Mengapa Konflik Israel-Iran Tak Akan Jadi Perang Dunia?

  • 03 Mei 2024 16:15:47
  • Views: 4

Jakarta -

Ketika Iran memutuskan untuk membalas serangan Israel ke konsulat mereka di Damaskus, banyak yang mengkhawatirkan pecahnya Perang Dunia III. Tulisan ini memaparkan skenario-skenario seperti apa yang bisa berkembang dari perseteruan Israel dan Iran tersebut.

Untuk membangun skenario perseteruan Israel dan Iran, ada dua variabel yang bisa dipertimbangkan. Pertama, apakah ada aktor lain yang akan terlibat dalam perseteruan mereka atau tidak. Kedua, instrumen apa yang kemungkinan besar digunakan oleh kedua negara tersebut dalam perseteruan mereka. Kombinasi dari dua variabel tersebut akan menghasilkan beberapa skenario yang bisa kita nilai kemungkinan terjadinya.

Penggunaan kekuatan militer hanyalah salah satu dari beragam instrumen negara dalam berhubungan dengan negara lain. Schelling dalam buku klasiknya Arms and Influence, misalnya, membedakan antara kekerasan dari diplomasi atau ancaman penggunaan kekerasan. Penggunaan kekuatan militer sendiri bisa dibedakan dalam beberapa variasi berdasarkan pada cakupan penerjunan pasukan, baik sebagai operasi militer terbatas atau operasi militer besar, atau berdasarkan karakter penggunaannya, baik operasi terbuka maupun tertutup. Hal yang sama juga dapat dilihat dalam hubungan antara Israel dan Iran.

-

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Hubungan kedua negara mulai memburuk sejak 1979 ketika ada perubahan kepemimpinan di Iran dari Shah Reza Pahlevi ke kaum ulama di bawah kepemimpinan Imam Khomeini. Sejak saat itu, kedua negara tersebut tidak pernah akur. Meski demikian, keduanya tidak pernah bertemu muka (direct military confrontation) dalam pertempuran. Aktivitas bersenjata keduanya berlangsung dengan menggunakan proksi, dari sisi Iran, atau operasi tertutup, dari sisi Israel.

Modus operandi utama Iran dalam mengganggu Israel adalah dengan menggerakkan kelompok-kelompok bersenjata anti-Israel yang ada di beberapa negara tetangga Israel. Kelompok pertama, dan paling utama, adalah Hezbollah. Berdirinya kelompok ini tidak terlepas dari peranan Iran. Norton dalam buku Hezbollah: A Short History menulis bahwa bagi Iran, pembentukan Hezbollah merupakan realisasi dari kampanye revolusioner untuk menyebarkan pesan revolusi Islam.

Proksi lain Iran adalah Suriah dan kelompok-kelompok bersenjata yang berbasis di Suriah, seperti Brigade Zaynabiyoun dan Divisi Fatemiyoun. Tidak jarang, koneksi antara Iran dengan proksi-proksinya ini dilabeli sebagai "aliansi bulan sabit Syiah" karena area operasinya yang seakan-akan membentuk bulan sabit dari Iran ke Suriah hingga Lebanon Selatan dan kedekatan ideologis yang mereka miliki. Belakangan, Iran juga memiliki hubungan, dan menjadi pendukung, kelompok-kelompok bersenjata Palestina seperti Hamas dan Jihad Islam Palestina atau kelompok Houthi di Yaman. Melalui proksi-proksinya itulah Iran beroperasi melawan Israel.

Di lain pihak, modus operandi utama dari Israel dalam perseteruan dengan Iran adalah menggunakan operasi intelijen, termasuk namun tidak terbatas pada, pembunuhan terencana. Hal ini dilakukan oleh Israel melalui badan intelijen mereka, Mossad. Pembunuhan beberapa tokoh kunci dalam program nuklir Iran selama periode 2011-2020 menjadi beberapa kasus yang banyak disitir.

Namun, pada akhir 2023, Israel mengubah operasi mereka dari tadinya menyasar tokoh-tokoh kunci yang bukan pengambil kebijakan dan pengendali operasi militer lapangan menjadi menyasar tokoh-tokoh kunci pengambil kebijakan dan pengendali operasi militer di lapangan. Pada Desember 2023, Jenderal Sayyed Mousavi menjadi korban serangan Israel dan pada 1 April 2024 Jenderal Mohammed Reza Zahedi serta Jenderal Hadi Rahimi menjadi korban serangan Israel ke konsulat Iran di Damaskus.

