Strategi ATM Jokowi dan Peluang Anies Baswedan Jadi Presiden

CNBCindonesia.com CNBCindonesia.com Jenis Media: News

18 Okt 2022 : 22.55
Strategi ATM Jokowi dan Peluang Anies Baswedan Jadi Presiden

Jakarta, CNBC Indonesia - Sepintas akan sulit menerima jika sebenarnya, cara Anies Rasyid Baswedan ingin menjadi Presiden RI ke-8 sesungguhnya meniru apa yang pernah dilakukan Joko Widodo (Jokowi) pada 2014 silam. Anda boleh tidak percaya, tetapi lambat laun apa yang dilakukan mantan Gubernur DKI Jakarta ini benar-benar mirip. Dia terinspirasi, atau bila tidak ingin disebut menjiplak.

Tidak ada yang bisa menyangkal, dibalik label 'orang biasa saja' Presiden Jokowi adalah politisi tangguh. Buktinya banyak; mulai dari cara tidak biasa naik panggung politik ring satu 2014, hingga kemenangan elegan pada perang kadrun-cebong 2019. Jokowi adalah politikus ulung dengan strategi brilian yang belum menemukan tandingannya sampai saat ini.

Bagaimana sosok 'orang biasa' itu tetiba bisa menjadi orang paling berkuasa di nusantara. Rupanya diakui atau tidak, menjadi inspirasi para politisi yang bermimpi menggantikannya pada 2024. Siapa pemenangnya? Tentu yang paling bisa menerapkan startegi ATM/amati-tiru-modifikasi gaya Jokowi.

-

-


Strategi ATM Jokowi ini yang sekarang coba dijalankan oleh Anies, disponsori konglomerat media Surya Paloh dan back-up penuh pengusaha dan politisi gaek Jusuf Kalla. Tidak hanya Anies, Puan Maharani, Prabowo Subianto, Ridwan Kamil, apalagi Ganjar Pranowo kelihatan betul berlomba-lomba meniru jalan Jokowi.

Apa Yang Ditiru Anies?

Banyak yang ditiru Anies dari Jokowi. Berbeda dengan bakal calon presiden lain, dia meniru Jokowi secara terbalik, beberapa orang menyebutnya sebagai strategi antitesa. Ini sudah dibantah keras Partai Nasdem, sampai sampai harus memecat kadernya, Zulfan Lindan yang mengungkapkan hal itu.

Bukti ada strategi antitesa itu benar adanya, ya pemecatan itu sendiri.

Anies jelas-jelas meniru Jokowi yang pernah mem-branding dirinya sebagai antitesa Fauzi Bowo pada Pilkada DKI dan antitesa Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada Pilpres 2014. Jokowi menggambarkan dirinya amat dekat dengan semua golongan pemilih-yang dibangun sejak Pilkada DKI 2012--dan membuang jauh pagar menara gading institusi politik yang kaku-yang dipakainya lagi saat Pilpres, 2014.

Kekakuan, prosedural dan bagaimana gaya kepresidenan SBY diceritakan dengan baik dan menarik oleh mantan wartawan istana, Wisnu Nugroho dalam buku tetralogi Sisi Lain SBY. Apakah ini berarti SBY yang tampak menara gading buruk dan Jokowi yang terlihat merakyat lebih baik, tentu tidak. Ini hanya soal momentum selera pasar saja, ini hanya soal pilihan strategi semata.

Mengapa startegi antitesa ini sukses? Karena pemilih dan yang dipilih pada dasarnya bekerja seperti hukum permintaan dan penawaran pasar. Jokowi datang saat kejumudan supply/pasokan akan institusi kepresidenan yang kaku dan berjarak dengan pemilih. Seperti algoritma iklan di internet, dia datang dengan penawaran yang diinginkan pemilih.

Mengapa SBY memilih strategi 'jaim' dalam politik, karena ia dihadapkan pada problem besar kewibawaan lembaga kepresidenan pada waktu itu. Pada zaman SBY lah institusi kepresidenan kembali kuat, setelah sekian lama turun pamor pasca reformasi. Lagi pula ia adalah presiden pertama dari militer setelah reformasi, sosok yang ditunggu khalayak karena banyak yang kecewa dengan supremasi sipil setelah reformasi. Ia terbukti bisa menyelesaikan PR disintegrasi bangsa yang memuncak saat Gus Dur dengan pencapaian ikonik perdamaian Aceh, Helsinki.

Anies sedang berantitesa pada Jokowi, sebagaimana Jokowi melakukannya pada SBY di 2014. Ini adalah pilihan terbaik, selain ada kebutuhan pemilih akan sosok lembaga kepresidenan yang lebih berwibada, juga by accident Anies bisa meniru SBY yang mampu mengkapitalisasi tragedi pemecatannya sebagai menteri Megawati untuk meraih simpati pemilih Pilpres 2004.

Anies adalah bekas menteri pecatan Jokowi dan kejadian ini bisa dikelola tim kampanynya sebagai bahan 'anak yang dizalimi' mengingat Anies bekas loyalis dan bahkan juru bicara Jokowi saat kampanye 2014. Prestasi 'pecatan' ini bahkan tidak dimiliki Agus Harimurti Yudhoyono, anak kandung SBY.

Surya Paloh dan Jusuf Kalla tentu sangat paham bagaimana muncul kebutuhan pemilih akan sosok yang mampu membuat wajah istana kembali lebih berwibawa.

Jokowi tidak bisa bersembunyi, suka tidak suka ia adalah petugas partai PDI Perjuangan yang harus bersalaman dengan menunduk kepada ketua partai, kejadian yang tidak pernah ada dalam khazanah perpolitikan Indonesia. Bagaimana seolah-olah marwah kepresidenan telah kalah, di bawah wibawa partai.

