Sentimen
Negatif (99%)
17 Okt 2022 : 17.07
Informasi Tambahan

Agama: Islam

Event: Pilkada Serentak

Hewan: Kambing

Partai Terkait

Anies Baswedan dan “Operasi Bendera Palsu”

17 Okt 2022 : 17.07 Views 4

Kabartangsel.com Kabartangsel.com Jenis Media: Nasional

Anies Baswedan dan “Operasi Bendera Palsu”

Oleh: Sonny Majid

(Pembelajar dari Lingkar Kaji Isu–isu Strategis)

“False flag” atau dikenal sebagai “operasi bendera palsu” adalah salah satu taktik yang sangat lama digunakan (klasik). Sudah kerap digunakan dari masa ke masa dalam upaya operasi militer atau operasi penggulingan. Inti dari operasi bendera palsu ini adalah bagaimana menciptkan “kambing hitam” yang tak lain untuk menyelamatkan pihak yang menggunakan operasi tersebut.

Skenario ini juga yang sepertinya digunakan oleh Anies Baswedan dalam konstestasi pilpres mendatang, termasuk di saat dirinya menjabat sebagai Gubernur.

Ketika pemenangan Pilkada DKI Jakarta, tim Anies juga menggunakan operasi ini. Siapa kambing hitamnya, tak lain adalah pesaingnya, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang ketika itu dengan memanfaatkan politik identitas karena Ahok dianggap melecehkan Islam.

Operasi ini berlangsung hingga Anies menjabat Gubernur Jakarta. Semua pihak yang mengkritisi segala kebijakan Anies justru diserang balik oleh pernyataannya sendiri, sehingga mengopinikan bahwa posisi Anies sedang “dikeroyok” atau tidak ada yang mendukung kebijakannya. Sehingga terkesan Anies “dizalimi.”

Di lain sisi, operasi klaim keberhasilan program dibombastis sedemikian rupa, meski secara akal sehat mungkin sebagian orang tahu bahwa keberhasilan itu sifatnya jangka pendek atau hanya sebagai objek membangun imej positif, setelah itu hilang.

Atau sebenarnya hanya meneruskan program gubernur sebelumnya. Yang menarik adalah ketika program yang berhasil oleh gubernurnya berhasil, justru “diacak-acak” dengan alasan program tersebut gagal, padahal berhasil.

Skenario operasi “kambing hitam” ini berlangsung hingga kini. Mungkin dalam kancah pilpres mendatang, masih digunakan. Contohnya, ketika Ketua KPK Firli Bahuri diframing akan menjegal Anies dalam pencapresan, meski pihak KPK sudah mengklarifikasi bahwa tuduhan tersebut tidaklah benar.

Kelompok yang dulu mati-matian membela KPK yang sekarang ada di belakang Anies, kini justru berbalik menyerang KPK. Dalam logika skenario operasi bendera palsu ini, justru isu KPK ingin menyerang Anies ini bisa saja dibangun oleh timnya sendiri. Tinggal nanti diujung Anies mengeluarkan pernyataan.

Sangat jelas sekali, sampai jika kita jeli kita sudah tahu mana media mainstream yang telah bekerjasama dengan Anies, kendati masih ada sih beberapa media yang menerapkan “pagar api,” dalam etika jurnalistik.

Media mainstream tersebut cukup bermain lewat judul berita yang menggiring opini publik seakan-akan Anies tidak ada salahnya, Anies terzolimi dan lainnya, targetnya tak lain adalah mengorek sentimen publik terhadap Anies, maksudnya  harapannya publik bersimpati dengan Anies karena sudah tersetting “terzalimi.”

Isu besar yang berseteru saat ini adalah “Oligarki Vs Bapak Politik Identitas.”

Tentang isu oligarki

Isu yang kedua adalah bagaimana isu oligarki dimainkan begitu pas, bahwa dibelakang Presiden Jokowi adalah oligarki. Padahal dengan sistem kepemiluan yang sekarang, one man one vote, malah melanggengkan oligarki. Sebab, calon-calon dalam kontestasi pemilu harus meminta dukungan modal dari kalangan pengusaha, sudah pasti harus ada imbal balik.

Jadi siapapun kandidat capresnya, oligarki akan selalu ada di belakang para calon. Isu oligarki ini kemudian dilanjutkan dengan isu Anies merupakan antitesa dari Jokowi.

Kelompok lain yang juga menerapkan skema ini adalah Partai Demokrat, yang “mengkambing hitamkan” Jokowi, yang tujuannya tak lain adalah menyerang PDI Perjuangan. Tentu kita masih ingat bagaimana SBY melontarkan bahwa Pemilu 2024 diduga akan ada ketidakjujuran alias kecurangan. SBY menyebut mendapatkan masukan dari koleganya.

Ini sangat jelas, menyerang ke kelompok pendukung Jokowi meskipun tidak secara eksplisit menyinggung KPU sebagai penyelenggara.

Sentimen: negatif (99.2%)