Optimalisasi Desa Mandiri Pangan

  • 16 Mei 2024 11:15:58
  • Views: 6

Jakarta -

Desa-desa di Indonesia dominan bertipologi pertanian. Mengutip Sofyan Sjaf (2019), dari 74.754 desa dan 8.430 kelurahan, sebanyak 73,14% adalah desa bertipologi pertanian dengan rincian status desa tertinggal (29,13%), desa berkembang (40,66%), dan sisanya desa mandiri (3,975).

Sayangnya potensi ini belum dimanfaatkan dengan baik. Kemandirian pangan di desa masih rendah. Tercermin dari skor Global Food Sequrity Index (GFSI) 2022 yang hanya 60,2 jauh di bawah rata-rata GFSI dunia di kisaran 62,2 bahkan di bawah rata-rata GFSI Asia Pasifik sebesar 63,4. Hal ini menempatkan bangsa kita di peringkat 69 dari 113 negara di dunia dan ke 10 dari 23 negara di Asia Pasifik.

Ketidakmandirian pangan adalah ekses dari pengabaian pembangunan desa dalam rentang waktu yang lama. Tak perlu menyesalinya. Dengan program Desa Mandiri Pangan (DMP) yang telah digulirkan pemerintah, kita berharap ketersediaan pangan mencukupi.

-

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Keputusan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Nomor 82 Tahun 2022 tentang Pedoman Ketahanan Pangan di Desa menyebutkan tujuan ketahanan pangan di desa. Yakni, meningkatkan ketersediaan pangan baik dari hasil produksi masyarakat desa maupun dari lumbung pangan desa; meningkatkan keterjangkauan pangan bagi warga masyarakat desa; meningkatkan konsumsi pangan yang beragam, bergizi seimbang, aman, higienis, bermutu, serta berbasis pada potensi sumber daya lokal.

Darwis dkk (2014) menyebut lima tujuan dari program ini: meningkatkan ketersediaan pangan dengan memaksimalkan sumber daya yang dimiliki secara berkelanjutan; meningkatkan distribusi dan akses pangan masyarakat; meningkatkan mutu dan keamanan pangan desa; meningkatkan kualitas konsumsi pangan masyarakat; meningkatkan kualitas penanganan masalah pangan.

Setelah bergulir, DMP juga belum optimal. Penyebabnya karena keterbatasan sumber daya manusia: perencanaan program dan adaptasi teknologi; sulitnya mendapat sumber daya kapital; lemahnya kelembagaan (pemerintah desa, Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa/LKMD, kelompok tani-gabungan kelompok tani); infrastruktur pertanian terutama irigasi; akses pada pupuk. Ini masalah klasik yang tak kunjung dibenahi dengan tuntas, padahal desa merupakan arena utama produksi pangan.

Lambannya perbaikan atas ragam dimensi tersebut bukan saja ketidakmandirian pangan di level desa, tetapi menjalar menjadi tingkat nasional. Petani menjadi manusia yang selalu kalah. Petani takluk. Kemiskinan menjadi image petani dan nahasnya lagi mereka kesulitan mendapatkan pangan. Produsen yang melarat di rumahnya sendiri. Dan, tentu masyarakat luas dengan ekonomi menengah ke bawah. Tidak semua orang bisa mengaksesnya karena berkelindan kuat dengan kemiskinan. Padahal hak atas pangan adalah bagian dari hak asasi manusia (HAM) sebagai manifestasi etika dan demokrasi pangan.

Pendalaman Spirit UU Desa

Tak bisa disanggah bahwa keberhasilan desa-desa berubah karena perubahan politik pembangunan desa. Sejak lahirnya UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, pembangunan desa segera menjadi kesadaran baru atas kemandekan yang dialami desa sekian puluh tahun. UU ini memberi kewenangan lokal desa (subsidiaritas) dan kewenangan hak asal usul (rekognisi).

Desa diberi ruang penuh-kewenangan total bagi desa untuk memutuskan dan menyelenggarakan pembangunan dan pemberdayaan berskala desa. Bahkan keputusan kolektif warga dalam forum Musyawarah Desa (Musdes) adalah mutlak yang bahkan pemerintahan level di atas desa tidak dibenarkan membatalkan keputusan itu. Dalam bahasa ekonomi dan politik disebut desentralisasi desa.

Agar kewenangan ini menjadi manfaat, desa membutuhkan sumber daya (kapital) membiayai pembangunannya. Sebagai amanat UU Nomor 6/2014, pemerintah memiliki instrumen "dana transfer" ke desa (disebut Dana Desa/DD).

