Sentimen
Informasi Tambahan
Kab/Kota: Gunung
Kasus: Narkoba, pembunuhan
Tokoh Terkait
Tiga Preseden Buruk Polri dan Rumitnya Transparansi
Kompas.com Jenis Media: Nasional
SUDAH jatuh tertimpa tangga. Agaknya bisa disematkan pada nasib Polri yang belum tuntas dengan kasus Ferdy Sambo dan Tragedi Kanjuruhan, kini dicoreng kasus Teddy Minahasa.
Berbagai rentetan kasus seolah menegasi bahwa persoalan psikologis internal Polri memang amburadul.
Seolah Polri Presisi yang digadang Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo mati kutu karena rentetan kasus yang beruntun.
Apa masih mungkin mengembalikan marwah para korsa, ataukah mengikut pikiran yang secara ekstrem, "membubarkan institusi Polri"? Apakah itu juga menjadi pilihan yang paling substansional sebagai jalan pamungkas?
Transparansi bagaimanapun menjadi kata paling "horor" bagi Polri. Atas nama korsa, ada silent corps atau sebut saja aksi diam menjaga marwah yang seolah lebih utama daripada transparansi.
Di tengah penyelesaian kasus Sambo dan Kanjuruhan, nama Irjen Teddy Minahasa tiba-tiba mencuat menjadi perbincangan utama setelah dikabarkan ditangkap akibat kasus narkoba.
Padahal baru hitungan hari Teddy ditunjuk menggantikan Irjen Nico Afinta sebagai Kapolda Jawa Timur.
Lebih mengejutkan lagi karena sebelumnya nama Teddy sempat menyita perhatian setelah membongkar secara besar-besaran sindikat judi online 303 dengan jumlah tersangka mencapai lebih dari 200 orang.
Namun hitungan bulan selang operasi itu, giliran Teddy ditangkap karena dugaan terlibat kasus narkoba.
Preseden beruntun
Peristiwa ini menambah panjang preseden buruk di tubuh Polri, setelah sebelumnya dihantam mega kasus Sambo dan tragedi Kanjuruhan.
Kejadian penangkapan oknum Polri itu sekaligus menegaskan bahwa Polri tak pernah bisa beranjak dari “nama buruk” yang sulit sekali dibersihkan.
Jika kepercayaan publik selalu terombang-ambing tak menentu soal kejujuran institusi Polri, akan sampai pada titik nadir menjadi ambigu terhadap apapun perubahan yang akan dilakukan Polri sebagai institusi pengamanan dan pengayom publik.
Bayangkan saja kasus besar Sambo yang paling mencoreng institusi Polri karena petingginya “pengawas para polisi” ternyata tertuduh dalam kasus pembunuhan berencana dengan melanggar segala aturan penghilangan barang bukti (obstruction of justice). Sesuatu yang sangat dipahaminya dalam legalitas sebuah penyidikan kasus hukum.
Apalagi aturan hukum menghilangkan barang bukti diberlakukan tegas di Indonesia. Hal ini bertujuan menegakkan hukum dan melindungi keadilan. Terutama keadilan bagi korban dari suatu tindak pidana.
Alasannya jelas meliputi unsur-unsur tindak pidana yang menjadi alasan aturan hukumnya. Terdapat subjek yang dirugikan oleh pelaku.
Memiliki unsur kesalahan baik secara normatif atau hukum negara. Perbuatan yang dilakukan melawan hukum dan undang-undang serta memiliki ancaman pidana. Memiliki waktu, tempat, dan keadaan tertentu.
Dalam aturan hukum menghilangkan barang bukti Pasal 1 Angka Perkap 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak pidana, dijelaskan pula mengenai definisi barang bukti.
Bahwa barang bukti meliputi semua jenis benda yang telah dilakukan penyitaan oleh penyidik, bertujuan untuk proses penyidikan, penuntutan, hingga pemeriksaan di sidang. Semuanya untuk memperjelas dan memudahkan dakwaan atas kejahatan tersangka.
