Parliamentary Threshold, Penguatan Partai Politik Atau Buang-buang Suara Rakyat?

  • 19 Juni 2022 22:02:32
  • Views: 25

RM.id  Rakyat Merdeka - Parliamentary Threshold (PT) merupakan ketentuan ambang batas parlemen yang telah diberlakukan sejak Pemilu 2009 dengan angka 2,5 persen. Angkanya terus meningkat seiring dengan adanya revisi Undang-Undang Pemilu, hingga terakhir ketentuan PT ini naik menjadi 4 persen.

 Sejumlah pandangan, kritik dan saran terkait ketentuan PT ini disampaikan oleh narasumber kompeten dalam webinar nasional kelas Komunikasi Politik, Magister Komunikasi Universitas Mercu Buana (Mikom UMB) bertajuk Parliamentary Threshold: Sebuah Tantangan Bagi Partai Baru melalui siaran Zoom, Sabtu (18/6).

Anggota Komisi II DPR Rifqinizami Karsayudha mengatakan, 9 fraksi di DPR telah sepakat bahwa tidak ada revisi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (UU Pemilu) untuk DPR periode ini. Sehingga, norma yang berlaku pada Pemilu 2024 adalah norma pada Pemilu 2019.

Karenannya, ketentuan terkait parliamentary threshold 4 persen saya pastikan akan tetap digunakan sebagai dasar bagi partai-partai politik untuk berkontestasi dalam pemilu legisllatif khususnya pemilihan anggoat DPR pada tahun 2024 yang akan datang, ujar politikus PDI Perjuangan ini dalam pemaparannya.

Pria yang akrab disapa Rifqi ini menegaskan, ketentuan PT ini hanya berlaku di tingkat nasional. Meskipun sempat ada diskursus penetapan PT secara berjenjang untuk DPRD provinsi dan kabupaten/kota.

Kemudian, kata Rifqi, dalam teori institusionalisasi atau pelembagaan parpol. Salah satu indikator pelembagaan parpol adalah sejauh mana parpol memiliki akar atau basis konstituen yang kokoh.

Hal itu harus dibalut dalam suatu ideologi parpol masing-masing untuk diuji di pemilu. Dan akar dari parpol itu harus dikuatkan, bisa secara alamiah dan juga melalui sebuah regulasi, yakni dengan kehadiran PT 4 persen.

Semakin parpol terlembaga maka semakin sehat dia. Angka 4 persen adalah angka yang moderat menurut pandangan kami. Sehingga memungkinkan partai-partai baru untuk tetap bisa eksis di DPR RI atau parlemen di tingkat nasional, ujarnya.

Menurut legislator Dapil Kalimantan Selatan I ini, sejumlah partai baru yang belum bisa tembus PT pada Pemilu 2019 adalah fakta politik yang tidak bisa diabaikan. Begitu pula dengan dua partai yang sebelumnya eksis di DPR dalam hal ini PBB dan Hanura.

Tetapi, ada juga parpol yang sukses yakni Partai Nasdem dan Partai Gerindra. Menurutnya tidak ada garansi bagi partai-partai yang sudah eksis di DPR, jika tidak merawat basis konstituen, bekerja untuk rakyat, berjuang untuk aspirasi rakyat, tidak diapresiasi kerja-kerja parlementernya termasuk kerja-kerja wakil-wakilnya di eksekutif termasuk strukturnya di tingkat bawah.

Berita Terkait : Sinyal Pengkaderan Partai Politik Mandek

PT ini early warning untuk terus memastikan kekuatan akar rumput kami bekerja dengan baik, ujarnya.

 

Sementara itu, Dosen Komunikasi dan Kebijakan Publik Mikom UMB Syaifuddin menyampaikan, PT salah satu komponen penting dalam sebuah sistem pemilu.

Menurut Syaifuddin, untuk mencari solusi tentang benang kusut PT ini, pembahasannya tidak bisa berhenti pada persoalan PT saja. Sebab tidak akan pernah tuntas, karena PT tidak berdiri tunggal dalam sistem hukum kepemiluan.

