Ditanya Kapan Nikah Bisa Bikin Depresi, Terungkap Alasan Kita Terlalu Terobsesi pada Pernikahan

  • 28 April 2024 15:38:02
  • Views: 6

PIKIRAN RAKYAT - Pernikahan merupakan proses menyatukan dua insan manusia secara sah, baik di mata hukum maupun agama. Banyak tujuan yang ingin dicapai oleh pasangan pada saat akan mengarungi bahtera rumah tangga, salah satunya adalah ingin memiliki keluarga yang bahagia.

Banyak orang menganggap pernikahan sebagai sesuatu yang harus disegerakan, apalagi jika usia sudah matang. Hal itu pula yang tampaknya membuat masyarakat Indonesia kerap melontarkan pertanyaan 'Kapan nikah?' ketika bertemu.

Meski terdengar sederhana, tetapi tak sedikit orang yang merasa pertanyaan itu 'mengganggu'. Bahkan, dampaknya tak main-main bagi kondisi psikis seseorang yang terus-menerus ditanya 'kapan nikah?'.

Seperti yang dialami Siti Aulia (27), perawat di salah satu Rumah Sakit di Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Di usianya yang sudah hampir kepala tiga, dia mengaku sering mendengar pertanyaan itu dari orang-orang di sekitar.

"Di momen-momen hari besar, contohnya kayak kemarin Idul Fitri, terus saat kumpul di tempat kerja, kumpul teman dekat," ucapnya saat dihubungi Pikiran-Rakyat.com, Sabtu 20 April 2024.

Pertanyaan seperti 'kapan nikah?', 'kenapa belum menikah?', dan 'Sudah ada jodohnya kok belum menikah?' sudah tak asing di telinganya. Bahkan, Siti Aulia juga kerap dibandingkan dengan orang-orang seusianya yang sudah lebih dulu melangsungkan pernikahan.

"Untuk saat ini orang-orang di tempat kerja (paling sering nanya) sih, karena mungkin kalau dengan keluarga udah jarang bertemu dan berkumpul. Jadi, lebih sering teman-teman dekat di lingkungan kerja," tuturnya.

Meski begitu, Siti Aulia mengaku santai. Tak ada kalimat tanya dari orang-orang yang dirasa melewati batas, karena dia memilih untuk 'dibawa enjoy aja' omongan orang-orang tersebut.

"Dibawa santai, dibawa enjoy aja. Karena kan mereka juga gak tahu proses kita di belakang gimana, jadi ya udah happy aja. Toh juga kalau momennya dikasih tahu," ujarnya.

Akan tetapi, Siti Aulia tak menampik jika dia pernah dibuat kesal oleh orang-orang yang kerap bertanya 'kapan nikah' kepadanya. Namun, lagi-lagi semua itu tak terlalu diambil pusing.

"Kalau banyak yang nanya kapan nikah, jawabannya 'Insya Allah, kalau Allah mengizinkan. Allah juga pasti memudahkan urusan kita, doain aja'," ucapnya.

Meski mengaku santai, Siti Aulia mengaku banyaknya pertanyaan kapan nikah dilontarkan, membuatnya jadi lebih malas ikut perkumpulan. Baik itu kumpul keluarga seperti di momen Lebaran, hingga bertemu dengan rekan kerja.

"Kadang ada momen di mana ya kalau sudah ada pertanyaan kayak gitu, males ketemu orang. Emang, kadang ketemu orang cuma buat nanyain kapan nikah, tapi gimana ya? Karena perasaannya emang dibawa enjoy, gak dipikirin, jadi ya udah," katanya.

Mencari Jawaban Nyeleneh agar Tak Terus-terusan Ditanya

Tak berbeda jauh dengan Siti Aulia, Murni Amalia Ridha (43) juga masih sering mendapatkan pertanyaan 'kapan nikah' dari orang-orang di sekitarnya. Namun, pekerja swasta yang tinggal di Rawajati, Jakarta Selatan, itu memiliki trik ampuh dalam menghadapi pertanyaan tersebut.

Sudah sering ditanya 'kapan nikah' sejak zaman kuliah pada awal 2000-an, dia mengaku pertanyaan itu kini sudah mulai jarang dilontarkan. Namun, sang penanya kini sudah mulai bergeser, yang awalnya keluarga yang lebih tua dan teman ibu-bapak, kini justru teman sendiri yang banyak menanyakannya.