Sandera kasus dan nama baik
Berbagai peristiwa ini menjadi tumpang tindih dengan “pembersihan” yang sedang dilakukan Kapolri. Di satu sisi dibersihkan, di sisi lain kasus baru bermunculan.
Meskipun ketegasan Kapolri terhadap korsanya telah dilakukan, namun di lapangan justru kasus tetap saja muncul.
Berbagai perbaikan Polri melalui Program Polri Presisi, menggunakan bantuan teknologi sebagai pengontrol, secara tidak langsung mengurangi perilaku oknum polisi jahat di lapangan.
Sebaliknya kini para pejabat teras di kalangan atas yang semakin leluasa bermain, seperti kekurangan lahan di jalanan yang sudah diganti mesin-mesin canggih. Dan kali kini pelakunya sekali lagi juga petinggi Polri.
Belum lama, Bidang Profesi dan Pengamanan (Bid Propam) Polda Metro Jaya memecat lima anggotanya.
Mereka dipecat karena berbagai pelanggaran selama beberapa waktu hingga Oktober 2022, utamanya kasus narkoba-godaan paling seksi setelah judi.
Langkah ini adalah bentuk komitmen untuk mentransformasi perilaku sikap anggota Polda Metro Jaya agar lebih baik lagi ke depan dan lebih profesional dan presisi. Tapi bisa jadi itu adalah puncak gunung es baru-diagram narkoba di tubuh Polri?
Selain sanksi demosi atau dicopot dari jabatannya, juga diberlakukan sanksi tidak diberikan jabatan dari mulai enam bulan sampai lima tahun. Ini cukup menyakitkan bagi yang ambisius dengan jabatan.
Langkah keberhasilan Polri meringkus bandar judi kelas kakap Apin BK bekerjasama dengan Kepolisian Diraja Malaysia, seolah tak bisa menjadi "pelipur lara" publik. Namun justru dianggap pengalih perhatian dari kasus besar yang menjerat Polri.
Publik tak lagi meresponsnya secara apresiatif karena ganjalan "rasa tak percaya" yang terus menurun.
Apakah langkah "kejutan" Polri ini akan efektif meredam menurunnya kepercayaan publik? Jika secara transparan, masif dan kontinyu, dengan catatan tidak diganggu kemunculan kasus-kasus baru dalam rentang masa pembersihan sekarang ini, secara perlahan kepercayaan publik bisa jadi akan perlahan pulih, meskipun tak akan lagi sama seperti dulu.
Bagaimana Program Polri Presisi dengan capaian “empat transformasi”, dengan 16 program prioritas, 51 kegiatan 177 aksi, dan delapan komitmen dalam 100 hari Kapolri, begitu mudah luntur.
Bagaimana peluang untuk bisa mengembalikan capaian positifnya kembali melalui hasil survei nasional yang kredibel sepanjang tahun 2021.
Transformasi Organisasi telah mencapai 98,20 persen. Transformasi Operasional sebesar 98,78 persen.
Lalu, Transformasi Pengawasan telah mencapai target 98,60 persen dan Transformasi Pelayanan Masyarakat 96,59 persen. Tak lagi jauh dari angka ideal 100 persen!
Meskipun angka itu terlalu ideal, karena artinya Polri menjadi institusi yang paling dipercaya dan paling benar.
Faktanya, hasil itu justru menjadi awal publik menemukan "sisi gelap" yang selama ini diyakini, tapi nyaris kasat mata. Kini semuanya harus diulang karena tiga preseden beruntun.
Polri tak lagi cukup berbasa-basi dengan mendongkrak layanan masyarakat yang terus dipacu, agar tingkat kepercayaan masyarakat atas kerja dan kinerja Polri Presisi semakin baik.
Lebih dari itu dukungan proses revitalisasi dalam tubuh institusi Polri, dengan transparansi setiap kasus yang berhadap-hadapan dengan publik harus menjadi komitmen utama.
Publik saat ini menunggu bukti bukan janji, apa langkah kongkret penyelesaian kasus Sambo dan Tragedi Kanjuruhan. Bagaimana memupus kasus jaringan 303 jika para petingginya masih saja terus tersandera kasus.
-. - "-", -. -
Sentimen: positif (88.9%)