Gibran Rakabuming Anak Jokowi, Indonesia Mau Dibawa ke Mana?

  • 01 Mei 2024 15:59:39
  • Views: 4

PIKIRAN RAKYAT – Mahkamah Konstitusi (MK) menolak seluruh gugatan yang diajukan capres-cawapres kubu 01 dan 03 dalam sidang sengketa hasil Pilpres 2024 pada Senin, 22 April 2024. Dua hari setelahnya, tepatnya pada Rabu, 24 April 2024 Komisi Pemilihan Umum (KPU) langsung menetapkan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka sebagai Presiden dan Wakil Presiden Terpilih 2024-2029.

Ini artinya, Gibran Rakabuming Raka yang belum genap lima tahun memimpin Solo sebagai Wali Kota Solo harus berkemas untuk mengemban tugas sebagai Wakil Presiden setelah diresmikan pada Oktober 2024 mendatang. Padahal putra mahkota Presiden Joko Widodo (Jokowi) ini baru tiga tahun memimpin Solo.

Lalu apakah modal Gibran Rakabuming Raka yang hanya tiga tahun memimpin Solo itu bisa jadi batu loncatan, dan bekalnya untuk membantu Prabowo Subianto memimpin negara? Apakah kepemimpinan Gibran di Solo bisa jadi patokan bagaimana caranya memimpin masyarakat yang tak hanya di Solo tapi juga di Indonesia mendatang?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut menjadi bahasan dan unek-unek sejumlah pihak yang mengkhawatirkan cara kepemimpinan Gibran ke depannya. Bukan tanpa alasan tentunya, pihak-pihak ini khawatir usai melihat cara instan yang dilakukan Gibran untuk bisa sampai di titik ini.

Baca Juga: Ini Alasan Gibran Enggan Mundur dari Wali Kota Solo Meski Jadi Wapres Terpilih

A.B. Widyanta selaku dosen Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada (UGM) mencoba menerka model kepemimpinan Gibran dilihat dari caranya memimpin Solo kurang lebih 3 tahun ini. Abe, sapaan akrabnya, merasa untuk memprediksi kepemimpinan Gibran berkaca dari caranya memimpin Solo kurang apple to apple dengan tugas menjadi Wapres kelak.

Namun ketika melihat progress pembangunan proyek-proyek strategis di Solo, Abe tak serta merta tutup mata. Pembangunan 17 proyek strategis memang dianggap bisa mendongkrak perekonomian masyarakat Solo.

“Tetapi tentu dengan apa yang sudah terjadi selama tiga tahun kepemimpinan Gibran ini terlihat bahwa secara performa dalam kaitannya menjalankan pemerintahan dan pelayanan publik di Solo menunjukkan gambaran yang cukup baik, dalam kaitannya pembangunan struktur fisiknya terutama, dengan proyek strategisnya,” ujar Abe kepada Pikiran-Rakyat.com.

Pendapat serupa juga disampaikan Bhimo Rizky Samudro selaku dosen Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sebelas Maret (UNS). Proyek pembangunan strategis di Solo memang berjalan sesuai yang ditargetkan oleh Gibran Rakabuming.

Masjid Raya Syeikh Zayed Solo masuk dalam 17 prioritas pembangunan Gibran Rakabuming Raka. /Pikiran-Rakyat.com/Nopsi Marga

Hanya saja, pembangunan-pembangunan tersebut selalu terkuantifikasi dan ditakar dalam ukuran bisnis. Hal ini karena latar belakang Gibran yang juga seorang pebisnis sebelum terjun ke dunia politik.

“Cara pikir kalangan bisnis kan jelas dia bicara benefit cost, dan saya melihat kepemimpimpinan beliau saat menjadi Wali Kota Solo itu semuanya selalu ukurannya adalah yang terkuantifikasi, dan itu ukuran bisnis,” kata Bhimo saat ditemui Pikiran-Rakyat.com.

Tak lepas dari privilege

Tapi tunggu dulu, meski Gibran terlihat sukses membangun beberapa infrastruktur penting di Solo seperti Masjid Sheikh Zayed, Solo Safari, hingga pembangunan Solo Technopark, Ia tak bisa lepas dari tudingan privilege yang didapatkan sebagai putra mahkota Presiden. Hal ini pula yang memicu keraguan di benak masyarakat soal pencapaiannya.

