Hari Buruh 1 Mei: Gen Z Belum Sejahtera, Pemerintah Takluk Melawan Pengusaha

  • 01 Mei 2024 19:00:46
  • Views: 3

PIKIRAN RAKYAT - Hari Buruh 1 Mei 2024 akan segera tiba. Tanggal tersebut bisa menjadi momentum penting mewujudkan tuntutan buruh yang selalu disuarakan setiap tahun yang tujuannya adalah untuk kesejahteraan seluruh pekerja.

Kondisi buruh muda atau buruh Gen Z perlu diperhatikan terlebih menjelang Hari Buruh 1 Mei 2024 mendatang. Kesejahteraan mereka hendaknya menjadi perhatian utama pemerintah dan pihak terkait, terlebih mereka digadang-gadang akan menjadi bagian dari Generasi Emas 2045.

Buruh Gen Z belum sejahtera

Belum sejahteranya pekerja generasi muda ini menjadi keresahan Ancika (bukan nama sebenarnya). Ia mengaku gaji yang didapatkan dari tempatnya bekerja di Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat kurang atau sangat tidak layak karena beban kerjanya yang banyak. Perusahaan itu lebih banyak menerima lulusan SMA karena ingin karyawannya menurut dan tidak berani protes, di sana terdapat lebih banyak anak Gen Z yang lahir pada rentang 1997-2000 yang bekerja di kantor.

"Saya hanya diberi dua hari libur dalam sebulan. Setiap harinya tidak sesuai dengan jam pulang kerja, seharusnya jam 5 sudah pulang tetapi saya pulang malam. Itu sangat tidak layak, akan jadi beban tersendiri bagi saya dan keluarga," ujarnya kepada Pikiran-rakyat.com melalui pesan singkat pada Selasa, 9 April 2024.

Ancika diberi tahu perusahaan tempatnya bekerja bahwa aturan yang diterapkan berbeda dengan perusahaan normal pada umumnya, hal itu bahkan sudah diumumkan sejak wawancara kerja. Beberapa aturan tersebut yakni hari Sabtu dan Minggu ia tetap bekerja, liburnya hanya dua kali per bulannya, tidak ada uang lembur, dan tidak ada cuti PMS (haid).

"Saya sering bekerja melebihi jam kerja. Aslinya jam kerja dari jam 8 sampai jam 5 sore, hanya saja, sering kali pekerjaan-pekerjaan itu harus dikerjakan sampai selesai. Bahkan saya sering pulang malam, apalagi itu hari-hari akhir bulan, karena memang saya kerjanya juga sistem target," katanya.

"Ketika ada karyawan yang mengajukan cuti melahirkan atau cuti hamil, pekerjaan yang ditinggalkan karyawan itu tidak digantikan oleh rekrutmen dari luar, tetapi oleh karyawan lain yang sedang bekerja, itu menyebabkan problem, karyawan lain double job, tetapi penghasilannya tetap, tidak ada bonus atau tambahan," ujarnya melanjutkan.

Perempuan 24 tahun itu mengaku tidak nyaman bekerja di tempat tersebut karena alasan di atas. Selain itu, alasan lainnya adalah kurang profesionalnya pimpinan yang sering meluapkan kekesalan ke semua karyawan meskipun kesalahan hanya dibuat satu karyawan atau divisi. Hal itu sering menyita waktu produktif sehingga turut memperlambat kinerja.

Ketidaknyamanan itu kemudian menuntunnya untuk resign dari pekerjaannya. Gaji yang menurutnya tidak layak dan target yang di luar batas kemampuan rata-rata karyawan juga menjadi alasan ia memutuskan mencari pekerjaan lain. Ada karyawan lain yang justru mengalami 'dibuat tidak nyaman' agar mengundurkan diri, karena jika terkena PHK (Pemutusan Hubungan Kerja), perusahaan harus memberikan pesangon.

"Itu kan perusahaan yang bergerak di bidang perkreditan, pasti punya saingan bisnis, di saingan bisnis saja tidak sebegitunya, kalaupun sebegitunya ya (karyawan) mendapatkan upah yang layak, bonus-bonus lainnya, dan itu yang membuat saya memutuskan untuk berhenti atau resign walaupun belum (diterima) bekerja di tempat lain. Saya berani ambil risiko itu, bagi saya tidak masalah, daripada merasakan hal-hal seperti itu lagi," ujarnya.

Terkait hak, perusahaan tempat Ancika bekerja memberikan Tunjangan Hari Raya (THR) dan memfasilitasi BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan. Perusahaan juga memberikan bonus untuk healing seperti nonton film di bioskop atau makan-makan.

"Ada healing di awal bulan, meski tidak setiap bulan, saat ada target-target yang melampaui KPI (Key Performance Indicator). Hanya saja, tidak semuanya, tetapi dipilih hanya karyawan-karyawan terbaik yang bisa ikut," kata Ancika.

