Kegelisahan Resan, Komunitas Penjaga Pohon yang Dituding Penyembah Setan

  • 18 Juli 2022 18:48:44
  • Views: 1

Suara.com - Resan ini sebenarnya berdiri atas kegelisahan kami bersama. Kegelisahan personal menyaksikan bagaimana bumi Gunungkidul yang sejak dulu mengalami kekeringan, yang semakin buruk situasinya ketika musim penghujan datang. Banjir, longsor, semua bisa terjadi di bumi kami ini, kata Edi Padmo inisiator Komunitas Resan Gunungkidul membuka obrolan.

Kuncinya tentu satu, pohon, lanjutnya dengan tegas.

Kegelisahan ini yang akhirnya mengumpulkan Edi dan teman-teman di Resan. Dimulai dari obrolan ringan, sampai akhirnya mereka bertaut membentuk komunitas Resan, sebuah gerakan yang sejatinya untuk mengonservasi alam berbasis masyarakat.

Edi lalu menjelaskan arti nama Resan, komunitas yang ia rawat ini.

Baca Juga: Epidemiolog Menilai Komunitas Pendidikan Jalani PTM Wajib Vaksin COVID-19 Booster, Termasuk Siswa

Seperti nama kami, resan, yang merupakan turunan dari kata wreksa yang artinya menjaga. Apa yang kami jaga? Mandhira, pohon, walau wreksa itu sendiri bisa diartikan sebagai pohon, katanya.

Secara harfiah, Edi mengartikan Komunitas Resan sebagai penjaga pohon. Bagi dirinya dan anggota komunitas, pohonlah yang memberikan beragam fungsi. Dia menjaga mata air, menjaga tanah, menyediakan makanan untuk manusia, hewan, dan lain-lain. Pohon juga penghasil oksigen, sebagai mitigasi bencana, banyak sekali fungsi pohon.

Edi mengaku saat ini tidak ada sesuatu yang resmi di Resan. Tidak ada legalitas, pengurus, funding yang mendanai atau program dari manapun. Resan murni berinisiasi sendiri, aktif menghijaukan kembali bumi Gunungkidul, walau mereka juga berjejaring dengan komunitas serupa di daerah lain untuk saling bertukar bibit pohon.

Aksi Nyata Resan

Ilustrasi
Ilustrasi menanam pohon (Unsplash/Kasturi Laxmi Mohit)

Semua obrolan kami bermuara pada aksi menanam pohon yang dimulai tahun 2018. Misi pertama kami di Kecamatan Playen, menanami pohon di sisi sebelah barat sungai yang sangat kering terutama saat musim kemarau, kata Edi.

Baca Juga: Hutan Adat Abrauw Terancam Musnah, Kejanggalan Penyerahan Lahan Bandar Antariksa Biak Papua

Diakui Edi, proyek pertama Resan mendapat sambutan yang luar biasa. Ia menilai, hal tersebut menandakan bahwa sebenarnya banyak orang baik yang ikut khawatir dengan kondisi alam tetapi takut bergerak karena merasa tak punya teman.

Jadi komunitas ini menjadi wadah untuk kami bergerak bersama-sama. Atau kalaupun mereka belum bisa menunjukkan aksi riil menanam pohon, setidaknya mereka memperhatikan kondisi sekitar, yang menjadi modal utama untuk saling bertaut di komunitas Resan, ujar Edi.

Resan dan Pohon-pohon Besar

Sejauh ini aktivitas resan banyak menyasar ke pohon-pohon, terutama ke yang berukuran besar namun terabaikan walau menyimpan beragam fungsi, kata Edi sembari menyesap kopi di bawah pohon beringin.

Ia lalu menunjuk pohon beringin di belakangnya.

Misalnya pohon tempat kita sekarang ini, dia bisa sewaktu-waktu ditumbangkan atau sama sekali tak dipedulikan karena dianggap tidak mempunyai nilai ekonomi secara langsung, kata Edi.

Padahal kalau dihitung-hitung, pohon besar seperti ini menjaga fungsi dasar kehidupan, yakni menjaga air. Kehidupan nggak akan ada kalau nggak ada air, kan? imbuhnya.

Edi mengklaim, sejauh ini Komunitas Resan sudah berhasil mengidentifikasi 43 jenis pohon yang perlu dijaga di Gunungkidul.

Beberapa pohon itu misalnya beringin, timoho, klumpit, keben, nyamplung, leses, dan gondang.

Kendati demikian, Komunitas Resan tidak mau terlalu ngoyo, mereka bergerak sekuatnya, semampunya, sebisanya.

Kami bergerak sak kuate, sak tekane, sak isone, soalnya kami cuma relawan. Masing-masing kami juga punya kesibukan, ada yang anak band, pengusaha, karyawan, jadi ya kebanyakan gerakan kami dilakukan hari Minggu, ujar Edi Padmo.

