Sentimen
"Sustainable" Tanpa Label
Detik.com Jenis Media: Metropolitan
Di akun sosial media, saya mengikuti aktivitas beberapa akun praktisi hidup berkelanjutan. Saya membubuhkan tanda love di postingan-postingan mereka, kadang sampai saya share juga. Saya mengamati produk yang mereka gunakan dan sedikit-banyak berusaha menirunya dalam aktivitas sehari-hari. Seperti netizen lainnya yang juga sedang berusaha mengubah gaya hidup menjadi lebih berkelanjutan, saya banyak mencari inspirasi yang dekat, mudah, dan nyaris tanpa tuntutan, yaitu di sosial media.
Namun, akhir-akhir ini tampaknya ada sudut pandang baru dalam pembicaraan mengenai sustainable living. Ini dimulai dari munculnya postingan berupa review produk dengan klaim sustainable yang kemudian dianggap tidak terlalu dibutuhkan. Postingan tersebut mendapatkan banyak komentar bernada serupa. Netizen lain ikut membagikan pengalaman mereka membeli dan menggunakan produk dengan klaim sustainable, dan mengambil kesimpulan yang sama. Bagi netizen, fungsi-fungsi yang ditawarkan dalam produk sustainable dianggap masih bisa digantikan dengan fungsi lain, dan itu membuat produk tersebut tidak "urgen-urgen amat" untuk dibeli.
Meski postingan tadi terkesan mematahkan semangat mengubah gaya hidup di antara banyaknya postingan bernada membangun tentang cara-cara apa saja yang bisa kita lakukan untuk menerapkan gaya hidup berkelanjutan, saya justru merasa lega setelah membaca postingan tersebut. Saya lega menyadari, sebagai bagian dari netizen, sustainable living tidak lagi identik dengan produk baru, barang mahal, barang dengan penampilan estetik berwarna putih atau cokelat, dan produk-produk dengan fungsi yang spesifik.
Sedotan besi misalnya. Di awal kemunculannya, sedotan ini cukup viral dan menjadi produk sustainable yang paling banyak dibeli, salah satunya karena video penyu yang hidungnya tertusuk sedotan plastik. Mengurangi sedotan adalah satu hal, namun menggunakan sedotan besi adalah hal lain. Selain ada yang menganggap sedotan plastik justru membikin ngilu di gigi, ada cara lain yang lebih mudah dan murah, yang bisa digunakan dalam rangka mengurangi sedotan plastik, yaitu ya tinggal minum langsung saja dari gelasnya. Ngokop sebutannya dalam bahasa Jawa. Belum lagi kemungkinan sedotan yang hilang karena lupa.
Penggunaan tas kain jadi penanda kebiasaan baru yang baik, bahkan tas kain kini disediakan dan dijual di beberapa swalayan atau supermarket. Beberapa merek juga mengganti tas plastik dengan tas kain. Kekompakan di beberapa tempat itu sayangnya justru membawa masalah baru. Tas kain yang bertumpuk dan kualitas tas kain yang tak semuanya bagus menjadi masalah tersendiri. Cara lain untuk mengurangi penggunaan sampah plastik tanpa menumpuk tas kain adalah dengan membawa tas kain yang sudah tersedia di rumah. Kualitas tas kain yang buruk juga membuat tas kain mudah sobek, jahitan mudah rusak jika diisi dengan muatan yang banyak. Kalau tas kain memiliki usia pakai yang pendek, maka bukankah ini berkebalikan dengan tujuan penggunaan tas kain itu sendiri?
Penggunaan wadah thinwall sebagai pengganti wadah kemasan sekali pakai juga tidak berarti tanpa masalah. Kemasan thinwall ini sudah menjadi keluhan umum, terutama di antara ibu-ibu. Seperti kontradiksi dalam tas kain, wadah thinwall juga memiliki usia pakai yang pendek. Tujuan penggantian kemasan sekali pakai ke wadah thinwall ternyata tidak semanis kelihatannya. Salah satu sebabnya adalah, entah bagaimana, bahkan meskipun kita sudah memberi kode untuk mencocokkan antara wadah dengan tutup setiap kemasan thinwall, ketika dipasang, wadah itu tidak bisa menutup dengan rapat. Akhirnya, wadah thinwall yang tersimpan di rumah tidak bisa digunakan dengan maksimal.