Di luar semua itu, perempuan yang kini membuka bisnis kecil-kecilan tersebut menyebut perlunya serikat pekerja sebagai wadah menyuarakan keresahan. Pekerja di tempatnya bekerja cenderung takut kepada pimpinan perusahaan.

"Saya merasa tidak nyaman kalau tidak ada serikat pekerja, contohnya saat ingin mengeluh, kita mengeluh ke mana, siapa yang mau memfasilitasi, menjembatani, apalagi kalau menyampaikan aspirasi (ke pimpinan), ujung-ujungnya tetap kami yang disalah-salahin, tidak ada perubahan bagi perusahaan atau pimpinannya," ujarnya.

Negara tak berkomitmen melindungi pekerja, justru lebih dekat dengan pengusaha

Buruh atau pekerja di Indonesia seharusnya diberikan perlindungan karena negara ini adalah negara yang menerapkan demokrasi, tetapi hal itu tidak terjadi dan bahkan menjadi ironi. Pernyataan ini disampaikan Guru Besar Sosiologi Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Sugeng Bayu Wahyono.

"Kita ini negara demokrasi, hak-hak buruh harusnya dilindungi negara, negara seharusnya melakukan tawar-menawar dengan korporasi, dengan perusahaan, agar mewujudkan itu," ujarnya kepada Pikiran-rakyat.com saat ditemui di kediamannya di Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) pada Selasa, 23 April 2024.

"Lapangan kerja saat ini sempit, buruh tidak mempunyai alternatif lain. Mungkin kalau zaman Orde Baru, zaman otoriter, wajar buruh dieksploitasi, tetapi ini negara demokrasi," katanya melanjutkan.

Mengenai buruh Gen Z, pria yang akrab disapa Bayu ini menekankan bahwa semakin rendah tingkat pendidikan buruh, semakin rentan mereka dieksploitasi. Posisi tawar mereka pun lemah di hadapan perusahaan yang akan mempekerjakannya, serikat pekerja juga tidak berdaya.

"Tidak berdayanya buruh juga dipicu sikap fatalistik, itu sikap nrimo (menerima) akan nasib yang ada, mereka tidak memiliki keinginan melakukan perubahan struktural dan radikal, perubahan yang menyeluruh dan ekstrem," tuturnya.

Guru Besar yang juga mengajar di Universitas Gadjah Mada (UGM) tersebut menyayangkan negara yang diam atau tidak hadir mendampingi para buruh. Padahal, negara seharusnya berada di belakang buruh. Ia pun memberikan dua solusi agar masalah tersebut terselesaikan.

"Solusi pertama, negara perlu memakai pendekatan kesejahteraan, dari yang orientasinya growth (pertumbuhan) menjadi wealth (kesejahteraan). Kesejahteraan buruh seharusnya diperhatikan, bukan pertumbuhan ekonominya saja," ujarnya.

Terkait regulasi, Bayu menyebut hal itu sudah dimiliki negara, tetapi komitmen untuk menjalankannya yang rendah. Negara tinggal melakukan monitor terhadap banyak perusahaan di Indonesia, tidak perlu khawatir investor akan pergi, tidak perlu takluk kepada para pengusaha tersebut.

"Selain komitmen negara, perlu juga kontrol oleh masyarakat, LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), sipil, dibantu media melalui jurnalisme investigasi. Tidak terlalu sulit menjalankan regulasi sebenarnya, apa yang sulit?" kata pria 63 tahun tersebut.

Negara juga bisa berperan dalam menetapkan standar UMR (Upah Minimum Regional) sebagai syarat minimal memperhatikan kesejahteraan para buruh. Selain tentunya diperlukan pengawasan intensif terhadap penerapan cuti PMS, cuti hamil, dan hak-hak karyawan lainnya.

"Aparat, sebagai bagian dari negara, juga perlu menyikapi konflik dengan buruh melalui dialog, bisa memakai pendekatan delegatif, perwakilan buruh dipertemukan dengan pengusaha, itu lebih efektif daripada demo walaupun demo tetap boleh dilakukan untuk menyuarakan tuntutannya," tuturnya.***


Sumber: https://www.pikiran-rakyat.com/nasional/pr-018022774/hari-buruh-1-mei-gen-z-belum-sejahtera-pemerintah-takluk-melawan-pengusaha?page=all
Tokoh

Graph

Extracted

ministries BPJS, KPI,
institutions UGM,
topics Buruh, Orde Baru, THR,
events Hari Buruh, Rezim Orde Baru,
products emas,
nations Indonesia,
places DI YOGYAKARTA, JAWA BARAT,
cities Indramayu, Sleman, Yogyakarta,
cases PHK,
musicclubs APRIL,