Sirup Obat Dilarang Sejak 18 Oktober, Tapi Kasus Gagal Ginjal Akut Nambah 35 Dalam 3 Hari, Kenapa?
RM.id Jenis Media: Nasional
RM.id Rakyat Merdeka - Mantan Direktur WHO Asia Tenggara Prof. Tjandra Yoga Aditama menyoroti kasus gagal ginjal akut pada anak, yang jumlahnya terus meningkat.
Pada 18 Oktober 2022, Kementerian Kesehatan secara resmi menyampaikan ada 206 kasus gagal ginjal akut pada anak, 99 pasien meninggal dunia.
Tiga hari berselang, 21 Oktober, jumlah kasus naik menjadi 241 anak, dengan 133 angka meninggal dunia.
"Sebagian orang bertanya, kenapa tetap ada kenaikan 35 kasus dalam 3 hari. Padahal, pada 18 Oktober, sudah dikeluarkan Surat Edaran resmi, agar tenaga kesehatan tidak meresepkan obat sirup. Apotek pun tidak boleh menjualnya," kata Prof. Tjandra dalam pesan singkat yang diterima RM.id, Sabtu (22/10).
Berita Terkait : Gangguan Ginjal Akut Mulai Bisa Diatasi
Direktur Pasca Sarjana Universitas YARSI/Guru Besar FKUI itu menduga, kenaikan tersebut dipicu oleh sedikitnya dua hal.
Pertama, itu bukanlah kasus-kasus baru, hanya pencatatannya yang baru muncul sekarang. Kalau ini yang terjadi, maka bukan tidak mungkin, akan ada tambahan kasus-kasus lagi.
"Kita semua berharap, agar proses pencatatan dan pelaporan kasus dapat terus makin intensif. Sistem surveilans pun menjadi makin updated," ujar Prof. Tjandra.
Kedua, bisa saja, 35 kasus itu merupakan kejadian sakit yang terjadi antara 18 dan 21 Oktober.
Berita Terkait : KSP: Pemerintah Bentuk Tim Selidiki Kasus Gagal Ginjal Akut Pada Anak
Kalau ini benar terjadi, Prof. Tjandra meminta pemerintah untuk segera mengumumkan ke publik, apakah 35 pasien dalam kasus tersebut mengkonsumsi jenis sirup tertentu atau tidak.
"Jadi, perlu dibandingkan konsumsi sirup pada 206 kasus sampai 18 Oktober, dengan konsumsi pada 35 kasus baru antara 18 sampai 21 Oktober. Ini juga akan ada dua kemungkinan dan tindak lanjutnya," ujar Prof. Tjandra.
Kalau 35 pasien baru terbukti tetap mengkonsumsi sirup obat, padahal sejak 18 Oktober harusnya sudah tidak dipakai lagi, maka pemerintah harus mengintensifkan sosialisasi edaran yang ada, dengan sistem pengawasan yang ketat.
"Tetapi, kalau 35 pasien baru ini tidak mengkonsumsi sirup obat apa pun, maka muncul pertanyaan baru, apa yang menyebabkan mereka jatuh sakit," tutur Prof. Tjandra, yang juga mantan Dirjen Pengendalian Penyakit dan eks Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes).
Berita Terkait : Atasi, Cari Tahu Penyebabnya
Menurutnya, penjelasan rinci seperti ini perlu disampaikan ke publik dari waktu ke waktu. Agar masyarakat dapat melihat masalahnya dengan utuh dan lengkap, serta mengambil sikap secara jernih. ■
Sentimen: positif (49.9%)