Imej Jokowi 'dikempit' oleh oligarki juga tak mudah hilang sebagai akibat pilihan merangkul investor besar guna modal untuk bangun infrastruktur. Bagaimana sepak terjang Jenderal Luhut Binsar Panjaitan dan Jenderal Moeldoko di istana juga memberi gambaran bagaimana imej Jokowi di bawah 'pengaruh' militer nyata adanya. Satu hal yang sengaja dia lakukan untuk mengimbangi tekanan partai politik, dan tampaknya belajar dari sosok militer SBY.

Belum lagi, begitu kerepotannya ia membuat Kepolisian untuk tunduk, dari mulai kasus Cicak-Buaya, pelemahan KPK, hingga yang terbaru gaya hedon pejabat polisi yang menjadi sorotan masyarakat.

Seberapa Besar Peluang Anies?

Anies membangun peluangnya menjadi presiden tidak dengan mencari restu Jokowi-hal yang justru dikejar pesaingnya, baik Puan, Prabowo maupun Ganjar. Dia justru memupuk peluang dengan menjadi antitesis Jokowi, menjadi alternatif pemilih yang kecewa pada kinerja pemerintah dan tentu saja menampung pendukung Prabowo yang tak suka atas pilihannya menjadi menteri Jokowi.

Memori pemilih di Indonesia sungguh pendek. Jokowi akan mengakhiri masa gegap gempita kepemimpinanya di tengah krisis ekonomi global yang amat besar, dan diramal ekonom-ekonom top belum pernah dialami sebelumnya. Krisis global akan mulai berdampak pada tahun depan hingga Pemilu 2014, dan mau tidak mau akan mempengaruhi kesejahteraan masyarakat Indonesia.

Letupan-letupan kekecewaan akan muncul di masyarkat, karena kondisi ekonomi akan semakin sulit. Itulah mengapa, Jokowi dan para menteri ekonomi sekarang begitu getol menginformasikan, sampai terkesan menakut-nakuti masyarakat, bila ekonomi dunia akan gelap, kacau dan buruk ke depan. Alih-alih benar adanya, itu juga alasan agar tidak disalahkan bila kondisi ekonomi memburuk, sehingga menghapus memori 10 tahun pencapaiannya yang cukup luar biasa.

Anies adalah satu-satunya calon presiden yang memiliki peluang terbanyak bisa mengambil alih gerbong kelompok islam pendukung Prabowo di 2014 dan 2019. Ini menjadi poin plus, ditengah abstain duo ormas terbesar Indonesia, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama dari kontestasi politik.

Sementara, siapa yang sudah benar-benar bisa menjadi 'little Jokowi' diantara Puan, Prabowo, Ridwan Kamil hingga Ganjar. Belum ada. Kalaupun mendekati dari karakteristik kepemimpinan, mungkin Ganjar tetapi dia masih jauh dari sosok presiden RI itu. Setting awal Ganjar adalah benar-benar petugas partai, sementara imej Jokowi menjadi petugas partai baru saat hendak menjadi presiden.

Ganjar tidak memiliki basis riil pendukung di luar PDI Perjuangan yang memadai, sementara Jokowi sudah memiliki fans base yang berkembang pesat saat menjadi Gubernur DKI. Kebanyakan pendukung Ganjar adalah pendukung Jokowi, namun apakah Jokowi akan menjatuhkan pilihan ke Ganjar secara terang-terangan atau dalam diam? Ini yang susah, sebab Jokowi sendiri ada dalam dilema balas budi kepada Megawati, antara mendukung Puan dengan sisi lain mengikuti suara arus bawah yang lebih sreg ke Ganjar. Suara Jokowi pecah.

Kuncian terakhir Anies adalah Partai Demokrat. Apabila benar partai SBY ini merapat ke inisiator pencapresannya, Partai Nasdem, dan menyorongkan AHY sebagai wakil presiden ini akan menambah kekuatan. Pemilih Demokrat adalah pemilih asal bukan Jokowi, ini sudah terbukti saat Pilkada DKI, dimana pada putaran kedua, suara AHY beralih ke Anies dan menyingkirkan Ahok yang kental dengan nuansa Jokowi.

Bergabungnya Partai Demokrat pada koalisi Nasdem, diperkirakan akan menarik Partai Keadilan Sejahtera. Mereka, nantinya bisa mengklaim sebagai kelompok nasionalis, demokratis, religius.

Ada peluang besar Anies menjadi presiden bila melihat calon-calon lawannya yang tampak masih kesulitan mengidentifikasi diri mereka sendiri sebelum menjual brand nya ke pemilih. Anies memiliki waktu yang panjang dan bebas untuk berkampanye sampai dengan waktu pemilihan tiba.

Sandiaga S Uno membuktikan, cara seperti ini cukup efektif, membangun suara dari kantong-kantong suara secara langsung. Ini kemewahan Anies yang tidak dimiliki Prabowo, Sandiaga, dan Ganjar yang terjebak dengan rutinitas pekerjaannya sebagai aparat pemerintah.

Siapa game changer di sini? Megawati, ketua partai dengan perolehan terbanyak, dan orang yang telah 'menanam' banyak investasi pada Jokowi. Bagaimana alurnya, nantikan analisa-analisa menarik lainnya dari CNBC Research Indonesia berikutnya.

TIM RISET CNBC INDONESIA


[-]

-

Tolak Harga BBM, FPKS Walkout Sidang Paripurna DPR
(mum/mum)

Sentimen: positif (100%)