"Gak sebanyak dulu memang, tapi ada aja sih sampai sekarang. Kalimatnya tuh standar ya, lebih ke 'kapan nih?', 'kapan terima undangan?'," ujar Murni Amalia Ridha kepada Pikiran-Rakyat.com.

"Akan tetapi, nadanya tuh ringan tanpa ada concern, maksudnya tanpa ada yang bener-bener peduli 'kok kamu tuh belum nikah', cuma mungkin satu dua lah yang bener-bener nanyain. Itu biasanya kalau enggak temen deket atau sepupu yang sering ngobrol, baru beneran concern 'beneran nih kamu gak akan nikah?'," tuturnya menambahkan.

Belum menikah di usia yang sudah kepala empat, tak sedikit 'penghakiman' yang diterima Murni Amalia Ridha. Dituntut untuk segera menikah hingga disebut perawan tua pun sudah sering dia dengar.

"Jadi kalau dulu ada nada penghakiman, misalnya kayak 'ih nanti telat loh' atau 'ih nanti kamu usia kan, perempuan kan ada usianya' atau 'ih nanti gak laku', 'nanti perawan tua loh'. Kayak-kayak gitu tuh ada, itu paling sekitaran sampai umur 30-an awal," kata Murni Amalia Ridha.

"Perawan tua tuh kenapa? Kok jelek banget stigmanya. Aku sakit hati lebih karena orang mulai ngecap aku jadi sesuatu yang buruk di masa depan, padahal belum kejadian. Belum apa-apa udah perawan tua, seakan-akan mendoakan atau seakan-akan ke depan udah pasti suram. Padahal kan enggak juga," tuturnya menambahkan.

Akan tetapi, Murni Amalia Ridha mengaku kini lebih banyak memberikan jawaban yang nyeleneh kepada orang-orang. Dengan begitu, lama-lama mereka tak banyak bertanya masalah pernikahannya.

"Tapi sejak aku cari jawaban-jawaban aneh, itu sebenarnya orang mulai udah gak berani atau gak tahu cara ngejawabin aku lagi. Jawaban aneh tuh misalnya tetanggaku suka nanya 'kamu kok gak nikah-nikah? Kapan mau nikah, emang ada yang ngajakin?' terus aku jawabnya 'Kalau yang ngajakin banyak tante, tapi jadi istri kedua gimana dong?'. Dari situ, tetanggaku udah gak tahu harus jawab apa," tuturnya menambahkan.

Sejak saat itulah, Murni Amalia Ridha mengaku jadi rajin mencari jawaban yang 'nyeleneh', hingga membuat orang-orang malas untuk meneruskan pertanyaannya. 

"Nah di masa gak peduli itu mulai mencari jawaban aneh-aneh, karena ini akan dihadapi terus," ucapnya.

"Dibawa seru aja sih akhirnya, karena di usia yang sekarang 40-an gak ada tuh orang-orang yang ngomong kapan nikah ngebantuin. Kenalin kek, siapa kek. Ada sih beberapa orang yang ngejodohin, tapi jelas-jelas gak tahu seleraku seperti apa. Emang semua orang itu cuman ngelempar pertanyaan yang gak dipikirin dampaknya ke yang ditanya," ujar Murni Amalia Ridha menambahkan.

Masyarakat Kita Terlalu Kepo

Pengamat sosial, Prof Ali Maksum melihat kebiasaan masyarakat Indonesia yang kerap bertanya 'kapan nikah' tak terlepas dari tradisi yang masih sangat memegang teguh fungsi keluarga. 

Oleh karena itu, keberhasilan seseorang tidak hanya dilihat dari sisi akademik, karier, atau ekonomi. Namun, salah satu indikator keberhasilan seseorang, terutama perempuan, dilihat dari pernikahan, membangun keluarga, dan memiliki anak.

"Ini tradisi yang baik, tapi tidak selamanya harus seperti itu. Karena pertanyaan-pertanyaan itu sangat tendensius," ucap Ali Maksum saat dihubungi Pikiran-Rakyat.com.

Dosen di Departemen Sosiologi Universitas Brawijaya itu menuturkan, ada sisi di mana orang-orang menanyakan dengan tulus terkait pernikahan. Namun, tak bisa dimungkiri, ada tendensi-tendensi lain di baliknya.

