang sarat dengan pencitraan.
Membangun imunitas nasionalisme pemuda dengan cara menyuntikkan ”virus kekebalan” ke setiap tubuh pribadi-pribadi anak bangsa. Salah satunya adalah membudayakan sikap mencintai Indonesia seutuhnya. Contoh sederhana: ”cintailah produk-produk dalam negeri”. Semangat itu senapas dengan meneriakkan bertumpah darah satu, tanah air Indonesia.
Pada saat yang sama kita butuh masinis-masinis unggul. Bangsa ini membutuhkan pemuda-pemudi yang memiliki nasionalisme organik, yakni nasionalisme pemuda yang otentik, genuine yang lahir dari proses sejarah dan rahim rakyatnya, merasakan penderitaan ibu pertiwi. Para pemuda yang mampu merasakan emosi, semangat, dan apa yang dirasakan rakyat Indonesia; memihak kepada mereka serta mengungkapkan apa yang dialami dan kecenderungan-kecenderungan objektif masyarakat. Merekalah pemuda-pemuda yang mewarisi semangat berbangsa yang satu, bangsa Indonesia.
Pemuda yang memiliki ketegasan dan keberanian untuk melawan setiap upaya dari pihak mana pun yang akan merongrong dan menghancurkan kedaulatan nasional. Para pemuda berjiwa nasionalisme otentik ini diharapkan akan dapat membangun kembali nasionalisme baru Indonesia menuju negara yang maju, mandiri, dan berdaulat. Serta menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Itulah pekerjaan rumah kita, sekarang dan akan datang. (*)
*) UMAR SHOLAHUDIN, Dosen dan kepala Laboratorium Sosiologi FISIP Universitas Wijaya Kusuma Surabaya
Sentimen: negatif (65.3%)