PT saling terkait dengan komponen-komponen lain dalam sistem pemilu kita. Tapi ada sifat interdependensi, saling ketergantungan antara satu komponen dengan komponen lainnya, elektoral threshold, presidential threshold, sistem proporsional, dengan sistem multipartai, dengan sistem prsediensial dan seterusnya, ujarnya.

Syaifuddin mengatakan, komponen-komponen yang ada dalam pemilu sebagai sebuah sistem ini harus dibuka dalam komponen pokok terkait sistem pemilu ini, khususnya PT.

Kata dia, perdebatan pembahasan PT 4 persen sudah sering terjadi di Komisi II DPR. Akan tetapi gagal, karena masing-masing fraksi memiliki kepentingannya sendiri.

Bagi parpol yang kontra terhadap PT 4 persen, Budi memaparkan, semakin besar PT dinaikkan maka semakin besar suara rakyat yang terbuang percuma. Bahkan ada 13,5 juta lebih suara parpol yang terbuang percuma pada Pemilu 2019 dan 9 parpol tidak lolos PT di Pemilu 2019.

Pemberlakuan PT juga dinilainya melanggar demokrasi karena hilangnya suara yang begitu besar. PT juga mengurangi nilai proporsionalitas alokasi kursi di Senayan. Mustahil parpol di Senayan menurunkan PT dari 4 persen menjadi 0 persen. Yang ingin menaikkan PT dianggap parpol baru termasuk Gelora sebagai akal-akalan parpol besar, ujarnya.

Dia melanjutkan, makna dari pemberlakuan PT bagi para regulatornya adalah produk repetisi politik, logika daripada political game theory. Masalah PT yang cenderung ini akan dinaikkan semakin meningkatkan disproporsionalistas pemilu nanti, sementara perubahan revisi UU pemilu sudah tidak mungkin dilakukan.

Oleh karena itu, ia ingin memberikan dua solusi untuk sistem kepartaian dan pemilu. Sebagaimana diketahui, di dunia ini ada 3 sistem kepartaian yang berlaku yakni: sistem partai tunggal. Kedua, sistem dua partai. Ketiga, sistem multipartai.

Berita Terkait : Tak Usah Panik, Kementan Pastikan Penanganan PMK Sudah Maksimal

Lalu pilihan solusi pertama, memberlakukan three party partisipatory model atau model partisipasi 3 partai. Berbeda dengan era Orde Baru (Orba), model ini menjadi jalan keluar untuk menguatkan konsensus dan meredam pro dan kontra PT.

Tiga partai akan mampu mengakomodasi secara efektif dan efisien semua kepentingan yang telah mengakar dalam sejarah masyarakat Indonesia, ada nasionalis, agama dan sosialis atau bisa saja komunis. Kalau kita berangkat dari sejarah dan multikultural bangsa Indoensia dari berdiri ya tiga kelompok itu. Model three party ini barangkali bisa relevan, sambungnya. 

Gagasan kedua, dia menambahkan, deliberatif static multipartai atau model partai statik deliberatif. Ruhnya, dalam sistem pengambilan keputusan diambil dan diilhami dalam perpaduan sistem demokrasi terpimpin dan demokrasi deliberatif Jurgen Habermas sebagai rajutan sila ke-4, yang semangatnya musyawarah untuk mufakat.

Partai yang mencapai PT yang memimpin fraksi, dan yang tidak mencapai PT adalah perwakilan di dalam fraksi. Jadi fraksi sarana politik bersama untuk musyawarah mencapai mufakat, antara parpol besar dan parpol kecil. Sehingga suara yang diperoleh tidak terbuang cuma-cuma seperti 13,5 juta tadi.

Penggabungan suara parpol yang tidak mencapai kepada parpol yang mencapai PT, tidak ada fusi partai, arahnya penggabungan suara parpol, terangnya.

 

Sementara itu, Wakil Ketua Umum DPP Partai Persatuan Indonesia (Perindo), Ferry Kurnia Rizkiansyah menyampaikan bahwa pihaknya sangat optimistis menembus angka 4 persen pada Pemilu Legislatif (Pileg) 2024 mendatang.