Komunitas Resan Dicap 'Penyembah Pohon'

Sering dicap sebagai 'penyembah pohon', Edi Padmo selaku inisiator Resan Gunungkidul memberikan penjelasan.

Kalau dalam bahasa nakal kami, ya memang pohon (alam) ini harus disembah. Tapi jangan langsung ditarik kesimpulan (penyembah pohon), kata Edi.

Ia mengatakan bahwa di Resan, menyembah pohon ini sebenarnya hanya wujud pendekatan secara kebudayaan, karena masalah alam yang terjadi bermula dari hilangnya budaya itu sendiri. Budaya untuk menjaga dan menghormati pohon, menjaga mata air, semua tak lagi dipedulikan.

Secara umum kan alam adalah tempat kita untuk hidup. Gusti Allah bahkan menciptakan pohon kuldinya dulu baru menurunkan Nabi Adam, kan?

Jadi dalam bahasa kami, alam ini ibu kehidupan. Sementara Kanjeng Nabi sudah pernah menyampaikan, 'Siapa yang harus dihormati? (Jawabannya) ibumu', bahkan sampai diulangi tiga kali. Jadi ibu kandung wajib kita hormati, sementara alam ini ibu kehidupan, berarti logikanya juga harus dihormati, jelas Edi panjang lebar.

Sebagai muslim, Edi percaya apapun yang dilakukan tergantung pada niatnya.

Saya orang Islam. Dalam ajaran saya, apapun yang kita lakukan tergantung pada niatnya. Lagipula tidak akan ada yang melarang kita untuk merawat alam, karena itu juga tugas kita sebagai khalifah di muka bumi, apalagi jika dimaksudkan untuk kehidupan generasi berikutnya, katanya.

Edi juga berpegang pada 2 hadits untuk berbaik kepada alam.

Yang pertama, intinya, barangsiapa menanam pohon dan itu bermanfaat untuk makhluk-makhluk lain, maka amal dari manfaat itu juga akan terus mengalir ke yang menanam. Yang kedua, jika besok hari kiamat tiba, kalau di tanganmu ada bibit pohon maka tanamlah, kata Edi.

Apa yang dikatakan Edi Padmo diamini Sigit Nurwanto, anggota Komunitas Resan yang lain.

Pria yang kerap dipercaya memimpin ritual Komunitas Resan ini menegaskan bahwa menyembah pohon itu salah.

Kalau boleh saya bilang, menyembah pohon itu salah. Sebab Tuhan itu hanya satu, mana mungkin kita berbelok, kata Sigit.

Ia lalu menjelaskan ada banyak jenis 'menyembah' terutama dalam ajaran Jawa.

Ada sembah untuk Tuhan yang Maha Esa, ada yang untuk leluhur, ada yang untuk orang dengan kedudukan lebih tinggi atau lebih tua, ada yang untuk menghormati suatu tempat, macam-macam.

Apa yang dilakukan Komunitas Resan adalah menyembah untuk menghormati.

Seperti misalnya ketika kita masuk ke suatu tempat seperti Sumberan, tempat kita giat bersih desa, di sana pasti ada sejarahnya, itu yang kami hormati. Dengan cara menggunakan wewangian seperti membakar dupa dan membaca doa-doa untuk Tuhan, jelas Sigit.

Ia kemudian mencontohkan, saat membakar dupa lalu membaca doa, dia akan menyampaikan apa yang akan dilakukan Komunitas Resan.

Jadi tidak ada kaitannya dengan tudingan menyembah pohon, karena kita pun sama sekali nggak ngomong sama pohon, atau jin, setan, demit. Saya berbicaranya hanya dengan Tuhan. Konsepnya hanya menyembah Tuhan, kata Sigit.

Sepemahaman saya, yang disebut syirik, musyrik, itu kan menyembah kepada selain Tuhan. Sedangkan menurut pemahaman saya Tuhan ya hanya satu, tidak mungkin kita bisa berbelok menyembah yang lain, imbuhnya.

Sigit menambahkan, pohon di sini fungsinya sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.

Namun ia menegaskan bahwa Komunitas Resan mengembalikan semuanya kepada pribadi masing-masing, hendak menjadikan pohon sebagai sarana mendekatkan diri kepada Tuhan atau tidak, semuanya dipersilakan.

Cuma selama ini kita selalu menghormati adat dan budaya setempat. Misalnya di lokasi Sumberan, kita mengadakan penyembahan karena kita menghormati adat budaya setempat. Misal ada daerah lain yang tidak berkenan ya kita tidak akan memaksa, kata Sigit.

Menurut Sigit, Gunungkidul masih sangat kental adat, budaya, dan penghormatan terhadap sejarah daerah.

