Neuroanticorruption: Inovasi Pencegahan Tindak Pidana Korupsi Berbasis Neurosains

  • 03 Agustus 2022 07:06:22
  • Views: 4

PANDEMI COVID-19 belum selesai, tetapi korupsi semakin menjadi-jadi. Bahkan, ancaman hukuman mati, tidak membuat koruptor jera, melainkan justru semakin merajalela. Hal ini ditandai dengan merosotnya Indek Persepsi Korupsi Indonesia dari 40 pada tahun 2019 sebelum munculnya COVID-19 menjadi 37 di tahun 2020 ketika COVID melambung tinggi. Meskipun pada tahun 2021 IPK naik 1 point menjadi 38 (skala 100), namun upaya Indonesia bersih dari korupsi masih jauh dari harapan. Hingga saat ini negara paling bersih darikorupsi masih ditempati oleh Denmark, Finlandia dengan IPK 88.

Sedangkan Indonesia masih berada di urutan 96 dari 180 negara. Padahal, Indonesia adalah negara religius yang memiliki 6 agama resmi dan semuanya melarang korupsi. Dalam Islam korupsi merupakan dosa besar bahkan dalam buku Fikih Antikorupsi Perspektif Ulama Muhamamdiyah dinyatakan sebagai Syirik Akbar.

aria-hidden=true

Perilaku koruptif yang semakin meningkat di tengah pandemi Covid 19 menunjukkan bahwa terpuruknya perekonomian akibat efek pandemi menjadi salah satu pemicu utamanya. Hal ini sangat memprihatinkan mengingat kondisi masyarakat di masa pandemi Covid 19 secara umum cenderung menurun dibandingkan masa sebelum pandemi. Situasi tersebut diperparah dengan tertangkapnya beberapa menteri dan wakil menteri dalam kasus korupsi yang terjadi di massa pandemi menunjukkan bahwa situasi pandemi ini justru menjadi sebuah potensi tersendiri dalam terjadinya tindak pidana korupsi karena adanya bantuan sosial banyak disalah gunakan.

Pemberantasan korupsi tidak cukup dengan penagakan hukum secara represif semata, namun perlu didukung dengan upaya pencegahan secara preventif. Sejauh ini, upaya pencegahan masih bersifat tambal sulam salah satunya melalui Pendidikan, penyuluhan, pelatihan dan sosialisasi antikorupsi. Namun, hingga saat ini upaya pencegahan korupsi belum memanfaatkan kemajuan teknologi, khususnya neurosains (ilmu yang mempelajari tentang otak). Dalam neurosains, otak koruptor hanya normal tetapi tidak sehat. Oleh karena itu, diperlukan teknologi pencegahan korupsi yang mampu mendeteksi dan membedakan gelombang otak normal dan otak sehat. Alat ini dapat digunakan oleh aparatur pemerintah atau penyelenggara nagara untuk seleksi pejabat guna memastikan otak sehat tidak sekadar normal. Inilah pencegahan korupsi sejak dini berbasis neuurosains.

Dalam hal ini inovasi dari Tim Periset dari Universitas Ahmad Dahlan yang diketuai oleh Dr. Suyadi, M.Pd.I dan beranggotakan Anton Yudhana, Ph.D serta saya sendiri merancang reka-cipta teknologi pencitraan otak untuk mendeteksi gelombang otak perilaku koruptif yang disebut dengan istilah, “Neuro-Anticorruption. Terdapat enam area otak yang disinyalir meregulasi perilakui koruptif, yakni kortek prefrontal, sistem limbik, ganglia basalis, girus cingulat, lobus temporalis, dan cerebellum (Pasiak, 2012). Alat yang merupakan luaran dari Penelitian Terapan Unggulan Perguruan Tinggi Multitahun ini diproyeksikan dapat menangkap sinyal gelombang otak khususnya pada area-area tersebut sehingga dapat diketahui normal atau sdehat.


https://www.krjogja.com/opini-2/neuroanticorruption-inovasi-pencegahan-tindak-pidana-korupsi-berbasis-neurosains/

Sumber: https://www.krjogja.com/opini-2/neuroanticorruption-inovasi-pencegahan-tindak-pidana-korupsi-berbasis-neurosains/
Tokoh



Graph

Extracted

persons Basuki Hadimuljono,
organizations PERSEPSI,
religions Islam,
topics Bantuan Sosial,
nations Denmark, Finlandia, Indonesia,
cases covid-19, korupsi, Tipikor,