Lukas harus kooperatif agar pemerintahan Papua tak terganggu
Alinea.id Jenis Media: News
Gubernur Papua, Lukas Enembe, tidak bisa optimal menjalankan tugasnya sebagai kepala daerah dalam beberapa waktu terakhir karena sakit dan berstatus sebagai tersangka dugaan suap dan gratifikasi APBD Papua. Sebab, sejak saat itu dia selalu berada di rumah dan dilarang para simpatisannya untuk beraktivitas di luar tempat tinggalnya.
Berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan oleh tim dokter dari Singapura, Lukas Enembe disebut mengalami kelemahan pada gerak dan bicara. Politikus Partai Demokrat itu bahkan didiagonis menderita gangguan pada keseimbangan saraf.
Masyarakat "Bumi Cenderawasih" pun kehilangan sosok pemimpin mengingat tidak ada pengisi kursi wakil gubernur sejak Klemen Tinal meninggal dunia 21 Mei 2021. Kekosongan Papua-2 dikabarkan akan berlangsung hingga 2024 menyusul nihilnya nama kandidat yang dimunculkan melalui partai politik (parpol) pengusung hingga batas akhir pencalonan.
Direktur Eksekutif Citra Institute, Yusa' Farchan, menilai, hal tersebut tidak bisa menjadikan alasan Presiden Joko Widodo (Jokowi) menunjuk penjabat (pj) gubernur Papua. Sebab, Lukas Enembe nyata adanya dalam kondisi sakit dan dibuktikan dengan keterangan dokter.
"Saya kira, tetap harus dihormati karena ini soal kemanusiaan. Yang jelas, hukum formal kita, kan, sudah mengatur bagaimana mekanisme penunjukan penjabat kepala daerah," ucapnya kepada Alinea.id, Jumat (14/10).
Yusa' menerangkan, Jokowi baru dapat menunjuk pj gubernur atas usulan menteri dalam negeri (mendagri) jika Lukas Enembe berstatus terdakwa. Ini diatur dalam Pasal 86 ayat (2) Undang-Undang tentang Pemerintah Daerah (UU Pemda).
"Hanya saja status Lukas Enembe, kan, sampai saat ini masih tersangka. Dan Pak Lukas sudah dua kali tidak memenuhi panggilan KPK untuk menjalani pemeriksaan pada 12 dan 25 September 2022 karena alasan sakit," tuturnya.
Menurut akademisi Universitas Sutomo ini, Lukas juga belum bisa disebut tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap 6 bulan berturut-turut sesuai isi Pasal 78 ayat (2) huruf b UU Pemda.