"Kalau sudah usia di atas 25, lebih-lebih di atas 30, belum menikah itu akan dipandang sebelah mata atau pandangannya negatif terhadap seseorang itu, terutama perempuan. Kalau pada laki-laki sih itu masih dianggap normal ya usia 25-30 belum menikah, tapi bagi perempuan itu sesuatu yang masih menjadi persoalan di masyarakat," tutur Ali Maksum.

Menurutnya, kebiasaan masyarakat Indonesia yang hobi bertanya kapan nikah merupakan hasil dari rasa ingin tahu mereka. Jika dalam bahasa gaul sekarang, bisa dibilang masyarakat kita terlalu 'kepo'.

"Kepo untuk mengetahui sebetulnya sudah menikah atau belum sih. Sudah lama menikah, sudah punya anak atau belum? Itu sebenarnya berangkat dari kepo ya, rasa ingin tahu," kata Ali Maksum.

"Akan tetapi, sebetulnya pertanyaan itu kadang-kadang untuk mencibir. Kalau belum menikah akan dikatakan di masyarakat itu sebagai perawan tua atau tidak laku atau kembang desa dan sebagainya. Lalu sudah menikah, setahun, dua tahun, tiga tahun lebih belum punya anak, maka akan muncul isu-isu atau gosip-gosip apakah mandul dan sebagainya," tuturnya menambahkan.

Pertanyaan yang sifatnya sensitif dan private itu pun masih sering ditanyakan oleh masyarakat. Padahal, tujuannya hanya untuk kepo, karena salah satu indikator keberhasilan seseorang di masyarakat tak sekadar terkait dengan hal-hal akademik atau status sosial-ekonomi. Namun, memiliki keluarga masih dianggap sebagai hal yang penting.

"Jadi seringkali kita itu mengukur seseorang dari ukuran orang lain, mengukur satu keluarga dengan keluarga yang lain. Itu masih sering terjadi, dan ujung-ujungnya menyakitkan bagi yang dibanding-bandingkan seperti itu," ujar Ali Maksum.

"Itu kelatahan masyarakat kita yang belum menempatkan hak asasi atau kebebasan individu sebagai hal yang prioritas. Jadi, dikira standar kehidupan itu semua sama. Padahal, sekarang ini sudah mulai ada perubahan-perubahan di masyarakat. Hal-hal yang dulu sifatnya publik, ya sekarang ini sudah mulai bergeser sifatnya private," ucapnya menambahkan.

Ali Maksum pun mengingatkan, agar masyarkat bisa lebih menghormati dan menghargai pilihan-pilihan seseorang yang sifatnya individu. Termasuk, masalah mengenai pernikahan.

Sayangnya, masyarakat Indonesia pada umumnya masih terbawa oleh tradisi kolektifitas bahwa berkeluarga itu masih menjadi hal yang prioritas. Terlepas dari budaya, agama juga dinilai menjadi salah satu penentu kebiasaan tersebut.

"Masyarakat kita itu sangat agamis, masyarakat beragama di mana membangun keluarga itu juga menjadi salah satu dari kewajiban agama," ucap Ali Maksum.

"Jadi, perpaduan antara tradisi dan tuntutan agama itulah yang menjadikan budaya-budaya bertanya hal-hal yang sifatnya privat individu itu terus berlangsung dan bertahan sampai sekarang ini," tuturnya menambahkan.

Bisa Menyebabkan Depresi dan Kecemasan

Psikolog klinis, Trianindari mengungkapkan dampak terburuk dari seringnya seseorang ditanya 'kapan nikah' oleh orang-orang sekitar. Meski jarang terjadi, hal itu bisa membuat seseorang sampai mengalami depresi.

"Kalau kita lihat dari teori perkembangan, setiap manusia itu kan punya milestone-nya ya, kayak tahapan perkembangan setiap individu. Jadi, misalnya usia 0-6 itu milestone-nya kan usia bermain, 6-12 usia sekolah, terus misalnya 12-18 usia remaja, 18 sampai masa kuliah ya masa menempuh pendidikan," tuturnya kepada Pikiran-Rakyat.com.

"Setelah itu memang di usia dewasa awal, 21-22 ke atas, itu di mana milestone-nya orang atau individu memang memiliki hubungan romantis yang arahnya ke serius atau pernikahan, sama memang eksplorasi pekerjaan. Jadi, kalau dari milestone individu, kenapa orang punya tendensi bertanya? Ya karena di usia 20 ke atas itu memang usia pernikahan," ujar Trianindari menambahkan.