Biasanya malah masyarakatnya sendiri yang meminta dan menganjurkan, paling tidak ada tembungane lah, ada doanya, karena bagaimanapun itu situs budaya yang ditinggalkan simbah (leluhur).

Ritual Pembakaran Dupa, Kemenyan, Berdoa, dan Langse

Dalam ritualnya, Komunitas Resan berusaha menghargai sejarah di situs budaya setempat, termasuk membakar dupa dan kemenyan.

Untuk pembakaran dupa, filosofinya ya kita menghargai sejarah di situs budaya yang didatangi. Kita sebagai tamu yang diundang menghargai tempat dan sejarahnya, kata Sigit.

Inisiator Resan Gunungkidul, Edi Padmo menambahkan bahwa ritual bakar kemenyan untuk lebih konsentrasi saat berdoa.

Semoga asapnya sampai ke Gusti Allah dan kita menyampaikan permohonan. Jadi kita juga lebih berkonsentrasi saat berdoa, kata Edi.

Sementara untuk ritual berdoa, Sigit Nurwanto mengaku lebih fleksibel, bisa cepat bisa lama sekali.

Biasanya yang lama kalau kita mengajak juru kunci, soalnya dia menyebutkan urut dari bawah sampai atas, tapi kalau kita sendiri ringkas saja, karena ingin segera nanam pohon. Jadi diawali dengan berdoa, lalu diakhiri menanam, kata Sigit.

Pria yang dipercaya memimpin ritual Komunitas Resan ini lalu menjelaskan soal langse.

Menurut Sigit, langse adalah penutup. Untuk langse biasanya diperlukan kain khusus, di tiap daerah beda-beda. Kalau di Gunungkidul biasanya menggunakan kain mori (kafan).

Kain langse di Gunungkidul tidak memerlukan perlakuan khusus, tapi jika di tempat lain diminta perlu ritual, Sigit dan kawan-kawan menyesuaikan.

Ilmunya kan pohon itu menjaga air yang nantinya mempunyai mujizat tersendiri untuk orang-orang. Air itu suci dan mensucikan. Jadi fungsinya langse, satu untuk menghormati, yang kedua untuk menjaga, jelas Sigit.

Pakaian Jawa Bukan untuk Menyembah Pohon

Terkait pakaian Jawa yang dikenakan saat ritual, inisiator Komunitas Resan Edi Padmo mengaku sebagai bentuk penghormatan.

Pakai pakaian Jawa itu untuk penghormatan juga, bukan menyembah pohon ya, kita menghormati. Kita mau menghadap bupati saja harus berpakaian rapi, ya kurang lebih seperti itu. Selain waktu langse, pakaian Jawa juga dipakai kalau ziarah, petilasan kata Edi.

Menghindari Potensi Konflik

Edi Padmo menegaskan bahwa Komunitas Resan selalu berusaha menghindari konfrontasi frontal, termasuk soal dituding jadi penyembah pohon.

Kita selalu diskusi dulu dengan masyarakat di situ, kita boleh langse nggak, atau kita boleh bakar kemenyan nggak, kita harus menghormati itu juga. Ya kita berusaha menghindari konflik lah, karena kan marwahnya tetap konservasi alam, budaya dan lain-lain cuma jalan masuk ke masyarakatnya saja, kata Edi.

Terakhir, Edi Padmo berpesan. Apa yang kami lakukan ini sebenarnya sangat sederhana, cuma menamam pohon dan merawat alam, itu sangat sederhana, dan itu sebenarnya memang tugas kita sebagai manusia.

Tapi yang terjadi kebanyakan malah tidak melakukan karena perkembangan zaman, banyak yang kesadarannya untuk berbudaya merawat dan menanam menjadi luntur. Nah ini yang ingin kami bangun bersama-sama.

Edi Padmo dengan Komunitas Resan ini berharap kesadaran merawat alam menular ke semua.

Rasanya, sampai seumur hidup juga nggak akan selesai tugas kami. Tapi ya semoga virusnya ini semakin menular, jadi semakin banyak yang melakukan gerakan yang sama dengan resan, itu saja pungkas Edi Padmo.

Artikel ini merupakan hasil liputan Muhammad Ilham Baktora, Elvariza Opita


https://www.suara.com/news/2022/07/18/180735/kegelisahan-resan-komunitas-penjaga-pohon-yang-dituding-penyembah-setan

Sumber: https://www.suara.com/news/2022/07/18/180735/kegelisahan-resan-komunitas-penjaga-pohon-yang-dituding-penyembah-setan
Tokoh



Graph

Extracted

persons Muhammad,
companies ADA,
religions Islam,
topics Banjir, longsor, PTM, Vaksin Corona,
products vaksin,
places PAPUA,
cities Biak, Gunungkidul,
cases covid-19,