Pembandingnya sangat sederhana yakni era kepemimpinan Wali Kota Solo sebelumnya, F.X. Hadi Rudyatmo yang pembangunannya tak terlalu masif. Berbeda jika dilihat dari kepemimpinan Gibran yang sangat masif dalam waktu tiga tahun.

Solo Safari. /Pikiran-Rakyat.com/Nopsi Marga

Bhimo yang turut mengamati pembangunan program strategis Gibran di Solo menyebut privilege sebagai anak presiden bisa dilihat secara gamblang. Meskipun Gibran tak mau mengakui adanya privilege itu, dan bahkan masyarakat akan sangat kelimpungan jika ingin membuktikannya secara hukum.

“Menjadi masuk akal ketika dia dilingkupi sebagai anak presiden. Kalau kita lihat lagi siapa pun yang punya relasi dengan sebagai anaknya siapa, pasti investasi datang,” ujarnya.

Abe juga menilai privilege yang dimiliki Gibran sangat besar. Bahkan kemudahan-kemudahan itu menurutnya sudah menjadi rahasia umum yang tak perlu dipertanyakan lagi.

Elevated Rail Simpang Tujuh Joglo Solo. /Pikiran-Rakyat.com/Nopsi Marga

“Saya menyebutnya itu Wonder Kid dan itu merupakan privilege karena dia adalah anaknya presiden. Dan orang tahu secara general, mata publik sudah menatap itu, mereka tidak heran, dan sudah jadi rahasia umum . Maka pertumbuhan ekonomi tinggi lebih karena didongkrak proyek-proyek infrastruktur yang besar sekali biayanya,” tutur Abe.

Permasalahannya, jika pembangunan yang terjadi di Solo ada karena privilege bapaknya, kinerjanya selama menjadi Wali Kota Solo jadi tidak bisa teruji. Masyarakat juga tidak memiliki rekam jejak kepemimpinan Gibran di tingkat nasional.

Bak puzzle, masyarakat harus merangkai dan menerka-nerka langkah Gibran saat menjadi Wakil Presiden.

Etika sang Putra Mahkota

Skeptisisme masyarakat soal kepemimpinan Gibran juga dilatarbelakangi dari sisi sikap dan etika sang putra mahkota yang sering tersorot kamera wartawan. Caranya berkomunikasi yang cuek, terkesan slengean membuat kepercayaan publik tak bisa sepenuhnya diraih.

Sebagai seorang pemimpin Gibran seharusnya bisa berkomunikasi secara deliberatif, menjalankan komunikasi yang bisa menyentuh persoalan-persoalan publik, dan harus bisa melakukan komunikasi yang sungguh-sungguh partisipatoris. Komunikasi menjadi kunci bagi seorang pemimpin untuk mendengar problem mendasar di masyarakat serta bisa menjawab keraguan yang muncul.

“Ada satu otoritas yang sebetulnya tertempelkan di dalam diri Gibran ini, lebih pada otoritas semacam bukan achived status tapi ascribed status atau pemberian dari otoritas yang dimiliki Presiden Jokowi sebagai bapaknya,” ucap Abe.

Imej putra mahkota presiden sudah sangat melekat pada diri Gibran, yang justru akan memicu masalah ke depannya. Ia akan terombang-ambing oleh keraguan publik saat menduduki kursi Wapres menemani Prabowo.

Proses Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 kemarin juga sebagai ajang pembuktian untuk Gibran yang ingin menduduki posisi Wapres. Tapi nyatanya etika Gibran yang dipertontonkan ke publik justru etika yang menunjukkan kurangnya sopan santun sebagai seorang anak muda.

“Saya selalu melihat orang dari cara mereka memperlakukan orang lain. Kalau berbisnis oke, tapi bagaimana cara dia memperlakukan orang lain, orang yang lebih tua. Lalu sikapnya, ini memang kayaknya lebih ke pribadi, tapi bagi saya itu jadi simbol cerminan seorang leader,” tutur Bhimo.

