Sentimen
Positif (100%)
29 Okt 2022 : 01.39
Informasi Tambahan

Agama: Islam, Kristen, Katolik, Hindu

Kab/Kota: Batang, Banyuwangi, Madura

Kini, Saya Bisa ke Gereja dan Ikut Kerja Bakti

29 Okt 2022 : 01.39 Views 4

Solopos.com Solopos.com Jenis Media: News

Kini, Saya Bisa ke Gereja dan Ikut Kerja Bakti

SOLOPOS.COM - Warga Perumahan Griya Permata Husada 1 Banyuwangi menonton bareng pertandingan sepak bola.

Saya tinggal di sebuah perumahan di Kota Banyuwangi dengan penghuni majemuk. Namanya Perumahan Griya Permata Husada 1 Lingkungan Kalilo, Pengamtigan, Banyuwangi, Jawa Timur. Warganya beragam. Agamanya berbeda-beda. Saya Kristen, tetangga saya banyak yang muslim. Sukunya juga anak macam. Mayoritas Osing. Lainnya Jawa, Madura, Melayu, hingga Tionghoa. Tentu budayanya beragam.

Ciri khas warga perumahan adalah penghuninya bekerja dari pagi sampai sore hari, bahkan ada yang larut malam.

PromosiDaihatsu Rocky, Mobil Harga Rp200 Jutaan Jadi Cuma Rp99.000

Hal ini tentunya sangatlah tidak mudah untuk membangun kebersamaan bagi penghuni perumahan. Terkadang, relasi didominasi interaksi digital. Lewat telepon atau grup WA.

Namun, ada cara yang bisa mendekatkan kami. Mau tidak mau, kami haus membangun kebersamaan. Lha wong kami tetanggaan. Rumah saling berdempetan. Mau tidak mau, kami harus bersatu dalam mengerjakan hal-hal demi mewujudkan lingkungan tangguh, nyaman, kondusif, bahkan toleran.

Misalnya, untuk bergotong royong menjaga lingkungan, kami harus cari waktu agar banyak warga bisa terlibat. Biasanya, kerja bakti dilakukan pada hari Minggu pagi. Minggu adalah hari libur rata-rata orang.

Namun, saya tidak bisa ikut kerja bakti setiap Minggu. Saya adalah pendeta Gereja Jemaat Kristen Indonesia (JKI) Banyuwangi. Setiap Minggu pagi, kami sekeluarga ke gereja. Demikian warga kristiani lainnya.

Ndak enak betul sama tetangga jika tak ikut kerja bakti. Ternyata, apa yang saya rasakan ini direspons oleh warga. Pada malam hari, kami memang sering mengobrol di depan rumah. Sekalian jaga malam. “Bagaimana kalau kerja baktinya Sabtu sore. Biar Pak Herman bisa ikut?” ujar salah seorang warga.

“Bagaimana Pak Herman?”

“Oke, kalau Bapak-bapak enggak keberatan. Sabtu sore bisa,” jawab saya.

Akhirnya kami bersepakat kerja bakti diadakan Sabtu. Kalau Sabtu pagi masih bekerja, sore hari rata-rata sudah pada pulang. Kami bisa bekerja bakti bareng. Sungguh nikmat. Tak hanya mencabuti rumput di pinggir jalan atau bersih-bersih sampah. Kami juga mengobrol, saling ledek, guyonan, dan lain-lain. Tentu ngopi dan makan snack bareng.

Warga ngalahi tidak menggelar kerja bakti pada Minggu agar yang Katolik atau Kristen bisa beribadah ke gereja.

Tentu kami sangat respek dengan sikap warga. Berterima kasih banget kepada warga kami yang baik hati.

Tak hanya soal bergotong royong. Dalam kehidupan sosial, kami makin akrab. Saat Ramadan,  warga muslim Salat Tarawih di musala atau masjid. Perumahan jadi sepi. Kami, warga kristiani, menjaga lingkungan. Kami duduk-duduk di depan rumah dan gerbang perumahan. Mencegah hal-hal tak diinginkan saat kebanyakan warga muslim Salat Tarawih.

Puncaknya saat Lebaran. Kami yang Katolik dan Kristen ikut merayakan dengan cara bersilaturahmi ke rumah warga muslim. Turut meminta maaf atas kesalahan dan mengucapkan selamat sebagaimana dilakukan saat lebaran. Mengucapkan minal aidin wal faidzin, mohon maaf lahir dan batin.  Kami juga menikmati makanan, lontong opor, yang biasa disajikan saat Lebaran. Saat Lebaran, warga muslim rata-rata banyak kegiatan dari pagi hingga sore hari, mungkin malamnya langsung tertidur nyenyak karena kelelahan. Kamilah yang menjaga lingkungan. Biar perumahan kami aman.

Begitu pula saat Natal. Ternyata, warga yang bukan kristiani juga datang ke rumah kami. Turut mengucapkan selamat Natal. Juga menikmati makanan yang kami sajikan.

Kenapa warga kami guyub begitu? Setelah kami pikir-pikir, ternyata membuat warga guyub itu tidak mudah. Bukan sesuatu yang instan prosesnya. Bisa jadi, pengalaman kami bisa jadi pelajaran di  tempat lain.

