Karut-Marut Perlindungan di Dunia Kerja, Indonesia Belum Ratifikasi ILO 190

  • 24 Juli 2022 08:46:36
  • Views: 3

JAKARTA - Indonesia sebagai negara yang mendukung disahkannya Konvensi ILO (International Labour Organization) 190 hingga kini belum menunjukkan keseriusan untuk melakukan kajian apalagi untuk meratifikasinya. Sejak disahkan sekitar 3 tahun lalu atau tepatnya pada 21 Juni 2019, hingga kini tercatat baru 18 negara yang meratifikasi Konvensi ILO 190. Negara-negara itu di antaranya Chile, Argentina, Fiji, Ekuador, Namibia, Somalia, dan Uruguay.

Pemerintah, lewat Kementerian Ketenagakerjaan yang berwenang dengan masalah ini menyatakan, saat ini Indonesia sudah memiliki peraturan yang melindungi pekerja yakni UU Ketenagakerjaan dan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang baru saja disahkan. Aturan-aturan itu dinilai efektif menangani kekerasan seksual di tempat kerja.

Di sisi lain, kalangan pengusaha menilai masalah kekerasan di tempat kerja bisa diselesaikan sesuai peraturan dan kode etik masing-masing perusahaan. Namun, organisasi buruh dan masyarakat sipil yang tergabung dalam Aliansi Stop Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja menilai, UU TPKS tidak cukup untuk menangani kekerasan di dunia kerja. Kekerasan di dunia kerja selama ini cukup beragam bentuk. Namun, semuanya mengarah pada kerugian fisik, psikologis, seksual, dan ekonomi.

Aliansi mencatat, masih sangat sedikit perusahaan yang serius dalam menangani kekerasan yang dialami para pekerjanya. Sementara kekerasan, terutama kekerasan berbasis gender, masih menjadi ancaman nyata bagi pekerja, terutama pekerja perempuan.

Riset terbaru Departemen Pendidikan Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) pada 2020 menemukan sebanyak 56,1% kasus kekerasan berbasis gender berupa pelecehan seksual fisik dan 43,1% kasus pelecehan seksual nonfisik. Adapun pelecehan seksual non fisik berupa pelecehan seksual verbal paling banyak dialami perempuan buruh garmen (106 orang) dibandingkan dengan pelecehan seksual fisik (79 orang).

Dalam riset terbaru nya, Aliansi Stop Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja mencatat, kekerasan, pelecehan, diskriminasi, dan eksploitasi di dunia kerja masih sangat tinggi. Riset Serikat Sindikasi bersama Indonesian Cinematographers Society (ICS) pada 2022 mencatat tingginya eksploitasi pada para pekerja film. Mereka masih bekerja 16-20 jam/hari.

Riset Koalisi Seni pada 2021 mencatat, secara umum perempuan pekerja seni cenderung bekerja dengan intensitas kerja tinggi dan beban emosional besar. Mereka juga tidak dibekali keterampilan kerja yang cukup, kurang punya pengaruh dalam pengambilan keputusan, dan bekerja dengan durasi panjang.

Survei Upah Layak Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta pada 2021 menemukan realitas, masih ada jurnalis perempuan yang diupah lebih rendah dibanding jurnalis laki-laki. Survei PR2Media pada 2021 mengungkap sebanyak 85,7% jurnalis perempuan pernah mengalami kekerasan, baik kekerasan fisik, seksual, psikis, dan kekerasan juga kekerasan secara online. Mereka pernah diajak kencan narasumber, ada yang dirayu mau dijadikan istri, hingga diancam dibunuh.

Di luar itu, AJI Indonesia mencatat, jurnalis secara umum juga mengalami kekerasan dan intimidasi dalam sejumlah kasus peliputan. Misalnya saat peliputan lingkungan di Wadas, ancaman kekerasan, teror dan peretasan dialami jurnalis dan media yang tergabung dalam IndonesiaLeaks (IL).

ILO, dalam sebuah pernyataannya menyebutkan, kekerasan dan pelecehan yang dialami pekerja di dunia kerja mempengaruhi kesehatan psikologis, fisik dan seksual seseorang. Kekerasan dan pelecehan itu juga berdampak negatif pada martabat, keluarga serta lingkungan sosial pekerja.

Guru Besar FH UGM Sr W. Eddyono, yang juga Konsultan ILO, dalam tinjauannya menemukan adanya kesenjangan antara Konvensi ILO 190 dengan instrumen terkait perlindungan pekerja dari kekerasan. Ia menjelaskan, peraturan dan instrumen yang ada masih terfokus pada satu lapisan masalah, belum memadai untuk melindungi korban kekerasan di tempat kerja.

Ia menilai ada banyak aspek perlindungan yang perlu ditinjau. “Apakah ada layanan perlindungan yang diberikan oleh peraturan yang ada? Apakah ada perlindungan kerahasiaan? Apakah ada perlindungan hukum? Apakah ada jaminan bahwa pekerja yang melaporkan pelecehan tersebut masih dapat mempertahankan pekerjaannya? Dan ini perlunya payung hukum yang komprehensif, kata dia, dalam keterangan resmi yang diterima MPI.

Di sisi lain, derasnya liberalisasi pasar kerja kian memperdalam ketimpangan gender dan mereproduksi beragam diskriminasi, kekerasan, dan pelecehan di dunia kerja. Sehingga dibutuhkan peraturan yang lebih komprehensif.

Konvensi ILO 190 merupakan definisi internasional pertama tentang kekerasan dan pelecehan di dunia kerja, termasuk di dalamnya kekerasan dan pelecehan berbasis gender. Konvensi ini melindungi semua pekerja, termasuk pekerja yang selama ini diinformalkan seperti pekerja rumah tangga, pekerja magang dan sebagainya, serta memastikan tempat kerja yang lebih aman dan lebih produktif dengan melindungi kelompok yang paling rentan.

Konvensi ILO 190 dan Rekomendasi No 206 ini membuat masalah perlindungan kekerasan bagi pekerja terlihat lebih jelas. Sebagai standar ketenagakerjaan internasional, Konvensi ILO 190 mengakui perlindungan dari kekerasan sebagai hak pekerja seperti upah, jam kerja, kondisi kerja dan sebagainya.


https://nasional.okezone.com/read/2022/07/24/337/2635250/karut-marut-perlindungan-di-dunia-kerja-indonesia-belum-ratifikasi-ilo-190?page=1

Sumber: https://nasional.okezone.com/read/2022/07/24/337/2635250/karut-marut-perlindungan-di-dunia-kerja-indonesia-belum-ratifikasi-ilo-190?page=1
Tokoh

Graph

Extracted

companies ADA,
ministries Kemnaker,
organizations FSPMI,
ngos AJI, ILO,
institutions FH UGM, UGM,
topics Buruh,
nations Argentina, Ekuador, Fiji, Indonesia, Namibia, Somalia, Uruguay,
places DKI Jakarta,
cases kekerasan seksual, pelecehan seksual, teror,