Celakanya sikap Gibran yang tidak mencerminan etika baik itu dipuji dan dielu-elukan oleh anak-anak muda, terutama pendukungnya. Gibran justru dinilai sebagai sosok yang berani saat harus berhadapan dengan orang yang lebih tua.

Hal ini bisa dilihat dari komentar-komentar warganet di media sosial saat memuji sikap Gibran kala menjawab lawan debatnya yang lebih tua.

Jika soal etika saja Gibran memiliki nilai rendah, lalu bagaimana dengan tugas Wapres lainnya kelak? Sebagai wapres beban yang harus ditanggung di pundaknya cukup berat karena mencakup seluruh dimensi ketatanegaraan, problem geopolitik internasional, hingga problem keamanan lintas sektor.

Pekerjaan Rumah (PR) Gibran sangat banyak

Sebagai Wakil Presiden terpilih, Gibran memiliki pekerjaan rumah (PR) yang sangat banyak mulai dari pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM), krisis Sumber Daya Alam (SDA) akibat eksploitasi besar-besaran, hingga bencana demografi.

Sanggupkah Gibran menangani hal itu? Atau malah terkurung dalam kerangka pikir seperti Jokowi sebagai role modelnya?

Pembangunan SDM

Pembangunan infrastruktur yang sangat masif dilakukan Gibran diperkirakan akan terjadi pula jika Ia menjadi wapres. Apalagi Prabowo-Gibran menyatakan akan meneruskan program-program Jokowi yang memang banyak membangun infrastruktur.

Celakanya paradigma tersebut justru akan memicu krisis SDM, karena selalu terkalahkan dengan proyek-proyek infrastruktur. Kelak bangunan-bangunan yang telah dibangun hanya akan menjadi menara gading tanpa SDM yang berkualitas, dan berujung tidak akan bertahan lama.

Padahal SDM yang berkualitas adalah kunci dari keberlanjutan Indonesia, mengingat Prabowo-Gibran berjanji membawa negara menjadi Indonesia Emas 2045. Dengan kualitas SDM yang bagus, maka pembangunan infrastruktur negara baru akan berguna dengan baik.

“Keuangan akan menjadi problem serius ketika yang kita bangun adalah selalu infrastruktur atau menara gading seperti itu. Yang mustinya pembangunan berkelanjutan sesungguhnya mesti meletakkan keberlanjutan itu ada di dalam kekayaan pikiran manusianya,” tutur Abe.

Dosen Fisip UGM ini menyebut jika pembangunan fisik yang jadi prioritas pemerintah, nantinya hanya akan mengulangi sejarah kegagalan Orde Baru (Orba). Pembangunan fisik saja juga akan memutilasi kekayaan sumber yang bisa mengantarkan Indonesia ke cita-cita keberlanjutan.

Belum lagi potensi utang yang lumrah dilakukan oleh Gibran yang memiliki background pengusaha. Jika pembangunan tak dipikirkan keberlanjutannya, maka itu akan sia-sia, mengingat pendidikan masyarakat juga tidak bisa mengimbanginya.

Dalam visi dan misi Prabowo-Gibran memang tidak menempatkan pendidikan sebagai prioritas. Sebaliknya mereka dinilai hanya membuat program yang sensasional tujuannya untuk meraih hati rakyat, terutama soal makan siang gratis yang dicanangkan di sektor pendidikan.

Abe menilai program tersebut tidak dipertimbangkan dengan baik mulai dari anggaran hingga keragaman pangan masyarakat Indonesia. Padahal setiap daerah bisa mengembangkan program pangan masing-masing dengan anggaran yang ada dan mendukung keberagaman pangan tiap daerah.

Dikhawatirkan program makan siang gratis seperti yang dicanangkan hanya akan menjadi ladang korupsi pejabat. Bahkan bisa muncul orang-orang yang melakukan abuse of power atau menyalahgunakan kekuatan.

“Program makan siang gratis yang seragam, akan menjadi problem sangat serius ketika dijadikan sebagai program nasional, dan sangat kontraproduktif dengan kedaulatan-kedaulatan pangan di level lokal yang sangat beragam,” ujar Abe.