Jadi, kami memulainya dengan menjalin kebersamaan dengan menonton pertandingan bola bareng (nonbar). Terutama saat timnas Indonesia melawan timnas negara lain. Kami biasanya mengeluarkan televisi atau pasang layar besar untuk menjadi suporter dari kampung. Mendukung timnas Indonesia mengalahkan lawan. Kalau menang, kami girang bukan main. Ada yang jingkat-jingkat. Yang yang menari.

Kalau timnas Indonesia kalah, kami sedih. Ada yang tak mau makan juga.

Kami sering melakukan itu. Begitu ada jadwal pertandingan bola, langsung kami  usul “Yuk nonton bareng di kampung”.

Lalu, kami siap-siap. Ada yang mempersiapkan perlengkapan layar atau televisi, yang lain menyiapkan camilan. Semua dikerjakan bareng-bareng.  Kami jadi terbiasa mengerjakan hal-hal demi kebaikan lingkungan kami dengan bergotong royong. Seperti yang kami lakukan saat menonton pertandingan Piala AFF U-23 antara Indonesia versus Malaysia 21 Februari 2022. Saat itulah kami menjadi satu sebagai suporter timnas.

Saya berpikir dan merenung, jika semua masyarakat Indonesia yang berbeda-beda ini dapat menjaga kebinekaan Indonesia, sebagaimana kami lakukan di perumahan. Di tempat kami, menghargai perbedaan, mempraktikkan toleransi, bukan sekadar slogan. Kami menjalankan dengan sepenuh hati. Kita sebenarnya bisa bekerja sama mewujudkan keinginan bareng untuk kebaikan semua.

Seperti program yang saya ikuti, yaitu Eco Bhinneka yang diinisiasi oleh Muhammadiyah. Saya ikut kegiatan Eco Bhinneka beberapa kali. Terakhir, acara workshop penulisan berita kisah yang diadakan di Gedung Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Banyuwangi, akhir September 2022. Dalam acara itu, saya bertemu dengan beragam orang. Ada peserta dari Islam, Katolik, Hindu, Buddha, hingga Honghucu. Kami saling memahami  perlunya kerja sama. Kerja sama itu untuk menjaga kerukunan. Saling menghormati. Kami berkomitmen untuk bekerja sama dalam penyelamatan lingkungan dan menjaga keberagaman.

Soal kerja sama ini, Presiden Soekarno pada peringatan Hari Kebangkitan Nasional 1963 membuat analogi kumpulan lidi. Ratusan batang lidi akan tercerai-berai dan  tidak berguna bahkan mudah patah jika tidak disatukan dan diikat menjadi satu.[1] Menjadi satu dalam sapu lidi.

Sapu lidi memiliki filosofi tidak akan terjadi suatu perubahan besar jika sesuatu yang besar kita kerjakan seorang diri. Walaupun orang tersebut memiliki talenta yang banyak dan dapat dikatakan sangat hebat.Namun, jika lidi-lidi tersebut disatukan dan diikat, tak akan ada yang mampu mematahkannya.

Demikian pula dengan rakyat Indonesia, yang harus menjaga persatuan dan kesatuannya. Filosofi sapu lidi merupakan sebuah istilah yang memiliki arti yang sangat  luar biasa jika kita mau merenung sejenak, dan berusaha berpikir jerih. Sapu lidi adalah benda yang hampir setiap waktu  digunakan oleh banyak orang untuk membersihkan. Sapu lidi  dengan mudah dapat membersihkan kotoran walaupun jumlah kotoran tersebut sangat banyak bahkan di tempat yang luas.

Setiap pagi saat saya harus mengantar anak saya ke sekolah. Dalam perjalanan menuju sekolah, saya selalu mengamati tukang sapu jalanan yang hampir setiap pagi bekerja penuh rasa tanggung jawab agar jalanan menjadi bersih. Mengumpulkan daun-daun kering agar jalan bisa nyaman dilewati warga.

Coba kita membayangkan jika sapu lidi yang terikat rapi itu terlepas dan tercerai berai. Petugas membersihkan dengan hanya sebatang lidi, bisakah kita membayangkannya? Jangankan untuk membersihkan suatu tempat yang luas. Untuk membersihkan ruangan 100 cm x50 cm saja mungkin akan sangat susah.

Saat  kita bekerja sendiri, tidak mudah melakukannya. Jika bergotong royong, pekerjaan mudah dilakukan.

Oleh sebab itu, saya ingin menyerukan kembali betapa pentingnya menghadirkan kembali semangat nasionalisme dalam diri kita untuk bersama-sama mewujudkan cita-cita dari the founding fathers Bangsa Indonesia. Salam Bhinneka.

[1]“Sapulidi Pengikat Kebhinekaan – Kompasiana.Com,” accessed September 27, 2022, https://www.kompasiana.com/gerbangnews1105/623c289dd69ab31569524452/sapulidi-pengikat-kebhinekaan.

Tulisan ini karya Herman Sjahti, Pendeta Gereja Jemaat Kristen Indonesia Banyuwangi yang menjadi peserta Workshop Penulisan Berita Kisah Eco Bhinneka Muhammadiyah bekerja sama dengan Solopos Institute.

Sentimen: positif (100%)