Bahwa kita akan mencapai 4 persen suara ya dan bahkan itu bisa saja lebih, ungkap Ferry.

Menurut eks Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) ini, sejumlah persiapan juga telah dilakukan oleh Partai Perindo. Hal itu meliputi penguatan struktur organigram partai sebagai modal awal, juga penguatan eksternal partai.

Bahkan, kata Ferry, Perindo telah membuat beragam macam gagasan, salah duanya adalah Konvensi Rakyat Perindo sebagai sarana menjaring calon-calon legislator terbaik dan menggagas Koalisi Nonparlemen.

Konvensi Rakyat ini sudah dilakukan. Ini akan merubah narasi besar dan merubah proses demokrasi yang lebih proaktif. Kita juga menggagas Koalisi Nonparlemen, itulah menjadi hal yang kita lakukan, ungkapnya.

 

Berita Terkait : GMKI: Polri Menjadi Bhayangkara Masyarakat

Wakil Ketua Umum Partai Gelora Fahri Hamzah menyinggung adanya cara-cara kotor dalam yang kerap ditemui saat Pemilu di Indonesia. Yakni 'serangan fajar', perang alat peraga, pembagian bantuan sosial (bansos), bukan adu gagasan-gagasan untuk membawa perubahan lebib baik untuk bangsa.

Setiap Pemilu yang harusnya itu momentum memunculkan gagasan kebangsaan baru, membiarkan pemimpin kita untuk menunjukkan bahwa dia mampu menghadapi persoalan bangsa, kata Fahri di kesempatan sama.

Fahri mengusulkan, semestinya pemerintah menanggung 100 persen biaya pemilu, termasuk dana untuk partai politik (Parpol). Pasalnya, parpol dan para kandidatnya harus difasilitasi negara, sebab kalau tidak nanti menyebabkan orang-orang yang punya banyak uang, menyelinap membiayai partai politik.

Jika biaya politik ditanggung tiap individu, nantinya tokoh politik merasa harus mengembalikan modal yang ia keluarkan untuk jabatan tertentu. Terlebih, biaya politik di Indonesia tidak murah, ujarnya.

Mantan Wakil Ketua DPR ini pun menyoroti anggaran Pemilu 2024 yang telah disepakati Pemerintah, DPR, dan penyelenggara pemilu yakni KPU, Bawaslu serta DKPP di angka Rp 76,6 triliun. Angka ini didapat setelah beberapa kali dilakukan revisi dari semula Rp 86 triliun.

Politikus asal Nusa Tenggara Barat (NTB) ini khawatir bahwa para tokoh politik sudah menganggap dana yang dikeluarkan selama kampanye adalah biaya pribadinya, maka yang terjadi berikutnya adalah mereka akan mengatakan sekarang harus balik modal.

Menurut dia, dampak dari fenomena politik seperti itu berpotensi untuk menciptakan regulasi-regulasi yang tidak berpihak pada masyarakat. Fenomena ini juga ancaman bagi demokrasi Indonesia, karena semakin besar potensi transaksi dalam politik.

Bahkan, Fahri menambahkan, setiap upaya untuk memonetisasi pertarungan ide ini berbahaya, makanya harus ada keseriusan Pemerintah untuk membahas cara bagaimana membiayai pemilu.

Menurut saya ini adalah lingkaran yang harus kita putus melalui menyadari kembali bahwa demokrasi adalah pertarungan ide, tandasnya.

Dalam webinar tersebut, turut hadir Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Mercu Buana, Dr. Elly Yuliawati, M.Si dan Kepala Program Studi Magister Ilmu Komunikasi Dr. Heri Budianto yang turut memberikan sambutan. Acara yang berlangsung selama 2,5 jam ini juga dihadiri oleh 295 peserta secara virtual. ■


https://rm.id/baca-berita/nasional/129136/webinar-mikom-umb-parliamentary-threshold-penguatan-partai-politik-atau-buangbuang-suara-rakyat
 

Sumber: https://rm.id/baca-berita/nasional/129136/webinar-mikom-umb-parliamentary-threshold-penguatan-partai-politik-atau-buangbuang-suara-rakyat
Tokoh





Graph