Sepuluh tahun DD bergulir ada kemajuan yang baik dan progresif yang telah dicapai. Semua kemajuan itu, bukan tanpa ada masalah. Catatan-catatan kritis untuk perbaikan terus bermunculan dengan titik fokus terbesar pada dimensi non legal formal, lebih pada esensi UU Desa yakni pendalaman pembangunan desa, bagaimana spirit dan tujuan UU ini terbumikan-konkret.

Jika pada lima tahun pertama (2014-2019) DD lebih banyak dimanfaatkan untuk pembangunan infrastruktur fisik seperti jalan dan jembatan, maka dalam dua-tiga tahun terakhir prioritas penggunaan DD mengalami perluasan. Sejak 2022 melalui Peraturan Presiden Nomor 104 Tahun 2021 pasal 5 angka (4) huruf b disebutkan bahwa penggunaan dana Desa untuk program ketahanan pangan dan hewani paling sedikit 20%.

Spirit Perpres di atas sangat relevan dengan tantangan Indonesia, merujuk pada upaya pencapaian SDGs Desa utamanya pada terwujudnya Desa Tanpa Kemiskinan, Desa Tanpa Kelaparan, Desa Sehat dan Sejahtera, Infrastruktur dan Inovasi Desa sesuai kebutuhan, Kemitraan untuk Pembangunan Desa, dan Kelembagaan Desa Dinamis dan Budaya Desa Adaptif.

Mengutip Ahmad Erani Yustika (2019) pendalaman program DD mesti bertumpu pada tiga hal besar. Pertama, menggerakkan program sebagai titik tolak kesadaran untuk menegakkan perspektif yang utuh akan pembangunan desa.

Kedua, meninggikan pengetahuan bahwa sumber daya ekonomi desa harus dikuasai dan dikelola warga. Penguasaan sumber daya ekonomi, penguatan organisasi ekonomi, dan advokasi kebijakan ekonomi guna meneguhkan kemandirian dan kedaulatan ekonomi desa. Ketiga, memastikan isu tata kelola desa sebagai khasanah merawat keragaman desa. Negara tidak perlu berobsesi secara berlebih untuk mengatur desa, tetapi memperlebar ruang bagi desa.

Untuk mencapai itu semua, mengutip Ahmad Erani Yustika sudah sepatutnya energi desa digeser. Pertama, infrastruktur tidak salah, sebab bagi desa tertentu (tertinggal) masih akan menjadi kebutuhan primer. Namun demikian sudah waktunya pula untuk membuka ruang strategis yang dipertukarkan yakni informasi. Diperlukan data persoalan dan potensi desa sehingga menjadi bahan baku dalam merumuskan dan mengambil keputusan melalui Musdes. Di sini perlunya ekspansi kapabilitas manusia sebagai arena yang mesti dimenangkan.

Kedua, menghubungkan pembangunan desa dengan agenda besar bangsa yaitu mengurangi ketimpangan pendapatan dan kemiskinan. Ada banyak program yang bisa disangga dan hemat psaya peningkatan produksi pangan menjadi agenda urgen agar tercapai kemandirian pangan. Semuanya dilaksanakan dengan prinsip-prinsip partisipatif, gotong royong, setara, swadaya, kemandirian, keterpaduan, dan berkelanjutan.

Pendalaman ini akan dinilai berhasil apabila ketersediaan pangan dari hasil produksi masyarakat desa; ketersediaan pangan dari lumbung pangan desa; ketersediaan data dan informasi mengenai hasil produksi dan lumbung pangan desa; dan ketersediaan pangan yang beragam, bergizi seimbang, dan berbasis potensi sumber daya lokal.

Kemudian keterjangkauan pangan di desa terdiri atas kelancaran distribusi dan pemasaran pangan; dan ketersediaan bantuan pangan bagi masyarakat miskin, rawan pangan dan gizi, maupun dalam keadaan darurat. Terakhir pemanfaatan pangan di desa yaitu konsumsi pangan yang beragam, bergizi seimbang, dan berbasis pada potensi sumber daya lokal; dan konsumsi pangan yang aman, higienis, bermutu, dan tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat.

Muhammad Irvan Mahmud Asia Direktur Eksekutif Pusat Pengkajian Agraria & Sumber Daya Alam (PPASDA)

(mmu/mmu)
Sumber: https://news.detik.com/kolom/d-7341615/optimalisasi-desa-mandiri-pangan
Tokoh





Graph

Extracted

persons Ahmad Erani Yustika, Sofyan,
companies Dana,
topics Dana desa,
fasums lumbung pangan,
nations Indonesia,
places DKI Jakarta,
cases HAM,