Pergeseran modus operandi Israel inilah yang kemudian mendorong Iran juga melakukan langkah penggunaan instrumen militer langsung dalam serangan balasan mereka pada 13 April lalu. Ketika Israel kemudian memutuskan membalas dengan menyerang instalasi radar di pangkalan militer Iran di Isfahan, maka interaksi militer langsung tersebut dengan segera menghidupkan alarm banyak negara tentang potensi konflik yang lebih besar. Ke depan jika Israel dan Iran kembali pada modus operandi awal tersebut (proksi vs operasi intelijen), maka karakter perseteruan mereka akan kembali pada perang proksi.

Pertanyaan selanjutnya, apakah selain Iran beserta dengan proksi-proksinya dan Israel, akan ada negara lain yang turut serta dalam konflik ini. Kestabilan di kawasan Timur Tengah ditentukan, salah satunya, oleh interaksi antara tiga negara penting di kawasan ini: Iran, Israel, dan Arab Saudi. Tiga negara tersebut membangun kebijakan regional mereka dengan dasar persepsi ancaman, dan bukan semata ideologi. Logika mereka didikte oleh mana negara yang lebih mengancam dan harus ditangkal, atau pada dasarnya logika balancing, seperti yang ditulis Walt dalam The Origins of Alliances. Posisi Arab Saudi, dengan demikian, akan menentukan cakupan konflik ini.

Saat ini, Arab Saudi memiliki hubungan yang cukup dekat dengan Israel maupun Iran. Dengan Iran, mereka melakukan normalisasi hubungan dengan mediasi Cina pada Maret tahun yang lalu. Dengan Israel, muncul upaya-upaya normalisasi yang dijembatani Amerika Serikat, meski belum terlaksana secara formal hingga saat ini. Wintour dalam analisisnya di The Guardian (19/4) menegaskan pentingnya sikap Arab Saudi yang saat ini sedang menghadapi dilema memilih Iran atau Israel.

Arab Saudi sendiri, menurut Khraice dan Dagher dalam laporan mereka di Bloomberg (17/4), menyerukan upaya menahan diri semaksimal mungkin kepada Iran dan Israel. Hal ini menunjukkan bahwa Arab Saudi tampak enggan untuk melibatkan diri dalam konflik dan memilih opsi diplomatik untuk menjembatani relasi kedua negara yang berkonflik. Pilihan Arab Saudi untuk tidak turut serta ini membuat konflik dapat dibatasi hanya antara Israel dan Iran saja atau, dengan kata lain, menjadi perang terbatas saja.

Skenarionya akan berbeda apabila Arab Saudi dan negara-negara Teluk yang ada dalam pengaruh Arab Saudi ikut serta dalam konflik Israel dan Iran. Langkah semacam ini akan membuat karakter konflik akan berubah menjadi perang regional. Hal yang kemudian krusial adalah menentukan kemana Arab Saudi akan berlabuh jika mereka memutuskan terlibat.

Meski demikian, perang regional ini tidak akan menjadi Perang Dunia selama negara-negara besar global, seperti Amerika Serikat, Rusia, dan Cina tidak terlibat dalam perang regional tersebut. Perang Dunia hanya akan pecah manakala negara-negara besar tersebut terseret ke konflik regional, apapun motivasinya. Ada dua hal yang akan bisa menumbuhkan motivasi tersebut. Pertama, nilai strategis kawasan Timur Tengah dalam peta rantai pasok global, terutama energi. Kedua, eksistensi ancaman terorisme global yang bersumber dari kawasan ini. Namun, sejauh ini, negara-negara besar tersebut masih menyerukan langkah menahan diri, baik kepada Israel maupun Iran, dan tidak menampakkan gelagat tertarik dengan konflik terbuka skala besar di Timur Tengah.

Pemetaan tersebut memberi ruang yang lebih jelas bagi masyarakat internasional, termasuk Indonesia, untuk berkomunikasi secara aktif dengan negara-negara kunci tadi agar perseteruan Israel dan Iran dapat diredakan. Indonesia sendiri, melalui Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, sudah berbicara dengan aktor-aktor kunci tersebut dalam rangka melakukan peredaan ketegangan di kawasan. Meski kemungkinan perseteruan Israel dan Iran berubah menjadi Perang Dunia tidak terlalu besar, masyarakat internasional tetap harus berhati-hati dan mencegah meluasnya skala dan cakupan perseteruan mereka.

Broto Wardoyo dosen di Departemen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Indonesia

(mmu/mmu)
Sumber: https://news.detik.com/kolom/d-7323133/mengapa-konflik-israel-iran-tak-akan-jadi-perang-dunia
Tokoh



Graph