Mengubah Kebiasaan
Mengubah gaya hidup menjadi berkelanjutan sejatinya adalah mengubah kebiasaan lama dan menumbuhkan kebiasaan baru. Jika kita mau sedikit menengok ke belakang, kebiasaan-kebiasaan yang kita anggap baru sebenarnya adalah kebiasaan lama, menurut orang-orang tua kita di masa lampau. Jika kita mau mengorek sedikit ingatan, kita bisa menemukan banyak kebiasaan lama, yang jika dilihat dari kacamata masa kini adalah gaya hidup berkelanjutan. Tanpa label, tanpa istilah asing, nenek moyang kita sebenarnya sudah menerapkan gaya hidup berkelanjutan.
Sebelum marak pembalut kain yang ramah lingkungan dan tidak menimbulkan sampah baru, nenek-nenek kita sudah menggunakan pembalut kain. Ketika pertama kali mendapatkan menstruasi, Ibu menyuruh saya untuk menggunakan pembalut kain. Zaman dulu jelas belum ada pembalut kain seperti sekarang, dengan perekat dan bentuk yang mirip seperti pembalut sekali pakai. Pada waktu itu, Ibu menyuruh saya menggunakan pembalut yang terbuat dari handuk tipis yang dipotong-potong kecil.
Kalau Anda tahu handuk putih bertuliskan "Good Morning", nah itulah jenis handuk yang direkomendasikan Ibu saya. Handuk itu, jika Anda pernah memegangnya, adalah jenis handuk tipis yang mudah menyerap air dan teksturnya nyaman bagi kulit. Kendati demikian, yang ada dalam bayangan saya remaja adalah kerepotan saat menggunakannya. Saya membayangkan harus membilas, mencuci dan menjemur handuk-handuk kecil itu (warnanya putih pula!) dalam rentang waktu yang dekat. Saya remaja malas melakukannya, apalagi ada pembanding pembalut sekali pakai yang mudah, cepat, dan tanpa kerepotan mencuci.
Sebelum ramai thrift shop, orangtua kita sudah "membuka" praktik thrift lintas generasi dengan cara merawat pakaian dan memberikannya kepada keponakan, anak sepupu hingga cucu. Baju suami saya bisa bertahan hingga empat generasi setelahnya. Baju itu masih apik digunakan hingga bisa dipakai adik sepupunya yang lahir 10 tahun setelahnya. Barangkali kita sendiri juga pernah mendengar cerita orang-orang tua kita tentang baju-baju yang, lebih tua usianya dari usia kita sendiri.
Sebelum ramai upcycle, orangtua kita sudah memperpanjang usia pakaian dengan cara mengalihfungsikan pakaian tersebut agar tetap memiliki nilai guna. Yang paling umum adalah menggunakan handuk bekas sebagai kain pel dan daster bekas sebagai kain lap. Namun ada juga bentuk upcycling lainnya seperti menggunakan kaos dalam sebagai lap kompor dan cempal, juga kaos-kaos sobek yang dijahit menjadi keset yang bahkan mempunyai nilai jual.
Kemauan Merawat
Kebiasaan lama yang kini dianggap baru itu bisa terjaga karena adanya kemauan merawat. Saya rasa, sikap merawat ini bisa menjadi fondasi bagi kebiasaan apapun dengan label sustainable.
Merawat selalu lebih sulit dilakukan dibanding membeli. Membeli hanya membutuhkan uang, tapi merawat membutuhkan kemauan, ketelatenan, dan kerendahan hati untuk memakai barang yang sudah "usang" dan mungkin tak lagi sesuai dengan mode masa kini. Apalagi, terkadang merawat membutuhkan bukan hanya uang, tapi juga tenaga dan waktu. Pendeknya, kadang merawat terasa jauh lebih mahal dibanding membeli barang baru.
Namun, merawat memungkinkan barang yang kita pakai memiliki usia lebih panjang, mengurangi pembelian dan bertumpuknya sampah. Dalam jangka lebih panjang, merawat memungkinkan turunnya tingkat konsumsi, mengurangi kecepatan fast fashion dan dengan demikian mengurangi pula jejak karbon yang dihasilkan.
Barangkali, yang kita butuhkan untuk mengubah gaya hidup menjadi lebih berkelanjutan bukanlah membeli produk-produk dengan label sustainable, melainkan menumbuhkan sikap merawat setiap barang yang telah kita miliki dengan sepenuh usaha, sampai usia terpanjang. Itu saja dulu.
(mmu/mmu)Sentimen: negatif (94.1%)