Oleh karena itu, pada akhirnya orang-orang yang sudah menginjak usia 20 tahun cenderung mudah diberi pertanyaan terkait pernikahan.

Jadi memang akhirnya, orang-orang di usia itu cenderung mudah diberi pertanyaan terkait pernikahan atau pun pekerjaan. Apalagi, secara umum di Indonesia milestone menikah ada pada usia 25 sampai 30. Jadi, orang-orang yang belum menikah di usia itu pasti secara tidak langsung akan dibandingkan dengan orang-orang yang sudah menikah.

Dampak dari seringnya ditanya kapan nikah pun bervariasi, tergantung pada individu yang menerimanya. Jika dia memaknai pertanyaan itu sebagai hal yang tak perlu diambil pusing, tentu tidak masalah.

"Akan tetapi, buat sebagian orang yang menganggap pertanyaan itu sebagai peristiwa menekan, sebagai bentuk penderitaan mungkin ya, itu bisa jadi dialami sebagai peristiwa yang traumatik," ujar Trianindari.

"Kalau sampai dia menganggap itu trauma, jadi kan akhirnya dia menghindari peristiwa itu. Jadi kebanyakan kan akhirnya menghindari orang-orang yang mungkin akan bertanya kepadanya. Jadi kayak mereka menghindari momen lebaran, menghindari ke rumah saudara, atau menghindari bertemu teman-teman," ucapnya menambahkan.

Jika sudah berada di tahap menghindari acara keluarga atau kumpul dengan teman, Trianindari mengatakan bahwa individu tersebut mempersepsikannya sebagai suatu tekanan. Ketika sudah mempersepsikan itu sebagai suatu tekanan, mereka akan muncul gejala stres.

"Gejala stres itu bisa dimulai dari yang ringan seperti cemas, takut, khawatir, deg-degan, keringat dingin pada saat ditanya. Sampai yang mungkin berat, kalau udah berat nanti mengarahnya ke depresi atau anxiety," katanya.

"Misalnya begini, saat ditanya terus-terusan, dan gejala ringan yang dialami tadi dialami terus-terusan 2 sampai 6 minggu berturut-turut, bisa jadi nanti mengarah ke gejala depresi atau kecemasan," tutur Trianindari menambahkan.

Dia pun memberikan sejumlah tips agar tidak mudah stres ketika ditanya kapan nikah oleh orang-orang sekitar. Pertama, tentu harus menerima dulu kondisi yang belum menikah.

"Kedua, harus tahu tujuannya. Sekarang di kondisi belum menikah itu apakah memang belum ingin menikah atau belum ketemu jodohnya? Harus tahu dulu itu. Karena nanti kan solusinya akan berbeda," ucap Trianindari.

"Kalau memang belum ingin menikah dan yakin dengan tujuan itu, jadi kan harus menjelaskan juga ke orang-orang yang bertanya 'Iya, doain aja. Memang saya masih menata diri, memperbaiki diri, mengembangkan diri untuk akhirnya saya siap menikah'," tuturnya menambahkan.

Akan tetapi, jika alasannya karena belum mendapatkan jodoh tapi sudah ada keinginan untuk menikah, bisa memberikan jawaban seperti 'doain aja' atau 'cariin jodohnya ya'.

"Ketiga, ya belajar bodo amat sih. Punya boundaries sama lingkungan, punya batasan bahwa kita tidak bisa mengontrol perilaku orang lain," kata Trianindari.

"Akan tetapi, kita bisa mengontrol perilaku kita, kita bisa mengontrol ekspresi kita, kita bisa mengontrol perasaan kita dan pikiran kita pada saat ada pressure dari lingkungan," tuturnya menambahkan.***


Sumber: https://www.pikiran-rakyat.com/nasional/pr-018018879/ditanya-kapan-nikah-bisa-bikin-depresi-terungkap-alasan-kita-terlalu-terobsesi-pada-pernikahan?page=all
Tokoh

Graph

Extracted

institutions Universitas Brawijaya,
topics KEK,
nations Indonesia,
places DKI Jakarta, JAWA BARAT,
cities bandung, Rawajati,
musicclubs APRIL,