Selain soal program makan siang gratis, resentralisasi program-program pemerintah yang ditujukan untuk seluruh daerah juga jadi problem serius. Beberapa daerah yang memiliki damage berbeda, tapi disamaratakan tanpa mempertimbangkan kebutuhan tiap daerah. 

Para pemimpin harus berpikir kompleks untuk menangani problem-problem yang ada di tiap daerah. Jika diseragamkan hal itu hanya akan membuat negara terjatuh, terpeleset pada kepentingan bias pembangunan infrastruktur yang glamor.

Eksploitasi SDA

Pembangunan yang masif juga akan memicu eksploitasi SDA besar-besaran di Tanah Air yang harusnya kekayaan alamnya dimanfaatkan untuk seluruh masyarakat Indonesia. Sejauh ini ada empat jenis eksploitasi yang dilakukan oleh negara.

Pertama, eksploitasi di lini perkebunan yang sudah ditunjukkan dengan banyaknya kebun kelapa sawit yang justru banyak dimiliki perusahaan luar negeri. Banyaknya perkebunan kelapa sawit juga memicu krisis biodiversitas di Indonesia.

Kedua adalah eksploitasi industri ekstrakfif seperti nikel yang tengah digenjot pemerintah. Selain lapisan tanah yang makin dikeruk, masyarakat juga mulai berganti profesi karena lahan mereka mulai disulap menjadi galian-galian tambang.

Ketiga adalah eksploitasi sektor pariwisata, penciptaan 10 Bali baru untuk mendongkrak ekonomi dari sektor pariwisata telah menjadi ancaman bagi ekologi di berbagai tempat. Eksklusi mulai terjadi, dan masyarakat adat yang jadi korban dari eksploitasi dan ambisi pemerintah tersebut.

Keempat adalah revolusi 4.0, yang selalu menekankan pembangunan teknologi berbasis digital yang dihadapkan dengan tidak meratanya infrastruktur teknologi di Indonesia. Ketimpangan teknologi membuat masyarakat gelagapan menerima teknologi baru tersebut.

Bahkan jika ada masalah yang kaitannya soal gagalnya teknologi yang dikenalkan, pemerintah cenderung cuci tangan. Judi online misalnya, meski ada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) nyatanya korban tak mendapat perlakuan dan solusi yang adil.

Bencana demografi

Benarkah Indonesia Emas 2045 akan tercapai? Benarkah bonus demografi di Indonesia bisa dikelola dengan baik?

“Narasi pemerintah soal bonus demografi itu adalah narasi kosong, sebetulnya itu adalah bencana demografi, bukan bonus demografi. Jadi ada sesat pikiran dalam cara pemerintah membaca bonus demografi,” tutur Abe.

Pemerintah saat ini belum menyiapkan masa depan milenial dan zilenial dengan baik, sehingga bonus demografi justru bisa jadi bencana. Banyak kompleksitas-kompleksitas yang harus ditangani oleh Gibran ke depannya.

Dari problematika-problematika yang disebutkan tersebut, demokrasi di Indonesia makin menunjukkan kelemahannya. Ada kesuraman yang dibaca sejumlah pakar usai Pemilu 2024 yang dicederai laku culas Gibran dan kroninya.

Pertanyaan terbesar tentu adalah apakah Gibran sanggup menghadapi kompleksitas masalah yang ada di Indonesia saat ini? Apakah Ia mau mendengar dan memahami masyarakatnya? Bukan sekadar banyak membangun infrasturktur fisik belaka.***


Sumber: https://www.pikiran-rakyat.com/nasional/pr-018025603/gibran-rakabuming-anak-jokowi-indonesia-mau-dibawa-ke-mana?page=all
Tokoh







Graph

Extracted

persons Gibran Rakabuming Raka, Joko Widodo, Prabowo,
ministries KPU, MK, OJK,
institutions UGM,
topics Orde Baru, Pemilu 2024, Pilpres 2024,
events Rezim Orde Baru,
fasums Technopark,
products emas,
nations Indonesia,
places JAWA TENGAH,
cities Joglo, Solo,
cases korupsi,
brands Apple,
musicclubs APRIL,